5. Penjelasan yang tak kunjung ada

696 102 6
                                    

Jam di layar komputernya sudah menunjukan pukul sembilan lewat empat puluh delapan menit saat akhirnya Arsen menyadari bahwa cacing-cacing di dalam perutnya mulai berontak untuk  minta di kasih makan. Dia mulai berdecak kesal karena menyadari ketololannya saat menolak tawaran Rani - sekretarisnya untuk membeli makan malam untuknya sebelum wanita itu pulang.

Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia mulai merasa lapar karena menyadari kalau tadi siang dia hanya memakan dua potong sushi dan Nyatanya kopi yang di minumnya setengah jam yang lalu sama sekali tidak bisa menahan rasa laparnya saat ini. Memesan menu makan makan yang hampir jam sepuluh malam juga bukan pilihan yang baik karena pasti banyak restoran yang sudah close order. Yang tersisa mungkin restoran cepat saji atau tukang nasi goreng gerobakan yang jualan di pinggiran jalan.

Arsen berdecak. Dia mengambil cangkir kopi yang diletakan di atas meja di samping tumpukan dokumen yang belum di sentuhnya sejak sore. Lalu mendesah pelan saat menyadari bahwa cangkir kopi itu telah kosong.

Sambil mendesah pelan, Arsen bangkit dari kursi kerjanya. Dia berniat untuk membuat kopi sekali lagi dengan coffee maker automatic yang dia letakan di sudut ruang kerjanya. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Dari Shaka.

"Hmm?" Tanpa menunggu lama, Arsen segera menjawab panggilan Shaka. Pria itu kembali meletakan cangkir kopinya yang telah kosong diatas meja lalu langkah kakinya membawanya ke jendela besar di belakang meja kerjanya. Dia berdiri disana, memandangi lampu kendaraam yang tampak kecil dari atas lantai 27 dimana kantornya berada. Kemacetan Jalan Sudirman di Jumat malam memang tidak ada tandingnya yang sering membuat Arsen lebih memilih pulang diatas jam sebelas malam dari kantor.

"Udah ketemu Kaia?" Pertanyaan Shaka membuat kerutan di kening Arsen terlihat jelas. "Dia udah balik." Kata pria itu lagi.

Arsen tersenyum sinis. Dia memasukan satu tangannya ke saku celana. "Lalu?"

Diseberang sana Arsen bisa mendengar helaan napas Shaka yang terlalu kentara. "Lo berdua kenapa sih?" Erangnya frustasi.

"Seharusnya lo nanya ke dia. Bukan ke gue!" Kata Arsen yang tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya. Semua orang bertanya padanya dan dia sendiri tidak punya jawaban dari pertanyaan itu.

Shaka berdecak. "Turunin dikit ego mu bang.. lo udah sekarat masih aja kemakan ego. Ketemu dulu. Ngobrol sama dia. Itu rumah yang udah jadi mau di jual lagi?" Kata Shaka yang terdengar lebih dewasa dari pada Arsen.

Shaka benar. Dia sekarat sekarang. Dia hanya sedang menutupi lukanya dengan setumpuk pekerjaan dan bergelas-gelas kopi hitam. "Gue lagi banyak kerjaan. Nanti kita bicara lagi." Ujarnya kemudian.

"Kalau tau endingnya bakalan begini, gue nggak bakalan restuin hubungan kalian. Lo kan tau bang gue sayang sama Kaia. Lo juga tau Kaia cinta pertama gue. Tapi gue ngalah bang karena gue tau lo berdua saling cinta." Ujar Shaka yang mulai emosional.

Arsen terdiam. Dia hanya tersenyum tipis lalu mematikan sambungan telepon begitu saja. Mengabaikan protes Shaka kepadanya.

Ada desahan samar yang terdengar saat Arsen menatap langit malam Jakarta tanpa bintang malam ini. Dia tau Kaia sudah tiba di Jakarta kemarin. Dia tau wanita itu tinggal di apartemennya sekarang. Jarak kantornya dengan apartemen wanita itu bahkan hanya bisa di tempuh dengan waktu sepuluh menit. Dia bisa saja segera menemui wanita itu. Mengajaknya berdebat kalau bisa. Menanyakan banyak hal tentang apa yang terjadi selama satu tahun terakhir ini. Tapi dia menahan diri. Egonya begitu besar sebagai seorang pria.

Arsen ingat malam itu di jam tiga pagi Kaia menghubunginya. Dia sudah tertidur lelap karena perjalanan panjangnya dari London benar-benar menguras tenaganya. Dengan setengah sadar dia mengangkat panggilan itu. Tidak biasanya Kaia menghubunginya dini hari, jadi dengan perasaan khawatir Arsen menyapa wanita itu di telepon seperti biasa lalu apa yang dia dengar?

HateLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang