🔗 RTK 13. Pencarian🔗

74 8 3
                                    

Matahari terbenam di balik gedung pencakar langit Seoul, meninggalkan langit jingga yang memudar.  Minhyung, dengan rambut hitamnya yang sedikit berantakan dan mata yang berkaca-kaca, menyusuri jalanan ramai itu.  Langkahnya gontai, setiap langkah terasa berat bagai beban batu di dadanya.  Ia mencari Beomgyu, adiknya yang hilang.

Sepuluh jam yang lalu, Beomgyu masih bersamanya, tertawa riang di tengah heningnya rumah sakit,  Lalu, sesaat lengah dimana Minhyung sempat pergi kekantor untuk menyelesaikan tuganya,  Beomgyu menghilang.  Minhyung telah mencari ke seluruh penjuru kota Seoul, bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya, namun tak ada yang melihat Beomgyu.

Sekarang, kegelapan mulai menyelimuti kota, dan rasa takut mulai menggerogoti hati Minhyung.  Bayangan-bayangan buruk mulai bermunculan dalam pikirannya.  Apakah Beomgyu tersesat? Apakah Beomgyu kabur?

Setiap sudut jalan yang dilewati Minhyung dipenuhi dengan kenangan bersama Beomgyu.  Ia mengingat tawa adiknya yang renyah, senyumnya yang manis, dan canda tawa mereka saat bermain petak umpet di taman beberapa hari lalu. Bahkan kemarin malam ia barusan menemuinya dirumah sakit.

Kenangan itu semakin menguatkan tekadnya untuk menemukan Beomgyu.

Minhyung meraih ponselnya, mengecek pesan terakhir dari Beomgyu.  Hanya pesan singkat: "Kak, aku pergi sebentar, ya!"  Pesan itu terasa begitu menyayat hati sekarang.  "Sebentar" itu terasa seperti selamanya.

Dengan sisa tenaga yang ada, Minhyung terus berjalan, matanya menjelajah setiap sudut jalan, setiap wajah yang lewat.  Harapannya masih menyala, meskipun nyala itu mulai redup diterpa kegelapan malam.  Ia harus menemukan Beomgyu.  Ia harus.

Beberapa minggu kemudian,  daun-daun di Seoul telah berubah warna menjadi cokelat keemasan, menandakan datangnya musim dingin.  Suasana kota terasa lebih sunyi, lebih dingin,  mencerminkan perasaan Minhyung yang juga semakin dingin dan hampa.  Pencariannya untuk Beomgyu belum membuahkan hasil.

Setiap hari, Minhyung masih menyusuri jalanan,  kali ini dengan langkah yang lebih lesu,  mata yang lebih sayu.  Harapannya semakin menipis, digantikan oleh keputusasaan yang perlahan-lahan mengikis semangatnya.  Ia telah melaporkan kehilangan Beomgyu ke polisi,  menempelkan foto adiknya di setiap tiang listrik dan papan pengumuman,  namun tak ada petunjuk yang berarti.

Rumah terasa sunyi dan kosong tanpa tawa Beomgyu.  Orang tuanya, yang awalnya berusaha tegar, kini juga mulai menunjukkan kelelahan dan keputusasaan.  Suasana makan malam yang dulu penuh canda dan tawa kini hanya dipenuhi oleh kesunyian yang mencekam.

Minhyung seringkali duduk di taman tempat ia dan Beomgyu dulu sering bermain.  Ia menatap ayunan kosong,  mengingat Beomgyu yang tertawa riang saat bermain ayunan.  Air mata tak kuasa dibendungnya lagi.  Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.  Seandainya ia tidak lengah, seandainya ia selalu mengawasi Beomgyu…

Namun, di tengah keputusasaan itu,  seutas harapan kecil masih menyala dalam hati Minhyung.  Ia berjanji pada dirinya sendiri,  ia akan terus mencari Beomgyu,  sampai kapan pun.  Ia tidak akan menyerah.  Ia harus menemukan adiknya.  Untuk keluarganya, untuk dirinya sendiri.  Ia harus menemukan Beomgyu.

Kesunyian malam itu kini bertambah sunyi, hampa.  Bukan hanya karena hilangnya Beomgyu, tetapi juga karena beban rasa bersalah yang semakin berat dipikul Minhyung.

Bayangan rumah sakit dan ruangan kosong tempat tidur Beomgyu, serta kotak strawberry yang masih utuh di tangannya, terus menghantuinya.  Ia sampai terlambat, dan ketika akhirnya tiba, Beomgyu sudah menghilang entah ke mana.  Strawberry yang sedari tadi ia genggam terasa dingin dan berat, seakan-akan membebani hatinya.

Ia mengingat kejadian itu dengan jelas.  Beomgyu, yang tengah dirawat karena sakit,  meneleponnya dan meminta strawberry.  Minhyung, yang sibuk bekerja lembur,  walau merasa bersalah karena terlambat,  tetap berusaha membeli strawberry kesukaan adiknya. 

Rumah [Tanpa] kehangatan..Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang