Hari-hari berlalu begitu saja. Hanifa dan Radit semakin sering terlibat dalam hubungan intim, bukan hanya saat kencan, tapi kapan pun mereka berdua memiliki kesempatan. Setiap kali Radit datang ke rumah Hanifa, terutama di malam hari ketika Yulianti sudah tidur atau bahkan ketika Yulianti tidak ada di rumah, momen-momen penuh gairah itu seolah menjadi rutinitas yang tidak terelakkan. Hubungan mereka semakin intens, dan Hanifa tak bisa menyangkal perasaan senang yang muncul setiap kali bersama Radit.
Namun, ada satu hal yang mulai mengganggu Hanifa. Radit kerap membolos sekolah hanya demi bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya, dan terutama untuk seks. Awalnya, Hanifa tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa bahwa Radit terlalu mengorbankan pendidikan demi hasratnya. Meski dirinya juga menikmati hubungan fisik mereka, ada sisi Hanifa yang merasa harus membatasi kebiasaan ini demi kebaikan Radit.
Setelah merenung beberapa waktu, Hanifa akhirnya memutuskan untuk membuat aturan di antara mereka. "Radit, kita tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus fokus juga ke sekolahmu," ujar Hanifa suatu malam setelah mereka selesai bercinta. Napasnya masih terengah, tapi suaranya terdengar tegas. "Mulai sekarang, kita hanya akan melakukan ini seminggu sekali, oke?"
Radit terkejut mendengar aturan itu. Meski ia kecewa karena merasa hubungan fisik mereka menjadi bagian penting dari kedekatan mereka, Radit mengerti kekhawatiran Hanifa. Dengan sedikit ragu, dia mengangguk. "Baiklah, Hanifa. Aku akan menuruti aturanmu."
Meski ada rasa kecewa dalam diri Radit, dia menerima keputusan Hanifa. Hubungan mereka berlanjut, meski dengan frekuensi yang lebih teratur. Radit mulai lebih fokus pada sekolah, sementara Hanifa merasa lega telah membuat batasan yang diperlukan.
Tiga bulan setelah mereka menetapkan aturan baru dalam hubungan mereka, Hanifa merasa ada sesuatu yang berbeda. Meskipun mereka masih menjaga intensitas pertemuan, kedekatan mereka terasa mulai berkurang. Radit, meskipun masih sering datang ke rumah, tidak pernah mengundang Hanifa ke kosnya. Hanifa merasa penasaran, namun juga sedikit terluka dengan penolakan itu.
Suatu hari Hanifa pulang dari kantornya lebih awal, memutuskan untuk mengunjungi Radit. Hari ini, dia mengenakan setelan gamis yang elegan, berwarna keabu-abuan dengan belahan di kedua sisi yang memperlihatkan sedikit lekuk tubuhnya. Gamis tersebut dilengkapi dengan ikat pinggang yang menonjolkan bentuk tubuhnya, memberikan kesan anggun namun tetap menarik. Hijab senada dengan gamisnya menambah kesan lembut dan anggun, menyelimuti rambutnya dengan sempurna. Penampilannya kali ini memberikan aura kepercayaan diri yang berbeda, seolah siap menghadapi apa pun yang akan dia temui.
Hanifa melangkah ke mobilnya, mengendarainya dengan tenang menuju kos Radit. Perjalanan singkat membawa pikirannya berputar, mencoba menebak apa yang mungkin terjadi di sana. Kos Radit bukanlah tempat yang asing baginya, karena dia sudah diberitahu alamatnya beberapa waktu lalu. Kos itu merupakan rumah bertingkat tiga yang sederhana namun terlihat rapi, terletak di kawasan yang tidak terlalu ramai.
Sesampainya di depan kos, Hanifa mengunci mobilnya dan keluar dengan langkah mantap. "Kamar kos Radit berada di ruang 3-4, ya?" pikirnya, mengingat informasi yang diberikan sebelumnya. Dengan langkah pasti, dia memasuki area kos dan menaiki tangga menuju lantai tiga. Setiap langkahnya terasa semakin berat dengan rasa penasaran yang menghantui. Namun, dia tetap berjalan tegap, meski di dalam hatinya, ada ketegangan yang terbangun.
Ketika sampai di lantai tiga, Hanifa berhenti sejenak dan memeriksa pintu-pintu kos yang ada. Mencari kamar yang dimaksud. "Ah, ini dia," pikir Hanifa saat berdiri di depan pintu kamar dengan nomor yang dia cari. Dia melirik sekelilingnya, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Dengan rasa berdebar, dia mengetuk pintu kamar Radit. Tidak lama kemudian, suara Radit terdengar dari dalam, dan pintu pun terbuka.
Wajah Hanifa langsung memerah ketika melihat Radit hanya mengenakan boxer, memperlihatkan tubuhnya yang kekar khas remaja. Radit terlihat terkejut melihat kedatangan Hanifa yang tiba-tiba. Dia mengintip ke luar, memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya, lalu dengan cepat menarik tangan Hanifa dan membawanya masuk ke dalam kamarnya.
"Hanifa! Kenapa kamu datang tiba-tiba seperti ini?" tanya Radit dengan nada terkejut namun senang.
"Aku cuma ingin melihat kamarmu, karena aku belum pernah ke sini sebelumnya," jawab Hanifa, mencoba menenangkan diri.
Radit tersenyum lebar, "Tapi kamu tidak bilang akan datang, jadi aku tidak sempat beres-beres."
Hanifa mengangkat alisnya dan menoleh ke sekeliling, terkejut melihat betapa berantakannya kamar Radit. Pakaian berserakan di lantai, dan tumpukan buku terlihat tidak teratur. "Wah, ini benar-benar berantakan, ya?" ujarnya sambil tersenyum canggung.
Radit hanya tertawa kecil. "Iya, aku memang tidak terlalu peduli dengan kebersihan."
Hanifa menghela napas pendek dan meletakkan tasnya di meja kecil dekat galon air. "Oke, kamu duduk di sana dengan tenang. Serahkan bersih-bersih kepadaku," perintahnya, menggulung lengan gamisnya dengan tegas.
Sambil mulai membereskan kamar Radit, Hanifa memisahkan pakaian kotor dan bersih. Dia menaruh pakaian bersih ke dalam lemari dan mengumpulkan yang kotor ke dalam satu tumpukan. Saat merapikan buku-buku di rak kecil, dia terkejut melihat koleksi majalah dewasa yang tersembunyi di antara buku-buku biasa. Sekilas dia menatap Radit dengan ekspresi terkejut.
"Eh, Radit! Apa ini?" tanyanya, setengah tertawa dan setengah serius.
Radit hanya menggaruk kepalanya, tampak sedikit malu. "Ah, itu... Itu bukan apa-apa. Ya, kadang-kadang ada majalah yang aku beli."
Hanifa menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Ayo, kamu harus lebih bertanggung jawab menjaga kebersihan, terutama untuk tamu yang datang."
Dengan cepat, dia merapikan kamar itu, membuang sampah yang berserakan, dan memastikan semua barangnya tertata rapi. Momen itu terasa menyenangkan, meski ada perasaan campur aduk antara kekhawatiran dan rasa suka yang terus menghinggapi Hanifa.
Beberapa menit kemudian, Hanifa terlihat puas dengan hasil kerjanya. Kamar Radit kini terlihat jauh lebih rapi, dengan pakaian tertata dengan baik, buku-buku terorganisir, dan beberapa barang yang sempat berantakan sudah diletakkan di tempat yang tepat. "Nah, kalau begini, kan, lebih nyaman, bukan?" ucap Hanifa sambil tersenyum, merasa bangga dengan pekerjaannya.
Radit tersenyum, tampak lebih lega melihat kamar yang sekarang bersih. Dengan isyarat ringan, dia mengundang Hanifa untuk duduk di sampingnya di pinggiran kasur. Hanifa duduk dengan hati-hati, menikmati momen tenang setelah beberapa saat penuh aktivitas.
"Radit, gimana sekolahmu? Udah mulai fokus buat persiapan UTS nanti?" tanya Hanifa, suaranya penuh perhatian. Dia tahu betapa pentingnya ujian tengah semester bagi Radit, dan dia ingin memastikan bahwa Radit tetap serius dengan pendidikannya.
Radit mengangguk, meskipun tampak sedikit cemas. "Iya, Hanifa. Aku mulai lebih fokus belakangan ini, tapi kadang masih aja kepikiran hal-hal lain. Cuma, aku berusaha untuk nggak terlalu keluyuran."
Hanifa mengangkat alisnya, mendalami ekspresi Radit. "Kamu harus benar-benar konsentrasi. UTS itu penting, kamu harus siap. Kalau butuh bantuan belajar, aku bisa bantu kok."
Radit tersenyum dan mengangguk. "Iya, aku ingat itu. Terima kasih, Hanifa. Aku bakal berusaha lebih keras."
Hanifa melanjutkan, "Ngomong-ngomong soal itu, gimana dengan uang saku yang aku kasih setiap bulan? Sudah cukup dipakai untuk keperluanmu?"
Radit sedikit terkejut dengan pertanyaan Hanifa, tapi kemudian dia mengangguk. "Iya, uang saku itu cukup kok. Aku biasanya pakai buat beli buku, makanan, dan beberapa kebutuhan sehari-hari. Tapi kadang, kalau ada yang mendesak, aku juga agak nambahin sedikit dari tabungan."
Hanifa mengangguk puas mendengar jawabannya. "Aku senang kamu bisa mengatur keuangan dengan baik, Radit. Tapi kalau kamu butuh apa-apa lagi, jangan ragu untuk bilang, ya?"
Radit tersenyum, mengangguk lagi. "Iya, Hanifa, terima kasih banyak. Aku nggak nyangka kamu perhatian banget."
"Mmm, aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Radit," jawab Hanifa, matanya menatap Radit dengan penuh perhatian. Momen itu terasa hangat, di antara keduanya, meskipun ada sedikit keraguan dalam hati Hanifa tentang bagaimana arah hubungan mereka ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Secrets: Lust
Romance⚠️Warning: Khusus Dewasa ⚠️ Jangan sungkan memberikan komentar dan bantu naik dengan vote, oke? Sinopsis setiap wanita memiliki satu atau banyak rahasia dalam hidupnya, terlepas dari sisi baik maupun positifnya. Ikuti cerita mereka disini.