3. Jadi Model Dadakan

70.3K 255 0
                                    

SEBELUM memasuki masa kuliah yang di mulai besok, Nadia memilih untuk bersantai di kamarnya untuk melihat apapun yang ada di twitter-nya. Tapi ketika sedang scroll beranda twitter, matanya melotot saat melihat video dua orang yang sedang bersetubuh di hotel. Sial, dia menyesal sudah mutualan dengan Kayla, teman sekelasnya dulu yang terlihat polos tapi aslinya mesum. Hanya karena Kayla retweet bokep, matanya jadi ternodai.

Tok.. tok.. tok..

Mendengar suara ketukan, Nadia langsung bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarnya. Ternyata yang datang adalah Aldo dan Kafka.

"Ada apa ya Kak?" tanya Nadia sopan.

"Sorry, gue mau minta tolong. Boleh masuk?"

"Oh, boleh kak, silahkan."

Tanpa basa basi lebih lanjut, Aldo dan Kafka masuk ke dalam kamar Nadia dan mengutarakan keinginan mereka.

"Jadi, kita ada ujian untuk fotoin perempuan, tapi berhubung ujiannya masih 2 minggu lagi, kita mau latihan dulu sebelum ujian yang sebenarnya. Soalnya waktu ujian nanti, kita cuma dikasih waktu 24 jam untuk foto, edit, dan sebagainya," jelas Kafka.

"Ujian? Bukannya kuliah baru masuk besok?" tanya Nadia heran.

"Kita beda kampus," ujar Aldo datar. Kampus Nadia adalah kampus swasta, sedangkan kampusnya adalah kampus negeri terkemuka di kota ini.

"Oh ya," balas Nadia, walaupun tidak mengerti perbedaan jadwal kampus swasta dan kampus negeri.

"Jadi, lo mau bantuin kita gak? Tenang aja, muka lo gak akan kita foto kok," ujar Kafka dengan wajah meyakinkan.

"Jadi cuma badan aku yang di foto?" tanya Nadia ragu.

"Iya, dan gak akan kita sebar kemana-mana," jawab Kafka, sedangkan Aldo sibuk dengan kameranya tanpa repot membujuk Nadia untuk membantu mereka.

"Oke, aku bantu," ucap Nadia dengan senyum sopannya. Daripada dapat karma karena mempersulit tugas orang lain, lebih baik dia membantu sesama mahasiswa yang sedang kesulitan ini.

"Bagus! Nih, pakai baju ini," ucap Aldo sambil menyerahkan sebuah paper bag pada Nadia.

Nadia menerimanya, lalu menuju ke kamar mandi dan mengenakan baju tersebut.

"Apa gak kependekan?" gumam Nadia, berusaha menurunkan rok itu hingga setengah paha, namun tidak bisa

"Apa gak kependekan?" gumam Nadia, berusaha menurunkan rok itu hingga setengah paha, namun tidak bisa. Akhirnya setelah pergulatan batin dan yakin kalau foto itu tidak akan tersebar, Nadia memberanikan diri untuk keluar dari kamar mandi. "Kak, kayaknya ini kependekan," ucapnya pada Aldo dan Kafka yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.

Mendengar suara Nadia yang sudah keluar dari kamar mandi, Aldo menoleh dan melotot melihat penampilan perempuan itu. Sepertinya ada yang tegak tapi bukan keyakinan.

"Oh, soalnya emang itu baju buat model yang tingginya cuma 150 centi. Lo kan lebih tinggi," ujar Kafka dengan nada kasual, tapi pikirannya sedang menyusun rencana kelanjutan pemotretan ini, rencana nakal tentunya.

"Ya udah, buruan aja Kak. Aku gak nyaman pakai ini," ujar Nadia tidak enak.

"Oke kalau gitu, siap-siap, Do!" perintah Kafka pada Aldo yang masih terbengong menatap Nadia. Ternyata isi pikiran mereka sama untuk saat ini.

"Lo bisa duduk disitu," pinta Aldo, menunjuk ke arah sofa kecil berwarna putih yang berada di kamar Nadia.

Setelah Nadia duduk dan menyilangkan kakinya sesuai dengan intruksi dari Kafka, kini saatnya Aldo mengambil foto dengan serius.

          

"Tema fotonya apa, Kaf?" tanya Aldo seraya melihat-lihat hasil foto yang sudah dia ambil.

Kafka melihat-lihat ponselnya, "Temanya mirisnya pemerkosaan pada remaja," jawabnya ngarang.

"Hmm, berarti dia di iket aja kali ya," ucap Aldo sambil mengedarkan pandangannya, lalu tersenyum miring saat menemukan tali rafia yang Nadia gunakan untuk membuat name tag saat ospek nanti.

"Ja—jadi aku diiket?" tanya Nadia, kembali ragu atas keputusannya untuk membantu mereka berdua. Sepertinya ini sudah terlalu jauh.

"Iya, tapi tenang aja. Nanti di lepas," jawab Kafka penuh candaan.

"Jangan iket mati tapi Kak," ucap Nadia saat Aldo mengikat pergelangan kaki kanannya dengan tangan kanannya, dan pergelangan kaki kirinya dengan tangan kirinya sehingga sekarang kakinya membentuk huruf M. Beruntung rok yang dipakainya tidak ketat sehingga dapat menutupi selangkangannya.

"Coba dasi lo di buka dulu. Penampilan lo sekarag culun soalnya," ucap Kafka seraya membuka dasi Nadia tanpa persetujuan dari perempuan itu.

"Kancing kemejanya buka tiga aja coba," usul Aldo yang tentunya disetujui oleh Kafka.

"Jangan, begini aja Kak," tolak Nadia halus saat Kafka hendak membuka kancing ketiganya.

"Kenapa? Lo malu?" tanya Aldo walaupun sudah mengetahui jawabannya.

"Iya," cicit Nadia, takut karena wajah Aldo yang menyeramkan jika sedang kesal seperti ini.

"Gak usah malu, tubuh lo itu art, jadi bukan hal yang memalukan di dunia fotografi," ujar Aldo memberikan pengertian dengan nada datar, walaupun di pikirannya, dia sedang menahan diri untuk tidak merobek kemeja Nadia dan menggenjot perempuan itu seharian.

"Bener, gue sering foto cewek telanjang dan gak gue apa-apain sama sekali," timpal Kafka jujur, tapi dia bohong kalau tidak melakukan apapun pada modelnya yang telanjang.

Karena sudah dipojokkan seperti ini, Nadia menyerah. Perempuan itu membiarkan Kafka membuka kancing kemejanya yang ketiga, menampilkan buah dadanya yang terbalut bra hitam. Tanpa disadari Nadia, pelaku yang membuka kancing kemejanya meneguk salivanya dengan susah payah, untuk kesekian kalinya.

"Nah gini bagus. Udah, lo gak perlu panik. Muka lo bakal di sensor dan foto ini juga gak akan nyebar. Lo kan cuma bahan latihan aja," ujar Kafka menenangkan Nadia yang seperti akan menangis, sedangkan Aldo malah memotret Nadia dengan posisi menggairahkan ini, lengkap dengan wajahnya.

Setelah beberapa kali Aldo memotret tubuh Nadia, kini giliran Kafka yang mengerjakan tugasnya. Setelah menyentuh kamera, raut wajah Kafka yang tadinya ramah berubah menjadi serius. Bahkan tanpa izin, laki-laki itu merobek kemeja Nadia hingga kancingnya melompat keluar dari tempat semestinya.

"Kak!" pekik Nadia panik. Ingin membenarkan pakaiannya kembali, namun tangannya terikat kencang. Semakin dia bergerak, semakin roknya tersingkap dan menampilkan selangkangannya yang mulus.

"Sorry, tapi foto gue harus sesuai tema. Pemerkosaan pada remaja," desis Kafka pada Nadia yang berhasil membuat mata perempuan itu berkaca-kaca.

Sedangkan Aldo, dia hanya tersenyum miring melihat tontonan di depannya. Jika Kafka sudah berurusan dengan kamera, dia akan serius. Bahkan jika tema fotonya pembunuhan, dia akan membunuh untuk mendapatkan foto terbaik.

"Muka lo bener-bener kayak orang yang lagi diperkosa," komentar Aldo dengan senyum miringnya.

"Kak, tolong," pinta Nadia pada Aldo dengan mata memelas.

Akibat sudah tidak tahan melihat wajah memelas Nadia, akhirnya Aldo menghampiri perempuan itu, kira-kira setelah Kafka mengambil beberapa foto. Pada mulanya, Aldo merapatkan kembali kemeja yang terbuka, membuat napas Nadia kembali teratur setelah tadi terengah-engah karena ketakutan. Tapi tidak lama kemudian, dengan kasar Aldo kembali membuka kemeja tersebut dan menurunkan bra yang menyangga payudara perempuan itu.

"Kak, ke—kenapa Kak Aldo—" Nadia kembali panik karena payudaranya sudah bebas dari pelindungnya. Ingin berontakpun percuma, tangan dan kakinya sekarang diikat. Kalau berontak, tenaganya akan habis hingga lemas dan membiarkan kedua orang ini menjamah tubuhnya.

"Fotonya bakal lebih bagus kalau bagian ini lebih tegang," bisik Aldo sambil mengusap puting Nadia yang berwarna pink kemerahan dengan ibu jarinya.

Sungguh menggairahkan sekali melihat puting Nadia yang mengacung tegak, mengundang untuk di hisap. Dan benar saja, tidak perlu menunggu waktu lama, Aldo mengulum puting Nadia dengan sedotan kuat.

"Aaahhhh aasssshhh!" desah Nadia di setiap kuluman Aldo pada putingnya. Kepalanya mendongak, tidak kuat atas kenikmatan yang sama seperti di mimpinya semalam. Bahkan sekarang, dia tidak menyadari bahwa sejak tadi Kafka memotret wajahnya yang menyiratkan kenikmatan, bukan ketakutan atau kepanikan karena akan diperkosa.

Sluurrrppp

Suara sedotan bibir Aldo pada puting payudara kanan Nadia menggema di kamar besar itu, sedangkan Kafka yang sudah selesai dengan urusannya ikut bergerak mendekati perempuan itu.

"Kak, jangan lagi hmmmpphhh—" penolakan Nadia nampaknya tidak pengaruhnya untuk mereka berdua. Kafka malah memangut bibir Nadia dan menusukkan lidahnya ke dalam sana, memberi isyarat pada perempuan itu untuk membuka bibir. Tangannya tidak tinggal diam, payudara kiri Nadia menjadi sasarannya.

"Aaahh, hmmpphh.. aahhh," desah Nadia di sela sela pangutan bibirnya dengan Kafka karena beberapa kali, dia merasa hisapan Aldo pada payudaranya terlalu kuat.

Setelah puas menikmati bibir Nadia, akhirnya ciuman Kafka turun ke leher, kemudian turun lagi ke payudara kiri perempuan itu untuk ikut menyusu.

"AAAHHH!" teriak Nadia penuh kenikmatan. Sungguh, dia tidak kuat lagi menahan rasa nikmat ketika kedua payudaranya di hisap dua laki-laki yang berbeda. Apalagi, saat ini tangannya tidak bisa bergerak untuk meremas apapun untuk menghalau rasa nikmatnya.

"Nah, udah tegang nih. Siap buat di foto lagi," ucap Aldo datar, seakan-akan apa yang dia lakukan tadi sudah biasa untuknya.

Bagaikan sedang melihat piring di lempar tepat dihadapannya, Nadia tersadar atas apa yang dilakukannya tadi, yaitu menikmati tubuhnya digerayangi orang asing.

Ke—kenapa aku diem aja? batin Nadia dalam hati.

Memanfaatkan keterdiaman Nadia, Aldo kembali memotret tubuh perempuan itu yang semakin menggairahkan dengan dada yang memerah bekas hisapan dan gigitannya.

Brak!

Mendengar suara meja digebrak keras, mereka bertiga sontak menoleh ke sumber suara dan terkejut melihat sang pemilik suara. Apalagi Nadia, perempuan itu sontak menangis karena malu.

🤨👌🏻👈🏻

ESCAPE GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang