Cerpen ini dikirim oleh Author Saffana_23
🌷Selamat Membaca🌷****
Salju turun lebat di desa kecil di pinggiran Seoul. Hawa dingin menusuk tulang, tetapi Han Yoona tidak peduli. Ia duduk di bangku kayu di taman kota yang hampir tertutup salju, menatap kosong ke arah pohon-pohon gundul yang berdiri diam diterpa angin musim dingin. Udara dingin menggigit hingga terasa ke dalam tulangnya. Akan tetapi, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang lebih menyakitkan. Rasa tidak dihargai di rumahnya sendiri.
Yoona adalah anak bungsu dari empat bersaudara di keluarga Han. Satu-satunya perempuan di antara tiga saudara laki-laki. Kakak-kakaknya, Han Yansu, Han Jinso, dan Han Junho, masing-masing berjarak lima hingga delapan tahun darinya. Meskipun mereka selalu menjaga dan melindunginya di masa kecil, Yoona merasa dirinya tidak pernah dianggap setara.
Dalam keluarga Han, tradisi patriarki masih sangat kental. Anak laki-laki selalu diutamakan, sementara anak perempuan dianggap sebagai tangan kanan ibu untuk anak bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah tangga. Sedangkan anak laki-laki, bak raja di singgasana duduk diam yang selalu mendapat pelayanan yang maksimal.
Ketika liburan akhir tahun tiba, kesibukan rumah semakin menjadi. Yoona tahu bahwa ia akan diminta membantu ibunya untuk menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan melayani para tamu, sementara ketiga kakak lelakinya hanya akan diminta duduk manis atau mengobrol dengan kerabat.
Kali ini, ia tidak mau. Dengan sengaja, Yoona memutuskan untuk tidak pulang ke rumah setelah pulang bekerja, rasanya terlalu lelah menghadapi rumitnya pekerjaan dan lingkungan kantor yang tidak sehat, ditambah rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk pulang. Akan tetapi, justru rumah adalah tempat paling menyesakan menurutnya. Ia butuh waktu untuk menyendiri, jauh dari tuntutan yang tak adil itu. Kenapa hanya anak perempuan yang selalu dianggap rendah?
Namun, keputusannya membuat keluarganya geger.
Han Yansu, kakak tertua, berdiri di ruang tamu dengan ponsel di tangannya. Ekspresi wajahnya serius, matanya berkaca-kaca saat ia membaca pesan terakhir dari Yoona."Aku tidak akan pulang tahun ini. Jangan cari aku."
“Dia benar-benar tidak akan pulang,” gumam Yansu.
Jinso, kakak kedua, yang biasanya lebih santai, kali ini tampak gelisah. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya? Ini musim salju. Dia tidak bisa sembarangan di luar sana.”
Junho, si bungsu dari tiga kakak laki-laki, mengebrak meja dengan frustasi. “Kenapa kita membiarkan ini terjadi? Kita harus mencarinya sekarang!”
Ketiganya tahu bahwa Yoona adalah adik yang kuat dan mandiri, tetapi mereka juga sadar bahwa ia menyimpan banyak luka batin yang selama ini tak pernah ia ungkapkan. Mereka bertiga merasa bersalah, walau tak ada satu pun dari mereka yang mau mengatakannya secara gamblang.
“Aku akan mengecek di stasiun kereta,” ujar Yansu sambil mengenakan mantel tebal. “Jinso, kamu cari di taman kota. Junho, periksa tempat-tempat yang biasa dia kunjungi di sekitar tempat kerjanya. Aku yakin dia tidak akan pergi jauh.”
Di taman kota, Yoona duduk membeku dalam lamunannya. Ia teringat masa kecilnya, momen ketika ia selalu mengalah demi kakak-kakaknya.
Ketika ia ingin bermain salju, ibunya memintanya tetap di dalam untuk membantu memasak. Ketika ia ingin belajar melukis, ayahnya berkata itu tidak penting karena perempuan akhirnya hanya akan mengurus rumah tangga. Sementara itu, ketiga kakak lelakinya bisa mengejar apa pun yang mereka inginkan.
“Aku juga punya mimpi,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dingin. Matanya berkaca-kaca membayangkan betapa tidak adilnya terlahir menjadi anak perempuan.
Namun, ada saat-saat ketika ketiga kakak lelakinya memperlakukannya dengan baik, meski momen itu jarang. Ia ingat ketika Yansu membelikan permen favoritnya saat ia sakit. Atau ketika Jinso menggendongnya saat ia terluka di taman. Dan Junho—Junho yang kerap bertengkar dengannya bahkan kaka ketiganya itu pernah memukul anak lain yang mengganggunya di sekolah.
Akan tetapi, perhatian itu selalu terselubung. Kakak-kakaknya tak pernah mengungkapkan kasih sayang secara langsung, membuat Yoona merasa bahwa ia hanya menjadi bagian kecil dari keluarga, tanpa arti.
Langkah kaki terdengar di belakangnya. Yoona menoleh, dan di sana berdiri Jinso dengan napas memburu. Wajahnya memerah bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kegelisahan karena mencari Yoona.
“Yoona!” serunya.
Yoona mengerutkan dahi, tidak menyangka kakaknya akan menemukannya secepat itu. “Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanyanya dingin.
“Tempat ini favoritmu, kan?” Jinso mendekat, tetapi Yoona menggeser tubuhnya, menciptakan jarak. Ia tidak ingin luluh hanya karena Jinso mencarinya.
“Kenapa kau mencariku?”
“Karena kami khawatir. Yansu dan Junho juga mencarimu sekarang,” jawab Jinso.
Yoona tertawa pahit. “Khawatir? Kalian khawatir karena aku tidak ada untuk membantu ibu di rumah? Aku sangat lelah, ingin sendiri dan menikmati akhir tahun tanpa bekerja keras.”
Jinso terdiam. Ucapan Yoona terasa seperti tamparan. Ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata itu, tetapi ia juga tahu itu tidak sepenuhnya benar.
“Kami tahu kami salah, Yoona,” ujar Jinso akhirnya. “Kami tahu kau merasa tidak dihargai. Tapi itu bukan alasan untuk pergi begitu saja.”Jinso berusaha menjelaskan.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Yoona mendesah. “Aku lelah menjadi pelayan keluarga.” Matanya menatap kosong ke arah pohon yang dipenuhi oleh salju. Yoona ingin sekali egois, ia tidak akan goyah. Bila perlu tidak usah pulang sampai akhir tahun depan.
Tidak lama kemudian, Yansu dan Junho tiba di taman. Ketiganya berdiri mengelilingi Yoona, membuatnya merasa terpojok.
“Aku tidak ingin pulang!” ujar Yoona dengan suara tegas. “Aku tidak ingin menghabiskan akhir tahun melakukan pekerjaan yang selalu kalian abaikan. Aku juga punya hak untuk menikmati hidupku!”
“Kami tahu,” kata Yansu, suaranya penuh penyesalan. “Kami tidak pernah menyadari betapa berat beban yang kau tanggung selama ini.” Yansu mencoba mendekati Yoona.
“Seharusnya kami membantu,” tambah Junho. “Kami egois, dan kami minta maaf.” ungka Junho yang menyesal dengan sikap dinginnya selama ini.
Yoona memandang kakak-kakaknya dengan curiga. “Kenapa tiba-tiba kalian mengatakan ini? Kalian sedang merencanakan sesuatu agat aku mau pulang, ‘kan?”
“Bukan tiba-tiba,” ujar Jinso. “Kami hanya terlalu lambat menyadarinya. Kau selalu menjadi adik kecil kami, Yoona. Kami menyayangimu, tetapi kami tidak pernah tahu cara menunjukkannya dengan benar.”
Yoona merasa ada benjolan di tenggorokannya. Ia ingin menangis, tetapi ia menahan diri. “Kalau kalian benar-benar peduli, buktikan. Aku tidak ingin kata-kata kosong!” seru Yoona dengan nada pelan tapi terdengar tegas.
Yansu mengangguk mantap. “Kami akan membuktikannya. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang namanya pekerjaan … anak perempuan atau anak laki-laki … semua tanggung jawab akan kita bagi rata.”
Yoona memandang mereka dengan ragu. Ia ingin percaya, tetapi rasa sakit dari bertahun-tahun ketidakadilan membuatnya sulit.
“Kau adalah bagian penting dari keluarga ini, Yoona,” ujar Junho. “Kami tidak ingin kehilanganmu.”
Beberapa hari kemudian, Yoona akhirnya pulang bersama kakak-kakaknya. Awalnya, ia tetap bersikeras untuk tidak pulang. Akan tetapi, setelah melihat ketulusan dari ketiga kakaknya membuat Yoona mulai melihat perubahan nyata.
Bahkan, ibu dan ayahnya pun berubah sikap menjadi lebih lembut pada Yoona. Ternyata, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, tidak buruk menjadi anak perempuan satu-satunya dari keluarga yang mayoritas melahirkan anak laki-laki. Yoona hanya kurang berkomunikasi dan menyimpan keluhannya di dalam hati yang seharusnya di utarakan.
Tidak buruk berterus terang kalau kita sedang tidak baik-baik saja, rasanya lebih lega meluruskan kesalahpahaman dari kurangnya komunikasi. Bahkan, ketiga kakaknya tidak segan menawarkan bantuan padanya ketika dirinya merasa tidak kesulitan.
Ketika ibunya meminta Yoona membantu di dapur, Yansu segera berdiri dan berkata, “Aku yang akan melakukannya, Bu. Yoona butuh istirahat.” mendengarnya, membuat hati Yoona bersemangat, ternyata ucapan ketiga kakaknya benar, mereka sangat menyayanginya. Hanya telat menyadari betapa pentingnya saling membantu satu sama lain.
Jinso dan Junho pun mengambil tugas mereka dari membersihkan rumah bersama, bercanda dan tertawa, membuat suasana menjadi lebih ringan. Yoona menyaksikan semua itu dengan hati yang perlahan melembut.
“Ternyata keluargaku tidak seburuk itu,” gumam Yoona sambil mengulum senyum.
“Yoona, kau tidak meminta apapun pada ketiga kakakmu?” tanya Ayah, pria paruh baya itu mulai berpikiran terbuka dalam mendidik ke-empat anaknya.
Ya, sebelumnya pria paruh baya itu masih berpikiran primitif. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa anak perempuannya begitu menderita selama ini, pria itu pun menyesali perlakuan buruknya yang selalu membeda-bedakan Yoona dengan ketiga kakaknya. Demi menebus kesalahannya. Tuan Han, akan melakukan apapun demi kebahagiaan putri bungsunya itu.
“Hm … aku hanya ingin keluarga ini hidup rukun dan tidak ada lagi ketidakadilan, aku sudah bekerja dan menghasilkan uang. Rasanya terlalu malu jika masih meminta hadiah dari ketiga kakakku,” jawab Yoona dengan santai, dalam lubuk hatinya terselip rasa syukur. Yoona akhirnya merasakan kasih sayang sang ayah tanpa membandingkannya dengan saudara laki-lakinya.
Yansu, Jinso dan Yunho tergelak mendengar penuturan dari adik bungsu mereka.
“Sungguh, adik bungsu kami ternyata sudah sangat dewasa, padahal kami bertiga sudah menyiapkan hadiah spesial untukmu. Sekarang hadiah itu hanya sia-sia karena Yoona tidak menginginkannya,” kata Yansu dengan nada yang dibuat sedih.
“Aku tidak menyangka mendapat kenyataan pahit bahwa Yoona menolak hadiah yang membuat isi tabunganku terkuras habis,” sambung Junho dengan wajah lesu dan mengiba.
“Sudahlah kita jual saja hadiah itu, nanti hasil dari penjualannya kota bagi tiga,” cetus Jinso mencoba memberi solusi.
Yoona mencebik, hatinya tergelitik mendengar keluh kesah ketiga kakaknya. Ia merasa geli dan lucu secara bersamaan.
“Baiklah … demi membuat kalian bertiga senang, aku akan menerima hadiahnya dengan suka cita. Jadi, dimana hadiahnya. Berikan padaku?” pinta Yoona sambil tersenyum lebar.
Untuk pertama kalinya, ia merasa dihargai bukan hanya sebagai anak perempuan, tetapi sebagai anggota keluarga yang setara. Ia juga menyadari bahwa kakak-kakaknya benar-benar menyayanginya, meskipun mereka tidak pandai mengungkapkannya.
Musim salju tahun itu menjadi awal baru bagi keluarga Yoona. Tidak ada lagi patriarki yang membebani, hanya kasih sayang yang tulus dan kerja sama yang adil.
Bagi Yoona, itu adalah hadiah akhir tahun terbaik yang pernah ia terima.End~