12. Kebenaran

42 6 0
                                    

"Sona! Buruan! Nanti terlambat loh!" seru Ares, berdiri di depan pintu masuk rumahnya, menunggu Sona yang akan berangkat pergi ke sekolahnya.

Tak lama setelah penantian itu, Sona akhirnya turun dari atas tangga dengan mengenakan pakaian biasa dan bukannya seragam sekolahnya. Tangannya membawa segenggam buket bunga sementara tangannya yang lain menenteng sebuah tas kecil yang entah apa isinya dengan lengan yang terbalut oleh jam tangan berwarna merah muda dan bergambar beruang.

"Hah? Kamu ini niat mau sekolah apa study tour?"

"Sona mau jenguk kak Ara di rumah sakit! Sona nggak mau ke sekolah!"

"Tapi kan Sona masih harus sekolah. Kalau nanti Sona nggak sekolah terus dapat nilai jelek gimana? Nanti Ibu marah."

"Sona nggak peduli. Lagian Sona ke sana cuma sehari. Nggak kayak kak Ares yang sudah berhari-hari nggak sekolah."

"Gimana kalau kita pergi ke sekolahnya sepulang nanti? Kakak akan menjemputmu nanti."

"Nggak mau! Pokoknya Sona mau ke rumah sakit!" Sona berteriak sampai air matanya jatuh di kedua pelupuk matanya.

Ares sebenarnya tidak ingin memperpanjang masalah ini. Jika keinginan Sona tidak segera dituruti, dia akan mengamuk sepanjang hari dan mengurung diri di kamarnya. Sifatnya yang keras kepala itu membuatnya sulit sekali dibujuk dengan cara atau hadiah apapun.

"Ya sudah! Buruan! Kita ke rumah sakit sekarang!"

~o0o~

"Bu, kapan Ara pulang? Sudah seminggu lebih Ara ada di sini."

"Sabar sedikit lagi Ara. Sebentar lagi kamu pasti dipulangkan."

Aratha menatap Maya dengan ekpreksi lelah yang terlihat jelas di wajahnya. Tubuhnya selalu terlihat kurus meski dia sudah memakan semua makanannya tiga kali sehari. Terkadang Maya menjadi heran, kemana semua perginya makanan yang ditelan oleh Aratha sampai-sampai tidak membuat tubuhnya menjadi sedikit lebih berisi.

"Ara pengin sekolah meski Ara nggak punya teman di sana. Lagian, luka bekas kecelakaan kemarin sebentar lagi sudah mau sembuh." Ara memperlihatkan luka di lengan dan kakinya yang mulai mengering dan bisa digerakkan.

"Nggak boleh Ara. Kamu harus tetap di sini sampai kamu benar-benar sembuh."

Aratha menatap Maya lekat-lekat seakan berusaha membaca isi kepalanya. Aratha sangat tahu kalau ada sesuatu yang mereka rahasiakan dan tidak dokter beritahu padanya saat ia bertanya. Selain jumlah obat yang semakin banyak, mereka juga menyuntikkan sesuatu pada selang infusnya. Terkadang, sakit kepala hebat yang sering menyerangnya pada malam hari juga membuatnya merasa curiga dengan kesehatannya sendiri.

"Ibu, nggak merahasiakan apa-apa kan dari Ara?"

Maya tersentak. Setiap hari dia berusaha menutupi perasaan kekhawatirannya itu dengan memainkan berbagai ekpreksi di depannya. Aratha bukanlah seseorang yang mudah dibohongi karena sudah terlalu sering mendapatkannya. Di sisi lain, Maya tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Dia terlalu takut. Entah takut kehilangannya atau takut dengan jawabannya.

"Nggak Ara. Ibu nggak merahasiakan apapun dari Ara."

Ara terdiam sembari menatap ke bawah sebelum akhirnya dia melihat ke luar jendela yang terbuka. Dia merindukan suasana yang ada di luar. Udaranya, tempat-tempatnya, dan orang-orangnya. Sayangnya, selang infus yang tersangkut di tangannya ini telah menjadi rantai penghalangnya dengan dunia luar.

"Kepala Ara sakit Bu. Tiap hari, Ara dikasih suntikan aneh. Nggak ada satupun orang yang jawab pertanyaan Ara sakit apa sampai dikasih banyak obat. Ara baik-baik aja kan Bu?"

Cermin TAK SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang