"Jadi, kau mainan baruku ya?"
Suara Maxine terdengar congkak dan angkuh, seperti biasa, namun ada sedikit kilatan ketertarikan di matanya yang menyiratkan sesuatu lebih dari sekadar keisengan. Ia duduk santai di atas sofa, tubuhnya sedikit miring ke samping, dan tatapannya polos namun tajam, menilai anak laki-laki di depannya.
Anak laki-laki itu, yang kini tampak jauh lebih bersih dibandingkan sebelumnya, duduk bersimpuh di lantai, tubuhnya terikat oleh berbagai tali yang melilit erat. Setiap gerakan tampak terbatas, kekuatan dan kebebasannya terkekang oleh ikatan yang kuat.
Ujung tali-tali itu kini berada di tangan Maxine, yang memainkannya dengan anggun, seolah ia sedang mengendalikan setiap gerakan anak laki-laki itu tanpa perlu berkata apa-apa lagi.
Anak laki-laki itu hanya diam, tak mampu berbuat banyak selain menunggu apa yang akan dilakukan Maxine selanjutnya. Namun, ia tahu bahwa dia hanya sebuah benda yang ada untuk hiburan, seperti yang Maxine inginkan.
Maxine mengangkat satu alis, menggulung tali di tangannya sedikit lebih ketat, lalu tersenyum dengan senyum yang lebih lebar. "Lihat, kamu jadi seperti patung kecil, kan? Bisa bergerak sedikit, tapi tetap di bawah kendaliku."
Dia menggerakkan tangannya, menarik salah satu tali dengan perlahan, menambah ketegangan di tubuh anak laki-laki itu. Keheningan sesaat, hanya terdengar desah napas yang sedikit lebih berat dari tubuh yang terikat, dan Maxine semakin menikmati kontrol yang ia miliki atas situasi ini.
"Tapi jangan salah, aku bukan hanya mengikatmu untuk kesenangan semata," Maxine melanjutkan, suaranya kini lebih rendah, penuh dengan godaan yang tidak terucapkan. "Aku hanya ingin tahu... sampai sejauh mana kamu akan bertahan."
Maxine tertawa kecil, suara tawanya begitu manis dan ringan, namun membawa nada dingin yang tidak menyisakan tempat untuk empati. Matanya yang tajam memandang anak laki-laki di depannya, menilai setiap detail tanpa belas kasihan.
Dia, diam-diam menikmati kekuasaan yang ia rasakan—kendali mutlak atas seseorang yang tak bisa melawan. Bagi Maxine, ini lebih dari sekadar hiburan. Ini adalah pelarian, sebuah permainan untuk mengisi kekosongan yang diam-diam terus menghantuinya.
"Jadi," katanya dengan nada ceria yang palsu, "berapa lama menurutmu kamu bisa bertahan, hmmm?" Suaranya penuh dengan tantangan, matanya menunggu reaksi.
Namun, tak ada jawaban.
Maxine mengerutkan dahi, tetapi senyumnya tetap terjaga. Dengan santai, tangannya kembali sibuk memainkan tali-tali yang melilit di genggamannya, menggulung, melonggarkan, lalu tiba-tiba menariknya dengan keras. Anak laki-laki itu terkejut, tubuhnya tersentak ke depan dan terseret mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar.
Maxine menatapnya lebih dekat, bibirnya melengkung tipis, lalu berkata, "Siapa namamu?"
Hening yang menyusul terlalu lama untuk kenyamanan.
Maxine nyaris kehilangan kesabarannya sebelum akhirnya suara kecil dan serak keluar, hampir seperti bisikan, "Isaak."
Isaak Sylvain de Caltheron.
Maxine membeku. Detak jantungnya terasa aneh, lebih cepat daripada seharusnya. Nama itu menggema di kepalanya, membangkitkan ingatan yang seharusnya terkubur rapat. Mata hijau mintnya membulat sesaat sebelum ia berhasil memaksakan ekspresi santainya kembali.
Isaak. Tawanan perang...
Sebuah gambaran melintas di benaknya, membawa kilasan ingatan dari buku yang pernah ia baca. Sosok anak laki-laki itu dengan deskripsi yang sama persis—sang pemeran utama pria dari kisah yang seharusnya tidak akan pernah ia temui secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Ruler of My Heart
FantasyTerjebak di tubuh Maxine Yseult Hael, anak bungsu dari keluarga bangsawan yang terhormat, hidup di dalam bayang-bayang kesepian yang tak terlihat oleh orang lain. Di balik wajah cantik dan sikap cerianya yang penuh permainan, ia menyembunyikan luka...