Bab 16

632 131 25
                                    

"Tunggu, gak usah kemana-mana. Bikin aku makin pusing kalau kamu kenapa-napa."

Gilang belum menyelesaikan ucapannya, tapi Jenar telah memutuskan telepon mereka. Ia menatap langit yang mulai menggelap lantas menghirup napas panjang. Ia mengisi paru-parunya dengan ketenangan dengan harapan dua perempuan itu baik-baik saja. 

"Aku cari mereka," kata Gilang beranjak pergi. Baru satu langkah, tangannya ditarik oleh Remi. 

"Sendiri? Jangan sinting. Kita tunggu arahan dari panitia." 

"Arahan panitia?" tanyanya sinis. "Rem ini udah setengah enam sore, sebentar lagi malam, dan kita di tengah hutan. Gimana bisa cuma nunggu arahan?" kata Gilang mulai kehilangan akal. 

Remi menghela napas. "Paham, tapi jangan sendirian carinya. Sama aja nambah satu orang hilang itu namanya," kata Remi mencoba menenangkannya. "Aku udah ngobrol sama panitia lain. Nanti akan dibagi beberapa tim, satu tim pegang satu HT. Soalnya beberapa titik udah gak bisa dijangkau sama sinyal." 

Setelah berhasil menenangkan Gilang dengan alasan yang sangat masuk akal, mereka kemudian bersiap pergi untuk mencari keberadaan Jenar dan Sabina. Sebagian besar anggota kelompok Remi tadi sudah kembali ke tenda, hanya tersisa dirinya dan dua orang anak laki-laki lain.  

"Kelompok Kak Remi ke sebelah utara dan Kak Gilang ke Selatan. Nanti kita kumpul lagi di pos ini. Selalu berkabar kalau ada apapun," ucap Pandu menjelaskan. Semua paham lantas beranjak dari posisi masing-masing. 

Gilang mencoba menghubungi Jenar lagi, namun tak ada jawaban. Pesan pun tak dibaca. Dadanya mulai bergemuruh meratapi kekhawatiran yang menyanderanya. Tidak, semua pasti akan baik-baik saja. 

Mereka menyusuri jalan setapak yang ada, sayangnya tak kunjung menemukan keduanya. 

"Kak Gilang, ini hp Sabina atau Kak Jenar?" tanya Pandu membuat Gilang buru-buru mendekat ke aranya. Tangannya segera mengambil benda kotak itu dari Pandu. 

Wallpaper dengan gambar anak kecil dan ayah yang saling berpelukan. Ia sangat mengenali wajah itu. "Amanda," ucapnya lirih dengan suara serak.

Tangannya menggenggam hp itu erat-erat. Pandangannya menatap sekeliling. Dimana perempuan itu? Padahal dirinya sudah meminta agar Jenar tak kemana-mana. 

"Tes tim satu. Sabina udah aman. Sekarang sama kita menuju pos lima. Ganti." 

Suara gemerisik dari HT yang ada di saku Pandu mengejutkan mereka. Pandu segera membalasnya, "Tim dua. Oke langsung balik ke perkemahan aja. Ganti." 

Gilang bernapas lega, Sabina baik-baik saja. Sekarang fokusnya tinggal satu, Jenar. 

"Jenar gimana?" suara Remi menyela. 

Pandu melirik Gilang sebentar. "Tim dua. Belum ketemu, tapi kita nemuin HP Kak Jenar jatuh. Mungkin di sekitar sini. Ganti." 

"Gimana, sih!" hardiknya. 

Di suasana yang lain, Remi menggeram kesal. Matanya beralih menatap Sabina dengan dahi mengerut. 

"Terakhir Jenar dimana?" 

Sabina mengambang, ia bingung. Beberapa menit yang lalu ia tersesat tak tau arah. Dadanya berdentum keras karena ketakutan. Ia mencoba mengingat. 

"Ter...terakhir di... di," jawabnya gagap. Tak bisa, ia tak bisa mengingat dengan baik. Hanya ada rerumputan dan pohon. Tapi ia bahkan tak tahu dimana posisi tepatnya.

"Dimana, Cil?" tanya Remi lagi. 

"Mas udah. Jangan bikin Sabina tertekan," sela Naba menepuk pundak Remi.

Sialan. Remi tak bisa tenang. Matahari telah tenggelam, pencahayaan sangat minim. Ia tahu Jenar adalah perempuan yang pemberani, tapi ini di tengah hutan. 

"Ma...maaf. Aku.. aku gak dengerin kata-kata Kak Jen," kata Sabina mulai terisak. "Tad...tadi Kak Jen udah ngelarang. Tap..tapi aku nekat." 

Remi beralih menatap perempuan di sampingnya. Matanya memejam seraya menarik napas panjang. Tidak seharusnya ia marah dengan Sabina. 

"Sorry," ucapnya lirih sambil memegang pundak Sabina. "Sekarang kamu balik ke perkemahan, ya."

"Kak Jen gimana?" tanya perempuan itu mendongak. "Aku... aku ikut cari Kak Jen." 

Remi menggeleng. "Jangan. Udah ada Gilang dan tim yang cari. Kita balik perkemahan aja." 

***

Jenar tak tahu ada dimana karena keadaan sudah gelap. Sebenarnya sejak masih ada matahari, dia juga tak tahu arah. Sialan, hpnya juga jatuh tak tahu dimana. Ia tak berhenti mengumpat dalam hati, meskipun beberapa kali ia juga merapal doa karena takut ada ular. 

"Udah, deh. Alamat nginep di sini semalaman," gumamnya pelan. 

"Gini, ya, rasanya jadi host jejak si gundul. Cocok nih kayaknya masuk CV—cok, nyamuk!" Umpatnya kesal. Ia tak ingin terlalu banyak misuh sebenarnya, tapi hutan seperti ini membuatnya terus ingin berkata-kata kasar. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengatakan kata 'cok'. 

"Oke Jenar. Taubat, Jen, taubat. Lagi di hutan gak boleh misuh. Apalagi malem-malem. Ini kalau beneran kesurupan dan dibawa ke alam lain bisa bahaya." Ia menunduk dengan sopan. "Maaf, ya, mbah. Aku diem kok." 

Tanpa sadar tangannya semakin merapatkan diri memeluk badannya. Udara sialan! Oh astaga dia baru saja mengumpat. Tapi, kan, dalam hati. Tak apa, setan tak mungkin mendengar suara hatinya. 

"Bisa gak jangan sakit sekarang? Please badanku sayang, kompromi sekali aja, oke? Besok pagi kita tidur sampai pulas. Sekarang jangan sakit, ya?" katanya pada dirinya sendiri. 

Ia tak sempat berpikir orang lain akan menemukannya. Ia hanya berharap kalau Gilang berhasil menemukan Sabina. Karena ini kesalahannya, ia terlalu gegabah membiarkan Sabina pergi sendirian. Perempuan itu pasti ketakutan. Sementara dirinya... ya, dirinya? Ia tak peduli. Ia pikir, ia bisa menjaga dirinya sendiri.

Walaupun dalam hatinya Jenar benar-benar takut. Tapi ia meredam, menutup, dan mengubur ketakutan itu dalam-dalam. Dia bisa. Ini akan berakhir dengan segera. Pagi akan datang, bermalam di rerumputan liar ini bukanlah akhir. Ia hanya perlu bertahan sedikit lebih lama.

Namun tubuhnya tak mau kompromi. Getaran dingin merayap dari tulang-tulangnya, membuatnya menggigil tak terkendali. Ia terus menggosok lengannya, mencoba memaksa hangat yang tak kunjung datang. Perlahan, gerakan itu melemah. Tangan yang berjuang mempertahankan suhu mulai lunglai. Dunia di sekitarnya mulai berputar. Kepalanya pusing, ia seolah tak dapat menahannya lagi.

"Wi..ise man... say... only fools... rush... in." Senandungnya teredam oleh dingin yang menggigit, hampir seperti bisikan yang putus-putus. Jenar berushaa mencari kekuatan lewat lagu yang mengingatkan akan suara merdu ayahnya dengan petikan gitar yang terasa menenangkan. 

"But I... can't help... falling... in.. love... with...you." Kepalanya mulai terisi akan kenangan tentang ayahnya. Suatu malam, ketika ia tak bisa tidur, ayahnya selalu menyenandungkan lagu ini padanya. Katanya perasaan cinta itu seperti sungai yang mengalir menuju lautan. Cinta selalu memiliki jalannya sendiri, menuju muaranya.

"Kalau ternyata perasaannya gak sampai gimana, Yah?" tanya anak perempuan berusia delapan tahun itu kepada lelaki yang mendekapnya dengan erat. Ia bersandar pada dada ayahnya, mendengarkan detak jantung yang menenangkan, suara yang selalu membuat segalanya terasa aman.

"Pasti sampai," balas lelaki itu dengan kayakinan tak terbantahkan. 

"Kalau tiba-tiba ada yang menghalangi?" tanya Jenar dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Ditutup pake tembok?"

Ayah Jenar tersenyum. "Dia bisa belok. Aliran sungai itu bisa berkelok-kelok, tapi ujungnya pasti laut. Sama seperti cinta. Bisa jadi jalannya rumit, tapi pasti sampai di muaranya." 

"Muaranya cinta apa, Yah?" tanya Jenar kecil dengan polos.

Mata Ayah Jenar menatap langit-langit kamar sejenak, seolah ada yang lebih luas dari plavon kamar, yang hanya bisa dilihatnya. "Ikhlas." 

Dan Jenar menutup matanya. 

*** 



Hard To Say I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang