Hari-hari Karel di sekolah semakin berat. Vince dan gengnya seolah tidak pernah kehabisan cara untuk membuat hidupnya terasa seperti neraka. Tak peduli sekeras apa Karel mencoba untuk menghindar, mereka selalu menemukan cara untuk menjadikannya sasaran.
Pagi itu, Karel berjalan di koridor sekolah dengan kepala tertunduk. Dia baru saja menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan di ruang guru. Saat melewati lorong menuju kelasnya, dia merasakan sebuah kaki tiba-tiba menjegalnya.
BRUK!
Karel jatuh tersungkur, buku-buku dan kertasnya berserakan di lantai. Tawa Vince dan gengnya menggema di sepanjang lorong.
“Wah, si banci jatuh lagi! Kayaknya lo emang nggak cocok sekolah, Rel,” ejek Vince sambil berjongkok di depan Karel.
“Lo pikir gue belum bosan, Vince?” kata Karel pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah tawa mereka.
“Apa lo bilang? Ulangin!” Vince menarik kerah seragam Karel dengan kasar, memaksanya berdiri.
“Gue bilang… udah cukup!” Karel berteriak, air matanya mengalir tanpa bisa dia tahan.
Namun, reaksi itu hanya membuat Vince semakin tertawa. “Liat nih! Anak manja nangis lagi. Gimana kalau lo pulang aja ke rumah dan merengek ke abang lo?”
Tiba-tiba, Rey muncul dari balik kerumunan siswa yang hanya menonton tanpa berbuat apa-apa. Dia langsung berdiri di antara Karel dan Vince.
“Cukup, Vince! Lo udah keterlaluan!” bentak Rey.
“Dan lo mau ngapain, Rey? Mau jadi pahlawan?” Vince menantang sambil mendorong Rey ke belakang.
Karel berdiri dengan gemetar, menarik tangan Rey. “Rey, udah… Jangan bikin ribut.”
Namun, sebelum Rey sempat menjawab, Rafael muncul dari ujung lorong. Dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah, dia menghampiri Vince dan gengnya.
“Vince!” Rafael berseru, membuat semua orang yang ada di lorong langsung terdiam.
“Ada apa, Kak Rafael? Kita cuma bercanda kok,” jawab Vince, pura-pura tidak bersalah.
“Bercanda? Lo pikir ngerjain Karel terus-terusan itu bercanda?” Rafael langsung mencengkeram kerah Vince dengan keras, membuat pemuda itu terkejut.
Kerumunan siswa semakin ramai. Semua mata tertuju pada Rafael yang terlihat benar-benar marah.
“Dengar ya, Vince,” Rafael mendekatkan wajahnya ke Vince. “Kalau lo sentuh Karel lagi, gue pastikan lo bakal menyesal. Gue nggak peduli siapa lo, gue nggak peduli geng lo. Gue bakal lapor ke guru, kepala sekolah, bahkan orang tua lo.”
Rafael melepas cengkeramannya dengan kasar, membuat Vince tersandung ke belakang. Vince hanya menunduk, tidak berani melawan.
“Karel, ikut gue,” kata Rafael sambil menarik tangan adiknya.
Karel mengikutinya tanpa perlawanan, sementara Rey berjalan di belakang mereka, diam-diam merasa lega.
---
Di ruang OSIS, Rafael duduk berhadapan dengan Karel. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat penuh kekhawatiran.
“Karel, sampai kapan lo mau diem aja? Lo harus beritahu kalau Lo punya Abang disini dan Lo nggak perlu ngadepin ini sendirian,” kata Rafael, suaranya melembut.
Karel hanya menunduk. “Bang, aku nggak mau jadi masalah buat abang. Kalau mereka tahu aku punya Abang , mereka bakal juga ikut ngebully Abang .”
“Rel,” Rafael menggenggam tangan adiknya. “Lo nggak pernah jadi masalah buat abang. Gue cuma mau lo aman.”
Air mata Karel kembali mengalir. Dia merasa lega sekaligus bingung. Di satu sisi, dia ingin mempercayai kakaknya, tetapi di sisi lain, ketakutan akan balas dendam Vince terus menghantui pikirannya.
Rey, yang ikut masuk ke ruangan itu, menambahkan, “Karel, lo nggak sendirian. Gue di sini, Kak Rafael juga. Kita bisa hadapin mereka sama-sama.”
Namun, Karel hanya menggeleng pelan. “Aku cuma pengen semua ini selesai, Rey. Aku capek.”
Kata-kata itu menusuk hati Rafael. Dia tahu adiknya berada di titik terendah. Dia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...