43. Kemarahan

62 10 5
                                    

Saat asap mulai menipis, Gavin, Brian, dan Gabriel memindai area sekitar dengan cepat. Mereka tahu bahwa musuh-musuh bisa muncul kapan saja dengan tiba-tiba. Gabriel mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalinnya yang masih terpacu tinggi.

Brian memeriksa sisa peluru di senjatanya. "Kita tidak bisa berdiam di sini. Musuh tahu posisi kita, dan mereka pasti punya rencana cadangan," ujarnya sambil menatap Gavin dan Gabriel.

Gabriel mengangguk. "Kita harus bergerak ke tempat yang lebih aman, mungkin lantai atas dekat tangga darurat. Di sana kita bisa merencanakan untuk menyerang mereka lebih baik."

Brian berpikir sejenak, "Benar. Kita harus memastikan tidak ada lagi musuh yang mendekat ke kamar Alvarez. Bagaimanapun, kita harus melindungi mereka."

Mereka bertiga kemudian berlari cepat menuju tangga darurat. Di tengah perjalanan, Gabriel mendapat panggilan melalui headset-nya. Itu suara Temannya. "Gabriel situasi di luar semakin genting. Ada banyak musuh yang mengelilingi gedung dari berbagai arah. Kami sedang mencoba menahan mereka di luar, tapi mereka semakin banyak."

"Kami sedang menuju lantai atas. Pastikan tidak ada yang masuk lewat pintu utama. Aku akan memberikan perlawanan di dalam." Pintah Gabriel dingin.

"Siap. Berhati-hatilah, Gabriel." jawabnya sebelum sambungan terputus.

Setibanya di lantai atas, Gavin, Brian, dan Gabriel segera bersiap dalam posisi bertahan. Mereka tahu, jika musuh berhasil melewati penjagaan di lantai bawah, mereka hanya punya waktu singkat sebelum mereka sampai di lantai ini. Brian mengecek kembali persenjataannya, sementara Gabriel memastikan mereka semua menggunakan baju antipeluru yang ia siapkan.

"Brian! Apa kau mendengarku?" suara Marvel terdengar jelas melalui headset yang terhubung dengan Brian.

"Ya, katakan. Bagaimana situasi di kamar Alvarez?" tanya Brian dengan nada serius.

"Situasinya buruk! Dua wanita berpakaian hitam dengan masker menutupi wajah mereka berhasil masuk ke ruangan Tuan Muda lewat jendela. Queen dan Dokter Kayla membutuhkan bantuan kalian segera!" suara Marvel terdengar panik di seberang.

DORRR!
Suara tembakan yang nyaring langsung terdengar di headset Brian, membuatnya tersentak. "Sial! Marvel, apa kau baik-baik saja?!" teriak Brian, suaranya penuh kecemasan.

Gavin dan Gabriel langsung mendekatinya setelah mendengar teriakan itu. "Ada apa, Brian?" tanya Gabriel dengan nada panik.

"Marvel!" panggil Brian lagi, tetapi tidak ada jawaban. "Sial!" umpatnya kesal.

"Katakan, Brian, apa yang terjadi? Apakah sesuatu terjadi pada Marvel?" Gabriel mendesak, suaranya semakin khawatir.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi saat Marvel melaporkan bahwa dua wanita berpakaian hitam masuk ke kamar Alvarez, aku mendengar suara tembakan jelas di headsetku!" Brian menjelaskan dengan nada tegang.

Mendengar itu, Gavin menatap mereka dengan tatapan yang dingin, penuh amarah. Tatapan itu cukup untuk membuat Brian dan Gabriel menelan ludah mereka dengan gugup. Mereka menundukkan kepala, tidak berani bertemu pandang dengan Gavin, karena auranya yang begitu menakutkan.

"Selesaikan sisanya di sini. Aku akan turun dan menangani ini sendiri. Wanita-wanita itu urusanku," ucap Gavin dingin, namun tegas.

"B-baik, Tuan," jawab Brian dan Gabriel serempak, masih menunduk, takut melakukan kesalahan yang bisa berakibat fatal.

Gavin melangkah menuju tangga dengan langkah santai. Ia sengaja menghindari lift, yakin bahwa musuh sedang mengawasi dan bersembunyi di setiap sudut. Ia ingin memancing mereka keluar.

Benar saja, begitu Gavin tiba di lantai dua, ia sudah disambut oleh sekelompok musuh bersenjata yang langsung mengarahkan senjata mereka ke arahnya.

Gavin hanya menyeringai sinis, seolah sudah memprediksi situasi ini. "Bodoh," gumamnya pelan, tatapannya tajam menembus musuh-musuh di depannya. Gerakannya tetap tenang, tetapi mata dinginnya memberikan isyarat kepada seseorang yang berada di bayang-bayang.

DUARRR!

Dalam hitungan detik, ledakan besar mengguncang ruangan. Jeritan musuh yang terlambat menyadari jebakan itu terdengar melengking sebelum akhirnya teredam oleh dentuman mematikan. Darah muncrat ke segala arah, melukisi lantai dan tembok dengan semburat merah gelap. Potongan tubuh mereka berserakan di lantai, bercampur dengan darah yang menggenang. Kepala-kepala musuh terpental jauh, menghantam dinding sebelum jatuh dengan bunyi berdebum.

Gavin berdiri di tengah kekacauan tanpa sedikit pun noda darah menyentuh tubuhnya. Tatapannya menyapu ruangan, memastikan tidak ada seorang pun yang selamat dari pembantaian tersebut. "Begitu mudah ditebak," gumamnya pelan, nadanya penuh ejekan.

Dari sudut gelap, sosok Axle muncul dengan langkah tenang. Selama ini, dia berada dalam bayang-bayang, mempersiapkan jebakan ledakan sesuai perintah Gavin. "Selesai, Tuan," lapor Axle singkat, tangannya terlipat di belakang punggung.

Gavin mengangguk kecil tanpa berkata sepatah kata pun, lalu melangkah melewati mayat-mayat berserakan. "Tuan, dugaan Anda benar. Wanita itu berkhianat. Dia sangat pandai memanipulasi keadaan," kata Axle, suaranya datar namun tegas.

"Di mana dia sekarang?" tanya Gavin dingin, suaranya sarat dengan ancaman yang tersembunyi.

Axle menekan tombol pada jam tangannya. Sinar biru terpancar dari perangkat itu, memproyeksikan gambar seperti CCTV yang menampilkan situasi terkini. Dalam proyeksi itu terlihat ruangan adik Gavin. Dua wanita berpakaian hitam dengan masker menutupi wajah mereka sedang berada di sana.

"Dia berada di kamar adik Anda, Tuan. Dia berhasil melukai sahabatnya sendiri dengan menembak kedua kakinya hingga tidak bisa berdiri. Namun, dokter yang ada di ruangan itu tidak kalah tangguh. Dokter tersebut berhasil melemparkan suntikan khusus ke arah mereka. Cairan dari suntikan itu belum sepenuhnya bereaksi, tapi hanya tinggal beberapa menit sebelum efeknya muncul," jelas Axle sambil menunjukkan detail proyeksi tersebut.

"Apa efek dari cairan itu?" tanya Gavin, ekspresinya tetap dingin meskipun matanya memancarkan kilatan tajam.

"Setelah cairan sepenuhnya bereaksi, tubuh mereka akan lumpuh total, Tuan," jawab Axle.

Gavin menyeringai tipis, seringai yang dingin dan penuh kebahagiaan. "Bagus," ujarnya, nadanya terdengar seperti ancaman yang membungkus kepuasan. "Sekarang, ikut aku ke kamar adikku."

Axle mengangguk tanpa berkata-kata. Keduanya segera bergerak dengan langkah tegas, meninggalkan kekacauan di belakang mereka dan menuju ke tujuan berikutnya. Pertarungan belum selesai, dan Gavin siap menyelesaikan semuanya dengan caranya sendiri.

-
-
-

Hai, hai, aku update lagi. Semoga kalian suka ceritanya. Jangan lupa vote dan komen ya guys. Terima kasih untuk semuanya🕊

Sampai jumpa di chapter selanjutnya 👋🏻

Two Handsome Killers <On Going> Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang