[SELESAI]
Yoo Jimin tahu garis hidupnya sudah diatur, dan Royal Empire adalah masa depannya. Apa pun keputusan dalam hidupnya, semua sudah diatur oleh ayahnya yang otoriter. Jimin tidak terkejut kala sang ayah mengatakan bahwa ia akan segera bertuna...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah pengkhiatan sang ibu, Jeno tidak pernah membayangkan dirinya dalam posisi sekarang―duduk di samping ibunya yang berbaring lemah di rumah sakit. Entah ke mana perginya rasa benci yang selama ini bercokol keras di hatinya.
"Terima kasih sudah mau bertemu Ibu." Yumi berkata lemah. Dari matanya yang sayu, ada genangan kristal bening yang siap jatuh.
Jeno dan Jaemin, yang duduk berdampingan menghadap ranjang pasien, terdiam dengan tatapan tertuju pada sang ibu.
"Ibu tahu kalian berhak tidak memaafkan Ibu, tapi Ibu akan tetap memohon ampun pada kalian. Maaf atas apa pun yang telah Ibu perbuat sampai menyakiti kalian begitu dalam." Yumi berhenti sebentar karena kesulitan menahan cekatan di tenggorokannya.
"Ibu tidak akan mencari pembelaan, tidak sama sekali. Justru Ibu merasa sangat bersalah kepada kalian, ayah kalian, Haechan, dan Chani. Maafkan wanita tua yang egois ini."
Yumi membiarkan air matanya mulai turun. Ia berhenti lagi, mengumpulkan energi untuk bicara dan menangis di saat yang bersamaan.
"Kalian tidak salah, ayah kalian juga tidak. Dan jangan salahkan Haechan, dia sama sekali tidak bersalah. Ibu yang sepenuhnya bersalah. Ibu melakukan kesalahan bukan berarti Ibu tidak menyayangi kalian. Kalian tetap anak-anak Ibu yang tersayang. Maafkan Ibu karena sakit hati dan trauma yang Ibu tinggalkan karena pengkhiatan Ibu dulu."
Yumi berhenti sejenak. Ia menatap kedua putranya bergantian. "Terima kasih sudah mengizinkan Ibu melihat kalian untuk yang terakhir kalinya."
Jaemin menunduk, lehernya tercekat bersama matanya yang memanas. Napasnya sudah sedikit memburu. Sementara itu, Jeno terus bergeming. Meski tak banyak menunjukkan reaksi, hanya Tuhan yang tahu betapa hancur hatinya saat ini.
"Ibu senang melihat kalian tumbuh menjadi pria tampan yang gagah. Ibu bangga pada kalian." Yumi dengan wajah pucatnya mencoba tersenyum.
"Boleh Ibu pegang tangan kalian, Nak?"
Meski ragu, Jaemin dengan air mata tergenang, mengulurkan tangannya dan menggapai tangan kurus ibunya.
"Ibu." Pecah suara tenang Jaemin. Pria itu mulai tersedu.
Mendengar panggilan dari sang anak yang dirindukannya, membuat Yumi menangis lebih deras. Di raganya yang lemah, ada rasa bersalah yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
"Iya, ini Ibu, Nak," kata Yumi, bergetar dan lemah.
Jaemin menangis lebih kencang. Mendengar tangisan saudaranya, Jeno ikut merasakan sakit yang sama. Ikatan batin mereka membuatnya begitu. Meski tak ingin ikut menangis, air matanya bicara lebih cepat dari dugaannya. Setetes air matanya jatuh.
Ludahnya tertelan dengan susah payah untuk menghalau cekatan di tenggorokan. Bibirnya terbuka untuk bicara, namun Jeno ragu melakukannya. Mulutnya terkatup lagi.
Tanpa berkata apa pun, Jeno angkat kaki dan keluar dari ruang rawat sang ibu. Bahunya merosot, matanya semakin tergenang setelah ia menutup pintu. Tangisnya pecah begitu Jimin menariknya ke dalam pelukan.
Tanpa berucap, Jimin mengusap kepala dan punggungnya lembut. Jeno membenamkan wajahnya di bahu istrinya.
"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja." Jimin berujar beberapa saat kemudian.
Jeno hanya menangis, mengeratkan pelukannya hingga meremas kuat baju yang Jimin kenakan.
***
Siang itu, mereka berkumpul di rumah sang ibu. Saat sampai, ada Chani yang tengah berada di ruang bermain, ditemani pengasuhnya.
Tok! Tok! Tok!
"Hai, Chani!" sapa Jimin dengan ceria begitu anak itu menoleh karena ketukan di pintu yang terbuka.
"Kak Jimin?!" Chani berlari dengan kaki kecilnya, tak lupa membawa serta mainan dinosaurusnya.
Jimin dengan senang hati melebarkan tangannya untuk menyambut Chani dengan sebuah pelukan. Ia mengangkat anak itu dan menimangnya dalam pangkuan di pinggang.
"Mana Kak Haechan?" Chani berusaha menoleh, ingin melihat di balik kepala Jimin.
Jimin tersenyum lebar. "Hari ini kau mau main dengan kakak-kakakmu yang lain?"
Chani menatap bingung. Tatapan polosnya lalu tertuju pada tiga pria yang memasuki kamarnya.
"Kakak!" Chani memanggil orang yang dikenalinya―Haechan. Tatapannya pun hanya tertuju padanya.
Haechan mendekat, lalu menepuk lembut kepala Chani. Senyuman hangat terukir di bibirnya. "Hai, Chani. Bagaimana kabarmu?"
"Hmm ... bagaimana, ya. Aku tidak tahu." Chani mengangkat bahunya kecil.
"Lho, kenapa? Kok, tiba-tiba cemberut begitu?" tanya Jimin dengan suara lemah lembutnya.
"Mmm ... aku ingin bertemu Ibu, tapi Elena bilang Ibu sedang sibuk bekerja. Jadi aku harus mau ditemani Elena untuk sementara waktu." Chani menyebut nama pengasuhnya.
Senyum Jimin surut. Begitu pula milik Haechan. Jaemin, yang melihat itu, ikut merasakan kesedihan. Pria itu akhirnya mendekat ke Chani, lalu tersenyum sambil menyapanya.
"Hai, Chani. Kau ingat Kakak?"
Chani menatap Jaemin dan memperhatikan. Anak kecil itu menunduk.
"Kenapa, Chani?" tanya Jimin lembut.
"Aku tidak yakin."
"Kita pernah bertemu waktu kau datang bersama Ibu. Apa kau tidak ingat, Chani?"
"Aku ingat. Waktu itu Kakak tidak suka melihatku, sama seperti Kak Haechan menatapku dulu." Chani mengungkapkan.
"Tidak begitu Chani. Kakak tidak pernah membencimu. Dulu, Kakak sedikit bertengkar dengan Ayah dan Bibi. Tapi, semua sudah baik-baik saja sekarang. Kakak sayang pada Chani," jelas Haechan dengan senyum lembutnya.
"Chani paham, kok. Chani sudah dengar ceritanya dari Ibu." Sungguh perkataan yang terlalu dewasa untuk usianya yang masih 4 tahun. Keadaanlah yang membuat punya pola pikir demikian.
Sementara itu, Jaemin menurunkan senyumannya. Hatinya mencelus. Waktu bertemu Chani beberapa bulan yang lalu, ia memang hanya diam. Bukan berarti ia membenci bocah kecil ini. Rasanya aneh saja melihat anak kecil hasil perselingkuhan sang ibu dengan ayah sahabatnya sendiri.
"Kakak bukan orang asing, Sayang. Kak Jaemin ini juga kakak kandungmu. Sama seperti aku." Haechan mencoba menjelaskan.