Part 39 : Flashback - Lahirnya sosok Annisa

233 3 0
                                    

Di sebuah kota kecil yang dipenuhi hiruk pikuk aktivitas, Andi dan Rudi bersiap menghadapi tantangan yang tidak main-main: mengalahkan geng yang selama ini menguasai wilayah tersebut. Kota ini tak hanya menjadi pusat perdagangan gelap, tetapi juga sarang konflik antar-geng yang tiada henti.

Andi, pemuda dengan paras yang jauh dari gambaran seorang kriminal, menjadi pusat perhatian. Wajahnya tampan dengan kulit putih bersih, seolah terawat sempurna. Fitur wajahnya halus, bahkan terlihat feminim bagi sebagian orang. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, membuatnya tampak seperti orang biasa yang tidak mencolok. Namun, siapa pun yang mengenalnya lebih dalam tahu betul bahwa penampilan sering kali menipu.

Di balik sosok lembut itu, Andi adalah seorang pemimpin geng yang ditakuti oleh kawan dan lawan. Ia kejam dan tanpa ampun. Tiada rasa takut di matanya, meski harus menghadapi musuh dalam situasi paling berbahaya sekalipun. Namanya sering disebut dalam bisikan ketakutan di sudut-sudut gelap kota ini.

Rudi, sahabat sekaligus tangan kanan Andi, adalah sosok yang setia mendampinginya. Meskipun lebih terlihat garang dengan tubuh besar dan suara baritonnya, ia lebih sering mengikuti arahan Andi yang cerdik. Keduanya memiliki misi besar: menggulingkan kekuasaan geng lawan yang dianggap telah melewati batas.

Namun, perjalanan mereka tidaklah semudah itu. Setiap langkah membawa kembali ingatan masa lalu Andi—bagaimana ia pertama kali terlibat dalam dunia kriminal. Kehidupannya yang penuh luka, kehilangan, dan pengkhianatan membentuk karakter keras yang kini ia miliki.

Di tengah semua persiapan, Andi menatap Rudi, "Kali ini kita habiskan mereka. Tidak ada jalan kembali."

Rudi hanya mengangguk, memahami beban di balik kata-kata itu. Andi bukan hanya bertarung untuk kekuasaan, tetapi juga untuk membalaskan dendam masa lalu yang belum tuntas.

Pertempuran di depan bukan hanya soal geng, tetapi soal harga diri dan masa depan kota kecil ini yang selama ini terjebak dalam bayang-bayang kekerasan.

--------------------------------------

Kota kecil itu tampak tenang di permukaan. Jalan-jalan yang sempit dipenuhi warung kopi sederhana dan kios-kios tua yang menjajakan kebutuhan sehari-hari. Tapi di balik ketenangan itu, setiap sudutnya menyimpan cerita gelap. Kota ini adalah rumah bagi geng-geng yang bertarung demi kekuasaan. Darah sering mengalir di jalan-jalan sempit, dan suara tembakan adalah simfoni malam yang biasa. Di sinilah Andi dan Rudi merencanakan langkah mereka berikutnya.

Andi duduk di salah satu sudut gelap sebuah gudang tua, tempat yang menjadi markas kecil mereka. Ia memandang peta kota di atas meja kayu yang penuh coretan dan lingkaran merah. Rudi berdiri di sampingnya, tubuh besarnya membayangi meja. Meski memiliki tubuh yang lebih besar dan suara yang berat, Rudi selalu memberikan tempat bagi Andi untuk memimpin.

"Andi, mereka sudah tahu kita bergerak," kata Rudi sambil melipat tangannya. "Anak buah mereka mulai menyebar, berjaga di wilayah yang kita tandai."

Andi mendengarkan tanpa mengalihkan pandangan dari peta. Tangannya yang ramping dan bersih menyusuri garis-garis di peta itu, menunjukkan wilayah yang dikuasai musuh. Tidak ada tanda keraguan di wajahnya yang terlihat tenang. Hanya sorot mata dingin yang berbicara, penuh perhitungan dan ketegasan.

"Kita akan mulai dari pelabuhan," ucap Andi akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Jika kita hancurkan alur penyelundupan mereka, mereka akan lumpuh. Setelah itu, kita ambil alih gudang mereka di utara."

Rudi mengangguk, meski raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Mereka punya lebih banyak orang. Kita nggak punya cukup senjata untuk menghadapi mereka langsung."

Andi tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat Rudi merinding. Itu adalah senyuman yang menandakan bahwa Andi sudah punya rencana yang lebih besar dari yang terlihat.

"Kita nggak perlu banyak senjata, Rudi. Kita butuh otak," jawab Andi.

Sosok Andi memang membingungkan. Dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kulit putih bersih, dan wajah yang lebih lembut daripada maskulin, tidak ada yang akan mengira bahwa dia adalah pemimpin geng paling ditakuti di kota kecil ini. Namun, siapa pun yang berhadapan dengannya, baik kawan maupun lawan, tahu satu hal: Andi tidak pernah kenal rasa takut, dan dia selalu menang.

Rudi mengenang kembali awal pertemuannya dengan Andi beberapa tahun lalu. Saat itu, Andi hanyalah seorang pemuda pendatang yang tidak banyak bicara. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal atau mengapa dia datang ke kota ini. Tapi dalam waktu singkat, dia membangun reputasi sebagai seseorang yang tidak bisa dianggap enteng.

"Andi," panggil Rudi, suaranya lebih lembut kali ini. "Lo yakin ini cara yang terbaik? Kita punya pilihan lain, mungkin..."

"Pilihan lain sudah hilang sejak lama," potong Andi dingin. "Ini bukan cuma soal kekuasaan, Rudi. Ini soal bertahan hidup. Kota ini nggak akan pernah bebas kalau mereka tetap berkuasa."

Suasana di dalam gudang terasa berat. Angin malam berhembus masuk melalui celah-celah dinding kayu yang mulai lapuk. Di luar, suara kendaraan yang lewat terdengar samar.

Andi berdiri, menatap lurus ke arah Rudi. Meski tubuhnya lebih kecil, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Rudi selalu tunduk. "Kita habiskan mereka. Sekarang, atau nggak sama sekali."

Rudi mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin.

----------------------------------------

Malam itu, Andi duduk sendirian di atap sebuah bangunan tua, memandang ke arah kota yang kelam. Lampu-lampu jalan tampak redup, dan suara aktivitas malam terdengar seperti dengungan jauh. Ia mengingat kembali bagaimana semua ini dimulai.

Andi bukanlah seseorang yang lahir di dunia ini. Masa kecilnya penuh kekerasan dan kehilangan. Ia hidup berpindah-pindah, dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya ia percayai. Luka-luka itu membentuk dirinya menjadi seseorang yang tidak pernah lagi percaya pada orang lain, kecuali dirinya sendiri.

Namun, di balik semua itu, ada rasa bersalah yang selalu menghantuinya. Semua kekerasan yang ia lakukan, semua nyawa yang ia ambil—ia tahu bahwa itu tidak akan pernah membawa kedamaian yang ia cari. Tapi ia juga tahu bahwa dalam dunia ini, hanya yang kuat yang bertahan.

--------------------------------

Keesokan harinya, Andi dan Rudi memimpin kelompok kecil mereka menuju pelabuhan. Jalanan sepi, tapi ketegangan terasa di udara. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari perang yang akan menentukan segalanya.

"Rudi," panggil Andi ketika mereka hampir sampai.

"Ya?"

"Kalau sesuatu terjadi pada gue, lo yang lanjutin ini. Pastikan mereka nggak bisa lagi nguasain kota ini."

Rudi menatap Andi dengan serius. "Jangan ngomong kayak gitu. Kita keluar dari sini bareng-bareng."

Andi hanya tersenyum tipis. Di balik semua rencana dan keyakinannya, ia tahu bahwa kemenangan selalu datang dengan harga yang harus dibayar.

Malam itu, kota kecil yang selama ini terperangkap dalam ketenangan palsu akhirnya mulai bergetar. Pelabuhan menjadi medan perang pertama mereka, dan suara tembakan serta teriakan mulai menggema di udara.

Perang telah dimulai, dan Andi tahu bahwa ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini soal mengubah nasib sebuah kota—dan dirinya sendiri.



AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang