CHAPTER 38 | SYDNEY

496 70 4
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Setelah pengkhiatan sang ibu, Jeno tidak pernah membayangkan dirinya dalam posisi sekarang―duduk di samping ibunya yang berbaring lemah di rumah sakit. Entah ke mana perginya rasa benci yang selama ini bercokol keras di hatinya.

"Terima kasih sudah mau bertemu Ibu." Yumi berkata lemah. Dari matanya yang sayu, ada genangan kristal bening yang siap jatuh.

Jeno dan Jaemin, yang duduk berdampingan menghadap ranjang pasien, terdiam dengan tatapan tertuju pada sang ibu.

"Ibu tahu kalian berhak tidak memaafkan Ibu, tapi Ibu akan tetap memohon ampun pada kalian. Maaf atas apa pun yang telah Ibu perbuat sampai menyakiti kalian begitu dalam." Yumi berhenti sebentar karena kesulitan menahan cekatan di tenggorokannya.

"Ibu tidak akan mencari pembelaan, tidak sama sekali. Justru Ibu merasa sangat bersalah kepada kalian, ayah kalian, Haechan, dan Chani. Maafkan wanita tua yang egois ini."

Yumi membiarkan air matanya mulai turun. Ia berhenti lagi, mengumpulkan energi untuk bicara dan menangis di saat yang bersamaan.

"Kalian tidak salah, ayah kalian juga tidak. Dan jangan salahkan Haechan, dia sama sekali tidak bersalah. Ibu yang sepenuhnya bersalah. Ibu melakukan kesalahan bukan berarti Ibu tidak menyayangi kalian. Kalian tetap anak-anak Ibu yang tersayang. Maafkan Ibu karena sakit hati dan trauma yang Ibu tinggalkan karena pengkhiatan Ibu dulu."

Yumi berhenti sejenak. Ia menatap kedua putranya bergantian. "Terima kasih sudah mengizinkan Ibu melihat kalian untuk yang terakhir kalinya."

Jaemin menunduk, lehernya tercekat bersama matanya yang memanas. Napasnya sudah sedikit memburu. Sementara itu, Jeno terus bergeming. Meski tak banyak menunjukkan reaksi, hanya Tuhan yang tahu betapa hancur hatinya saat ini.

"Ibu senang melihat kalian tumbuh menjadi pria tampan yang gagah. Ibu bangga pada kalian." Yumi dengan wajah pucatnya mencoba tersenyum.

"Boleh Ibu pegang tangan kalian, Nak?"

Meski ragu, Jaemin dengan air mata tergenang, mengulurkan tangannya dan menggapai tangan kurus ibunya.

"Ibu." Pecah suara tenang Jaemin. Pria itu mulai tersedu.

Mendengar panggilan dari sang anak yang dirindukannya, membuat Yumi menangis lebih deras. Di raganya yang lemah, ada rasa bersalah yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

"Iya, ini Ibu, Nak," kata Yumi, bergetar dan lemah.

Jaemin menangis lebih kencang. Mendengar tangisan saudaranya, Jeno ikut merasakan sakit yang sama. Ikatan batin mereka membuatnya begitu. Meski tak ingin ikut menangis, air matanya bicara lebih cepat dari dugaannya. Setetes air matanya jatuh.

Ludahnya tertelan dengan susah payah untuk menghalau cekatan di tenggorokan. Bibirnya terbuka untuk bicara, namun Jeno ragu melakukannya. Mulutnya terkatup lagi.

ROYAL AND NOBLEWhere stories live. Discover now