Bab 2: Intrik Istana dan Perasaan yang berubah

2 0 0
                                    

Kehidupan sehari-hari Danbi di istana tetap berjalan dalam rutinitas yang melelahkan. Dia menjalani tugasnya sebagai pelayan pribadi Putra Mahkota Kwon Jinyoung, selalu berusaha untuk bersikap tenang dan sabar meski dalam hatinya bergelora perasaan cemas.

Setelah insiden bullying yang dialaminya, di mana para pelayan lain mengejeknya dan mengolok-olok kebodohannya, Jinyoung mulai mengosongkan beberapa jam di malam hari untuk memberikan pelajaran. Danbi tidak menyangka bahwa dia akan diperintahkan untuk belajar membaca dan menulis, tetapi saat itu, harapan samar untuk membuktikan dirinya mulai tumbuh di dalam hati.

Malam itu, Danbi berdiri di depan Jinyoung yang duduk di meja kerjanya, tampak serius. Suasana di ruangan itu hening, hanya suara pena yang membisikkan tinta ke atas kertas. Danbi merasa sedikit tertekan, mengetahui bahwa dia tidak boleh gagal malam ini.

“Danbi, kita akan mulai dengan membaca beberapa kalimat. Ingat, jika kau tidak bisa memahami apa yang aku ajarkan, akan ada konsekuensinya,” kata Jinyoung, suaranya datar tetapi mengandung ancaman yang tersirat.

“Ya, Yang Mulia,” jawab Danbi, berusaha menyembunyikan rasa takut yang menyelimutinya. Dia membuka buku yang terletak di depan mereka, berusaha keras untuk mengingat semua yang diajarkan pada hari itu.

Jinyoung menyodorkan sebuah kalimat, dan Danbi mulai membacanya dengan hati-hati. Namun, saat suaranya mulai bergetar, dia ragu dan salah dalam mengucapkan beberapa kata.

“Seharusnya kau bisa melakukan ini dengan lebih baik! Apa kau tidak mengerti sama sekali?” Jinyoung melontarkan kata-kata itu dengan nada kecewa, membuat Danbi merasa semakin tertekan.

“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya akan mencoba lagi,” Danbi menjawab, merasakan air mata ingin meluncur dari matanya.

“Coba lagi? Sudah berapa kali kau mencoba? Ini adalah hal yang paling dasar! Jika kau gagal lagi, kau tahu apa yang harus kau hadapi,” kata Jinyoung, mengambil pena dan tinta, siap untuk menumpahkan tinta di tubuh Danbi sebagai hukuman.

Dengan jantung berdegup kencang, Danbi berusaha mengumpulkan keberanian. Dia membaca kalimat yang sama, tetapi kali ini, pikirannya terasa kosong. Jinyoung menggelengkan kepalanya, tanda bahwa dia sangat kecewa.

“Berhenti! Ini sudah terlalu memalukan,” teriak Jinyoung. “Kau memang bodoh! Aku sudah memberimu banyak kesempatan, tetapi kau terus saja gagal. Sekarang, lihat apa yang harus kau terima!”

Sebelum Danbi bisa bereaksi, Jinyoung dengan cepat mencelupkan pena ke dalam tinta dan menjatuhkannya ke lengan Danbi, meninggalkan jejak tinta hitam yang mengotori kulitnya.

“Sekarang, kau bisa ingat seberapa tidak bergunanya dirimu setiap kali melihat noda itu,” Jinyoung berkata sambil tertawa sinis, tampak puas dengan tindakan yang baru saja dilakukannya.

Danbi menahan air mata, mencoba mengabaikan rasa sakit dan malu yang menggerogoti hatinya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Jinyoung, meskipun dia merasa sangat terhina. Dengan penuh tekad, dia berusaha untuk bangkit kembali.

Setelah beberapa kali sesi pelajaran yang menyakitkan, Danbi mulai menyadari bahwa dia tidak bisa terus-menerus berada dalam posisi ini. Dia perlu berusaha lebih keras. Setiap malam, ketika Jinyoung mengajarinya, dia mencoba untuk menyerap setiap informasi yang diberikan. Namun, meski usahanya keras, rasa takut akan hukuman tinta selalu membayangi langkahnya.

Hari-hari berlalu dan malam-malam di ruang belajar itu menjadi momen yang menegangkan bagi Danbi. Setiap kali Jinyoung meminta dia untuk membaca, rasa cemas selalu menyelimuti pikirannya. Dia tahu jika dia gagal, akan ada hukuman yang menunggu di ujungnya. Di sisi lain, ada keinginan dalam dirinya untuk membuktikan bahwa dia bisa lebih dari sekadar budak yang dianggap tidak berguna.

Master,Please spare meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang