"Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Alfiatul Hamidah binti Gunawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 50 gram dibayar tunai."
Hati Aisyah berdebar dengan mata yang berkaca-kaca tatkala ijab kabul terucap dari bibir Dafian yang kini sah menjadi suaminya. Aisyah meremat gaun pengantinnya dengan jantung yang berdegup kencang. Aisyah mengambil nafas, lalu beranjak dari duduknya. Ia bangkit dan dipapah beberapa pengiring pengantin wanita, melangkah ke arah Dafian.
Terlihat disana Dafian berdiri, tersenyum haru dengan mata yang sama-sama berkaca-kaca. Para hadirin yang melihatnya pun ikut tersenyum haru diiringi alunan lagu Sampai Jadi Debu.
Setelah keduanya berhadapan, Aisyah menatap Dafian yang kini menjadi suaminya dengan senyuman penuh arti. Begitupun dengan Dafian, ia begitu bahagia karena perjuangannya yang penuh lika-liku membuahkan hasil. Dengan begitu banyak rintangan dan halangan, akhirnya ia bisa mempersunting kekasihnya jua.
"Sayang..." Aisyah menoleh tatkala terdengar suara Dafian memanggilnya, ia beranjak dan menyimpan foto pernikahannya kembali ke atas nakas. Aisyah beralih menghampiri Dafian, mencium tangan suaminya sembari mengambil alih tas kerjanya.
"Gimana kerjaan hari ini mas, lancar?"
"Alhamdulillah... Besok aku ada kerjaan di luar kota, kamu ikut ya?" Ucap Dafian sambil melonggarkan dasinya, pria tampan yang memiliki tubuh proporsional itu melepas kancing kemejanya satu persatu, terlihat otot perutnya nampak seperti roti sobek, belum lagi otot bisepnya yang kokoh. Aisyah merengut, ia membantu suaminya melepas baju.
"Kalo aku ikut mas keluar kota, yang pantau yayasan siapa?" Jawab Aisyah, ia hendak menggantungkan baju suaminya namun Dafian terlebih dahulu menarik Aisyah merapat ke tubuhnya.
"Kan ada temen kamu yang, mau ya?" Ucap Dafian sambil memajukan wajahnya, Aisyah bergidik.
"Emh... Gak mau ah."
"Mau ya, nanti om kasih es krim." Bisik Dafian, wajah Aisyah seketika memerah, mengetahui alur pembicaraan suaminya mengarah kemana.
"Ah... Gak- Mas!"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Aisyah sudah diangkat ala bridal style oleh Dafian. Aisyah dibawa ke ranjang sembari dihujani beberapa ciuman. Aisyah memberontak, pasalnya ia baru saja selesai mandi dan satu jam lagi ia harus menghadiri pengajian.
"Mas... Aku mau ke pengajian bentar lagi." Cicit Aisyah, Dafian yang hendak mencium kening Aisyah mengurungkan niatnya, menghela nafas.
"Baiklah... Kasihan... Sepertinya adik kecewa, gapapa adik nanti malam kita bisa bersenang-senang, itu pun jika honey menginginkannya." Ucap Dafian sembari memasang raut sedih, pria itu bangun dari atas tubuh Aisyah, sesekali ia mengusap matanya yang tak berair.
"Ada-ada aja... Mending sekarang mas makan dulu, aku udah nyiapin makanan kesukaan mas."
"Adik kecewa ya? Gapapa, kita bisa melakukannya lain kali."
Aisyah terkekeh dibuatnya, ia bangkit dari tidurnya lalu memeluk suaminya.
"Uuu... Suaminya aku, siapa yang kecewa hm? Nanti malam ya... Sini aku sun sama peluk dulu... Mhhh... Pasti capek ya udah kerja, sayangnya aku..." Ucap Aisyah dengan sayang, ia mengusap-usap tubuh suaminya sembari memberikan beberapa kecupan. Dafian yang merasa disayang dan diberikan harapan, akhirnya tersenyum lebar, wajahnya yang tadi tampak sedih kini berubah sumringah.
"Beneran ya..."
"Iyaaaa... Suamikuuu..."
"Hehe... Terima kasih banyak istriku, cantikku, pujaan hatiku, bidadariku, duniaku, gemintang di hatiku." Ucap Dafian saking senengnya, ia menakup kedua pipi Aisyah dengan gemas, menciumi setiap inci wajahnya, menyalurkan perasaannya yang teramat senang.
"Makasih ya mas, maafin aku belum bisa kasih kamu keturunan." Ucap Aisyah, suaranya berubah sendu.
"Sssttt... Jangan bicara kayak gitu, aku gak suka. Selalu ingat kata-kataku sebelum kita menikah, kita menikah itu untuk menyempurnakan setengah agama kita dan aku bersyukur banget bisa nikah sama kamu. Bisa nikah sama kamu itu adalah cita-cita aku, harapan aku setelah aku kenal kamu. Karena bersama kamu adalah hal terindah yang selama ini aku impikan, aku semogakan, dan aku doakan. Dan atau tanpa hadirnya keturunan dalam pernikahan kita, tidak akan sekalipun mengurangi rasa cinta dan rasa sayang aku ke kamu. Bagi aku, kamu adalah duniaku, kamu itu hidupku. Dengan hadirnya kamu di hidupku, aku sudah merasa cukup." Ucap Dafian, Aisyah berkaca-kaca mendengarnya. Setelah lima tahun pernikahan, jawaban Dafian tetap sama. Dan hal itu selalu membuat Aisyah terharu mendengarnya. Aisyah mengeratkan pelukannya, bersembunyi di dada bidang suaminya.
"Kenapa hm? Ada yang bikin kamu kepikiran?" Tanya Dafian sambil mengusap kepala Aisyah dengan lembut.
"Aku mau Airis." Ucap Aisyah sembari terisak, Dafian yang mendengarnya pun mencelos, air matanya tak teras ikut jatuh.
"Insya Allah di masa depan kita akan punya Airis, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Maka dari itu sayang harus percaya, sayang harus yakin bahwa semua ini adalah ujian dari Allah sebagai tanda kasih sayang Allah pada kita. Sayang tahu gak, ada lho nabi yang dikaruniai keturunan di usia senja. Sayang tahu siapa nabi tersebut?"
"Emh... Nabi Syuaib?"
"Kisahnya akan aku kasih tahu setelah kamu pulang dari pengajian, sekarang sayang siap-siap dulu ya..."
"Kenapa gak sekarang aja sih mas, kan mubadzir air mata aku..."
"Eh..."
"Hehe... Iya,iya mas... Aku siap-siap dulu, kamu juga makan dulu mas." Ucap Aisyah, ia beranjak dari ranjang lalu berjalan ke kamar mandi. Dafian yang melihatnya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, berapa bersyukurnya ia mendapatkan istri menggemaskan seperti Aisyah.
✨✨✨
TBC
Mohon tinggalkan vote dan komen, untuk meningkatkan semangat menulis author.
Terima kasih, semoga teman-teman sehat selalu.
✨✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR KEDUA : Tentang Asa Yang Ku Sesali
Romance5 tahun menikah, Aisyah belum memiliki keturunan. Hal itu membuat keresahan tersendiri bagi Aisyah, apalagi keluarga dari pihak suaminya seringkali mendesak Aisyah untuk segera memiliki momongan, belum lagi nenek dari suaminya yang seringkali bertan...