Di sudut kelas yang sepi, Elin dan Gracie duduk bersebelahan sambil membuka bekal yang dibawa Gracie. "Taraaa, ini buat kamu, Lin. Aku belajar masak khusus buat kamu," ujar Gracie sambil tersenyum jahil.
Elin menatap kotak bekal itu dengan ragu tapi penuh rasa penasaran. "Yakin kamu yang masak, Gre? Bukan eksperimen kamu yang aneh-aneh kan?," canda Elin, mengangkat alis sambil tersenyum lebar.
Gracie terkekeh, mengangkat bahu. "Ya, siapa tahu kan? Tapi beneran kok, aku belajar ini semalaman. Jadi, kamu harus nyobain, oke?"
Elin akhirnya mengambil sesuap dari bekal itu dan langsung tersenyum lebar. "Wah, enak banget! Nggak nyangka kamu bisa masak seenak ini, Gre!"
Gracie tersipu, lalu dengan nada menggoda menimpali, "Ya dong, apa sih yang nggak buat kamu, Lin?"
Elin tersenyum malu, menundukkan kepala sambil mengunyah. Bagi mereka, kebersamaan kecil seperti ini sudah cukup untuk membuat hati berbunga.
Gracie tersenyum lebar, menatap Elin dengan tatapan penuh harap. "Jadi, apa aku udah cocok jadi pacar kamu, Lin?"
Elin hanya tertawa kecil dan menggeleng sambil tersenyum. "Kapan-kapan ya?" jawabnya, tapi ada rona merah di pipinya yang membuat Gracie semakin gemas.
Mereka melanjutkan makan bersama, diiringi godaan Gracie yang semakin iseng. Elin hanya bisa tersenyum dan terkadang membalas dengan candaan kecil. Bagi Gracie, momen seperti ini adalah saat-saat berharga di tengah hari-hari sekolah mereka.
Namun, momen mereka terpotong ketika terdengar suara dari ambang pintu kelas. "Gracie!" panggil Muthe sambil melambai. "Ada yang nyari kamu di luar."
Gracie menoleh, lalu berpamitan pada Elin. "Kayaknya ada panggilan tugas nih," ucapnya setengah bercanda. "Jangan kangen ya, Lin!" tambahnya sambil berjalan pergi, membuat Elin tertawa kecil dan menggeleng pelan.
Begitu Gracie keluar, suasana kelas yang tadinya diwarnai canda dan tawa kembali tenang. Elin menatap pintu kelas sejenak, merasa ada yang hilang ketika Gracie pergi.
Tak lama, Gracie kembali ke kelas dengan ekspresi santai seolah tak ada yang terjadi. Elin yang penasaran langsung bertanya, "Eh, tadi ada apa? Siapa yang nyari kamu?"
Gracie tersenyum jahil, lalu dengan santai berkata, "Oh, cuma kakak kelas yang tiba-tiba nembak aku."
Elin terkejut, matanya membesar. "Serius? Terus… kamu terima nggak?"
Gracie menatap Elin dengan tatapan yang sedikit serius, namun masih dengan senyum menggoda. "Ya gimana mau diterima, Lin? Yang aku suka kan kamu," ucapnya sambil tersenyum penuh arti.
Elin langsung memalingkan wajah, merasa wajahnya memerah. "Duh, Gre… nggak usah sembarangan deh!"
Gracie terkekeh, semakin gemas melihat reaksi Elin. "Kok malu sih? Kamu tuh lucu banget kalau merah gitu, tahu nggak?"
Elin hanya bisa menghela napas, mencoba menutupi rasa gugupnya, sementara Gracie terus menggoda dengan senyum nakal yang khas. Bagi Gracie, momen-momen menggoda Elin seperti ini selalu membuatnya senang.
Mereka kembali menikmati makan siang bersama, sesekali Elin menyuapi Gracie. Gracie menerima setiap suapan dengan senang hati, matanya berbinar penuh rasa syukur. Bagi mereka, kebersamaan kecil ini sudah cukup membuat hati keduanya terasa hangat.
Namun, tiba-tiba ponsel Gracie bergetar, mengalihkan sejenak momen hangat di antara mereka. Gracie memeriksa ponselnya, dan sejenak ekspresinya berubah—sinar di matanya sedikit meredup.
Elin yang menyadari perubahan itu menatap Gracie dengan sedikit khawatir. "Kenapa?"
Gracie cepat-cepat menyimpan ponselnya, mengembalikan senyumnya seolah tak ada yang terjadi. "Nggak kok, Lin, nggak ada apa-apa. Cuma notifikasi biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Hujan Turun
Short StoryCerita-cerita kecil akan seperti apa dunia jika kita saling jatuh cinta, sedang cinta sendirian ini pun terasa menyenangkan