"It's like watching a soap opera, but it's real," cibir gadis yang mengikat surai hitam sepunggungnya menjadi dua bagian, setibanya Sashi di halte dekat sekolah, dengan Mbahbuk di sebelahnya. Sementara gadis yang mencibirnya itu baru saja turun dari mobil mewah yang kemudian melaju pergi. Namanya Alicia Deby.
Sashi memutar bola mata. Sejak masa orientasi siswa alias MOS, Deby selalu saja mengusiknya. "Apa sih! Berisik!" ketus Sashi, "Pergi sana!" usirnya.
"Papi I bilang, you sekarang tinggal sama papa you yang baru aja keluar dari penjara ya?" singgung Deby, memancing amarah Sashi. Kedua tangannya terkepal menahan emosi. Tapi pelukan Mbahbuk berhasil membuat api yang berkobar di balik dadanya mereda selagi tatapan Deby teralih pada Mbahbuk. "Eh, you diantar siapa?*
"Nenek aku," jawab Sashi dengan satu tarikan napas.
Memicu kerutan di dahi Deby. "I kira pembantu you."
"Kamu tuh ya!" Sashi nyaris menampar Deby yang malah tertawa kecil, kalau saja Mbahbuk tidak menahan pergelangan tangannya seraya menggeleng memperingati. Sashi mendengkus.
"Sudah sana masuk, nanti telat lho," ujar Mbahbuk.
"Mbahbuk nggak apa-apa pulang sendiri?" tanya Sashi, agak khawatir.
Mbahbuk menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Wong Mbahbuk biasa kemana-mana sendiri kok. Dulu aja waktu masih jualan pecel keliling, Mbahbuk bisa jalan sampai ke ujung Jakarta." Terdengar tawa tertahan Deby. Menarik perhatian Sashi yang lantas mendelikkan mata tidak terima. "Sudah, nggak usah diambil hati."
"Ya sudah, Sashi masuk dulu!" Sashi menyalimi punggung tangan Mbahbuk.
"Nanti biar pulangnya dijemput Bapak ya?"
"Nggak usah," tolak Sashi. "Nanti Sashi bareng temen Sashi aja."
"Kalau ada apa-apa WhatsApp Mbahbuk ya?" pesan Mbahbuk.
Tadi mereka sudah bertukar WhatsApp di busway. Ya, ternyata Mbahbuk punya WhatsApp yang lucunya foto profil wanita senja itu, foto rombongan pengajian saat piknik ke Solo. Mbahbuk dan teman-teman pengajiannya berfoto di depan Masjid Sheikh Zayed dengan gamis berwarna pink menyala. Beberapa dari mereka memakai kacamata hitam, termasuk Mbahbuk.
Sashi mengangguk. "Oke."
"Semangat belajarnya ya, Cantik!" ujar Mbahbuk, memberi semangat.
Bentuk kasih sayang yang tidak pernah Sashi dapatkan. Gadis iti mengangguk lagi lalu melambai pada Mbahbuk yang balas melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Sashi melenggang menuju Terang Bangsa School. Pintu gerbang hampir ditutup, untungnya Sashi punya jurus seribu kaki. Jadi ketika pintu hampir tertutup sempurna, bersama dengan seruan heboh, "stop, Pak Mukliiiiiis!" sang satpam langsung menghentikan gerakkannya dan terkesiap menemukan Sashi tiba-tiba nyelonong masuk.
"Astagfirullah, Non Sashi!" pekik Pak Muklis sembari mengelus dada.
Sashi nyengir tanpa dosa. "Maaf, Pak. Soalnya Sashi takut dihukum kalau terlambat lagi."
Pak Muklis geleng-geleng. Sashi emang langganan disuruh beres-beres ruang perpustakaan dan kamar mandi karena sering terlambat. "Iya, dimaafkan," balas Pak Muklis kemudian. "Tapi saya teh seneng, Non Sashi udah happy lagi."
"Iya dong harus happy!" timpal Sashi sebelum menyadari pintu gerbang yang belum tertutup sempurna. "Pak, buruan gerbangnya ditutup, udah jam tujuh lho," ingatkannya.
"Oh iya lupa!" Pak Muklis menepuk jidat lalu buru-buru menutup gerbang dan menguncinya dari dalam. Sashi tertawa tanpa suara kemudian pamit.
Gadis itu nggak langsung masuk kelas. Dia berdiri di tengah-tengah lapangan sambil bersedekap dada, menunggu drama di balik pintu gerbang sana. Tepat ketika belakang telinganya ditiup seseorang. Sashi menoleh, diikuti dengkusan sebal saat mendapati Indro dan Clairine muncul dengan tampang tengil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
RandomTiba-tiba seorang pria bertatto dengan rambut gondrong dan brewokan datang ke pemakaman ibunya dan mengaku sebagai ayahnya, tentu saja Jennaira Sasikirana nggak percaya. Tapi setelah tahu rumah Mama dijual dan dia harus tinggal dengan Om Brewok, dia...