Semoga Semua Segera Berakhir

17 10 1
                                    

Bab 12: Semoga Semua Segera Berakhir

Hari itu, Sifa tidak bisa lagi menahan semua rasa sakit yang terus menghantui dirinya. Semua perasaan yang selama ini dia coba redam, kini semakin menyakitkan. Setiap hari melihat Denis bersama Riska, mendengar rumor yang terus beredar, dan merasakan pengkhianatan yang seolah tak berujung membuatnya merasa hancur. Sifa sudah mencapai batasnya. Dia tahu, jika dia terus diam dan membiarkan segalanya berjalan tanpa kejelasan, dia akan semakin tenggelam dalam rasa sakit yang tak kunjung reda. Dia perlu jawaban—jawaban yang akan menentukan masa depannya.

Setelah jam pelajaran terakhir selesai, Sifa memberanikan diri menghampiri Denis. Hatinya berdebar tak karuan, tangannya bergetar, tapi tekadnya bulat. Dia harus tahu, hari ini, sekarang juga.

"Den, bisa kita bicara sebentar?" Sifa memanggil Denis, suaranya terdengar serak meski dia mencoba untuk terdengar tegar.

Denis menatap Sifa sejenak, ekspresinya datar. “Di mana?”

Sifa mengarahkan Denis ke teras kelas yang sepi. Mereka berdiri berhadapan, angin sore yang berhembus pelan terasa menenangkan bagi Sifa, meski hatinya tetap bergejolak. Sifa mengambil napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian.

“Jujur aja, Den. Kamu suka sama Riska atau aku?” Sifa memulai dengan suara bergetar. “Supaya aku bisa pastiin aku bakal mundur atau maju. Tolong, jangan permainkan perasaan. Aku capek, Den.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Denis, meskipun hatinya benar-benar hancur.

Denis terdiam, tatapannya tidak bisa ditebak. Beberapa detik terasa seperti selamanya bagi Sifa, yang menunggu jawaban dengan napas tertahan. Akhirnya, Denis menghela napas dan berbicara dengan nada yang tenang namun tegas.

“Oke, Sifa,” Denis mulai, “jujur, aku suka Riska. Dan aku tahu, setelah aku ngomong ini, kamu pasti akan tentuin dan pastiin jalanmu sendiri.” Denis menatap Sifa dalam-dalam. “Maaf kalau aku pernah ngasih harapan yang salah. Tapi habis ini, kamu bisa ambil keputusan yang terbaik buat kamu.”

Sifa terpaku. Dia sudah menduga jawabannya, tapi tetap saja mendengar kata-kata itu dari mulut Denis seperti menancapkan pisau ke hatinya. Setiap kata Denis menambah beban di dadanya yang sudah terasa sesak. Air matanya mulai mengalir, meski dia mencoba menahan. Denis telah mengatakannya, perasaannya jelas—Riska. Bukan dia.

"Jadi... kamu pilih Riska?" gumam Sifa, meski hatinya sudah tahu jawabannya. Denis hanya mengangguk, tidak mengatakan apapun lagi.

Sifa tertawa kecil, tawanya getir, lebih karena tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. “Huff, semoga semua berakhir di sini. Supaya aku gak capek-capek ngejar kamu lagi.”

Setelah berkata demikian, Sifa berbalik dan pergi, meninggalkan Denis di sana. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, seolah dunia di pundaknya semakin menekan. Tapi, di balik semua kesedihannya, ada rasa lega. Setidaknya sekarang dia tahu, tidak ada lagi harapan palsu, tidak ada lagi penantian yang sia-sia.

---

Keesokan harinya, suasana sekolah terasa berbeda bagi Sifa. Segalanya tampak lebih sunyi meskipun riuh. Berjalan ke kelasnya terasa seperti melalui lorong panjang tanpa ujung. Dia berusaha untuk tetap fokus pada hari itu, tapi perasaannya terus bergejolak. Setiap kali dia melihat Denis dan Riska, hatinya kembali berdenyut sakit. Namun, dia sudah memutuskan untuk mengakhirinya di dalam hatinya. Tidak ada lagi perasaan yang harus dia tahan, meskipun kenyataannya lebih menyakitkan dari yang dia bayangkan.

Waktu istirahat tiba, dan kabar mengejutkan menyebar dengan cepat. Semua orang di kelas berkumpul di halaman sekolah, di mana Denis berdiri bersama Riska. Dengan percaya diri, Denis mengungkapkan perasaannya di depan teman-temannya.

“Aku suka Riska,” ucap Denis dengan lantang, membuat seluruh teman-teman di sekitar mereka bersorak riuh. Riska tersenyum penuh kemenangan, seolah inilah yang dia tunggu-tunggu. Sementara itu, Sifa yang berdiri jauh di belakang kerumunan, hanya bisa menatap tanpa emosi.

Setelah mendengar pengakuan Denis itu, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Sifa merasa anehnya lebih tenang, meski rasa sedih masih membekas dalam hatinya. Mungkin ini yang memang harus terjadi. Dia tidak perlu lagi berharap atau berjuang untuk seseorang yang tidak pernah melihat dirinya. Meski sakit, Sifa tahu inilah akhirnya.

“Huff, semoga semua berakhir di sini,” gumamnya pelan pada diri sendiri. “Supaya aku gak capek-capek lagi ngejar Denis.”

Nazwa, yang selalu ada di sisinya, memegang tangan Sifa erat-erat. “Kamu nggak sendirian, Sifa. Kamu masih punya aku,” ucap Nazwa, mencoba menenangkan sahabatnya yang hatinya pasti tengah terpuruk.

Sifa tersenyum lemah kepada Nazwa. Meski hati dan pikirannya terus berperang, dia tahu dia masih punya sahabat yang peduli padanya. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Sifa hanya berharap semuanya benar-benar segera berakhir, agar dia bisa kembali hidup tanpa rasa sakit ini.

---

Seiring berjalannya waktu, kabar tentang Denis dan Riska semakin menyebar. Semua orang di sekolah mengira mereka kini resmi berpacaran, meskipun kenyataannya tidak ada hubungan nyata di antara mereka selain rumor yang terlanjur berkembang. Denis tidak pernah meluruskan kabar itu, dan Riska semakin menikmati sorotan yang diberikan kepadanya.

Sifa, di sisi lain, berusaha untuk menerima kenyataan ini dengan tabah. Setiap kali dia melihat mereka berdua bersama, hatinya memang masih terasa perih, tapi dia tahu sekarang saatnya untuk berhenti berlarut-larut dalam kesedihan. Dia hanya ingin menemukan kedamaian, meskipun itu berarti harus menerima bahwa Denis bukanlah orang yang tepat untuknya.

Namun, menerima kenyataan itu tidak semudah yang dia bayangkan. Setiap malam, rasa sakit itu tetap datang menghantuinya, membuatnya kembali merasakan perasaan hampa yang sama. Tapi, dia terus mengingatkan dirinya bahwa ini akan segera berakhir. Semua ini, pada akhirnya, akan berlalu. Dan dia akan menemukan jalannya sendiri, tanpa harus terjebak dalam perasaan yang menyiksa ini lagi.

“Semoga semua segera berakhir,” bisik Sifa pada dirinya sendiri, berharap dia bisa mengakhiri semua rasa sakit itu dan kembali merasakan kebahagiaan suatu hari nanti.

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang