Sentuhan Hati di Dalam Keberanian
Pagi itu, studio Lucien dipenuhi dengan cahaya lembut yang menembus melalui jendela besar. Cahaya itu menciptakan pola hangat di atas lantai kayu yang sudah usang, memperlihatkan jejak-jejak waktu yang terukir dalam setiap goresan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma cat minyak dan pelarut, menambah suasana artistik yang mengalir di udara. Di dinding, lukisan-lukisan Lucien berdiri seperti saksi bisu, masing-masing menyimpan cerita dan emosi yang dalam.
Colette datang lebih awal, semangatnya tak terkurangi oleh hari yang dingin. Dia berdiri di depan kanvas kosong yang telah mereka siapkan untuk kolaborasi mereka. Dengan kuas di tangan dan palet warna yang cerah, dia tampak seperti seorang penyair yang siap menuliskan kata-kata puisi. Di dalam hati, ada perasaan campur aduk—kegembiraan, antisipasi, dan sedikit ketegangan.
"Selamat pagi, Lucien!" sapanya ceria saat Lucien memasuki studio. Suaranya ceria, memecah keheningan yang tenang.
"Selamat pagi, Colette," balas Lucien, tersenyum. Dia melihat ke arah kanvas, kemudian kembali menatap Colette. "Siap untuk memulai?"
"Siap!" jawabnya penuh semangat, bersemangat untuk melihat bagaimana kolaborasi ini akan terwujud.
Mereka mulai bekerja, membiarkan imajinasi mengalir bebas. Lucien mengajarkan Colette cara menciptakan tekstur, sementara Colette membantu Lucien melihat warna dengan cara yang baru. Setiap sapuan kuas dan setiap warna yang dicampurkan menjadi sebuah tarian artistik yang menggambarkan saling pengertian dan koneksi di antara mereka. Ada saat-saat di mana mereka saling beradu pandangan, dan dalam keheningan itu, ada perasaan yang berkembang.
Seiring berjalannya waktu, semakin jelas bahwa kehadiran Colette membawa sesuatu yang lebih dari sekadar inspirasi artistik bagi Lucien. Setiap tawa dan senyumnya seperti menghapus bayang-bayang kelam yang menghantuinya sejak hubungan sebelumnya. Lucien merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—cinta yang tulus, yang muncul seperti embun pagi yang murni.
"Lucien," Colette memecah keheningan saat mereka berdua berdiri berdampingan, memandang kanvas yang kini dipenuhi warna-warna cerah. "Apa kau pernah berpikir tentang apa yang akan kau lakukan setelah semua ini? Apa impian terbesarmu?"
Lucien berbalik, menatap Colette dalam-dalam. "Seni selalu menjadi impianku, tapi kini... aku merasa ada sesuatu yang lebih dari itu." Ia menghela napas, berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Aku ingin melukis bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk membagikan perasaan dan keindahan dengan seseorang."
Colette memandangnya dengan mata berbinar, merasakan kedalaman dari kata-kata Lucien. "Sepertinya, kau sudah menemukan seseorang."
Lucien tersenyum, dan dalam momen itu, semuanya terasa sempurna. Tanpa ragu, ia mendekat, menarik Colette ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat dan penuh kehangatan, membuat mereka berdua terdiam dalam keheningan yang penuh arti.
"Colette, kau telah mengubah hidupku," bisiknya di telinga Colette, merasakan detak jantung mereka bersatu dalam satu irama.
Colette menatap Lucien, jantungnya berdegup kencang. "Aku merasa hal yang sama, Lucien. Setiap momen bersamamu adalah sesuatu yang berharga."
Lucien menatap mata Colette, dan dalam momen tersebut, dunia seakan lenyap. Semua warna, semua suara, hanya ada mereka berdua. Dengan lembut, dia menurunkan wajahnya, menghilangkan jarak di antara mereka, dan merasakan bibir Colette yang lembut menyentuh bibirnya. Ciuman itu dalam dan penuh perasaan—sebuah ungkapan cinta yang tulus, sebuah pengakuan dari hati yang tak terungkapkan.
Satu detik terasa seperti selamanya saat mereka berbagi ciuman itu. Colette membalas ciuman Lucien dengan lembut, merasakan getaran emosi yang mengalir di antara mereka. Ketika mereka akhirnya menarik diri, wajah mereka saling berhadapan, dan keduanya tersenyum dengan malu-malu, tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hubungan mereka.
"Aku tidak pernah berpikir ini akan terjadi," kata Lucien, suaranya bergetar sedikit. "Tapi aku tidak ingin kehilanganmu."
Colette mengangguk, hatinya bergetar. "Aku tidak ingin kehilanganmu juga, Lucien. Setiap momen bersamamu terasa begitu berharga."
Mereka kembali ke kanvas yang setengah selesai, tetapi saat ini, pekerjaan mereka terasa lebih dari sekadar seni. Ini adalah ungkapan perasaan, kisah cinta yang sedang terjalin melalui warna dan bentuk. Lucien mulai menambahkan lapisan baru, dan setiap sapuan kuas menjadi simbol dari cinta yang baru ditemukan.
Sambil melukis, Lucien tidak bisa tidak mencuri pandang ke arah Colette. Dia mengamati cara dia mengekspresikan dirinya, bagaimana setiap warna yang dia pilih mencerminkan kepribadiannya yang ceria. Cinta ini, ia tahu, bukan hanya tentang seni; ini adalah tentang berbagi hidup dan impian.
"Saat kita selesai, kita harus mengadakan pameran untuk lukisan ini," kata Colette sambil menciptakan bentuk-bentuk baru di kanvas. "Bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk menunjukkan betapa indahnya kolaborasi."
"Ya, itu ide yang hebat," jawab Lucien, semangat membara di dalam dirinya. "Kita bisa menunjukkan kepada dunia betapa kuatnya cinta yang terjalin melalui seni."
Keduanya terus bekerja, berbagi tawa dan cerita, menciptakan ikatan yang lebih dalam dari sekadar pelukis dan mahasiswa seni. Momen-momen kecil itu—senyuman, tatapan penuh pengertian, pelukan hangat—semuanya menjalin sebuah kisah cinta yang indah di dalam studio yang dipenuhi dengan cahaya dan warna.
Hari itu berakhir dengan langit Paris yang berwarna oranye keemasan, menandakan sebuah akhir yang indah untuk sebuah hari yang bersejarah. Lucien dan Colette berdiri berdampingan, menatap kanvas yang kini penuh dengan warna dan emosi, siap untuk menghadapi masa depan yang penuh harapan. Cinta mereka baru saja dimulai, dan mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar seni—sebuah kehidupan yang penuh makna.
---
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Short StoryGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl