ch 8

147 32 6
                                    

di ruangan perawatan yang sunyi, suasana terasa berat. di atas brankar Galaxy memeluk tubuh kecil Arshaka erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. wajahnya tersembunyi di perut si kecil, napasnya teratur namun berat.

sementara itu Arshaka hanya diam dengan ekspresi tenang, nyaris kosong seolah dunia di sekitarnya tidak lagi berarti.

di sudut ruangan, tiga pemuda duduk di sofa. tidak ada percakapan di antara mereka, hanya keheningan yang menyelimuti.

salah satu dari mereka mengetuk jari di lututnya pelan, mencoba meredam kegelisahan yang tak terlihat. yang lain bersandar dengan kepala tertunduk, dan satu lagi memandang lurus ke depan dengan ekspresi sulit terbaca.

tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan keras, membuyarkan suasana senyap. Jeffrey berdiri di ambang pintu, napasnya terengah-engah, kemejanya sedikit kusut, wajahnya merah dengan peluh yang mengalir di pelipisnya. dia tampak seperti habis berlari tanpa henti.

semua mata langsung tertuju padanya, termasuk Arshaka. si kecil yang sebelumnya tampak tenggelam dalam kehampaan kini bergerak. kedua tangannya terulur ke arah Jeffrey, gerakan itu begitu alami seolah-olah tubuhnya tahu apa yang dia butuhkan meskipun pikirannya mungkin tidak.

Jeffrey membeku sejenak, menatap Arshaka dengan ekspresi campuran—antara lega, khawatir, dan rasa sakit yang dalam. namun senyum tipis terbit di bibirnya.

ia melangkah mendekati brankar, langkahnya tegas tapi penuh kehati-hatian, seperti takut memecahkan sesuatu yang rapuh.

Galaxy yang masih memeluk Arshaka menyadari pergerakan itu. ia mendongak, menatap Arshaka yang pandangannya tertuju sepenuhnya pada Jeffrey.

ketika menyadari siapa yang datang, Galaxy perlahan mundur, menarik diri dari tubuh kecil itu. ia turun dari brankar dan berjalan menuju sofa, bergabung dengan tiga pemuda lainnya tanpa sepatah kata.

salah satu dari mereka menepuk bahunya sekilas, tapi Galaxy hanya duduk diam, membuang muka seolah tidak ingin melihat apa yang akan terjadi.

kembali ke Arshaka, si kecil tetap mengulurkan tangan dengan gemetar. Jeffrey akhirnya tiba di sisinya, tangan besarnya yang kokoh namun lembut menerima tangan mungil Arshaka. tanpa ragu ia mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya, mendekapnya erat seperti bayi koala yang mencari perlindungan.

Arshaka tampak langsung tenang dalam gendongan Jeffrey. dia menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, matanya perlahan terpejam. napasnya yang semula tidak teratur kini mulai melambat.

“adek… kangen ayah,” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan. sudut matanya basah oleh air mata.

Jeffrey menahan napas, jelas terguncang mendengar kata-kata itu. ia memejamkan mata sesaat, menarik napas panjang sebelum menjawab dengan suara selembut mungkin, “iya, ayah juga kangen kamu, sayang.”

tangannya mengelus punggung kecil Arshaka dengan gerakan pelan dan penuh kasih sayang. jemarinya gemetar sedikit, tidak bisa menyembunyikan betapa besar kekhawatirannya. wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak penuh dengan rasa bersalah dan cemas.

“maaf... Shaka aman sekarang, ayah disini,” bisiknya hampir tak terdengar, tapi ada ketulusan yang menghancurkan di dalamnya.

Arshaka tidak menjawab. ia hanya mendekap erat leher Jeffrey, tubuhnya yang kecil bergetar ringan di pelukan pria itu.

dari sofa, Galaxy memandang ke arah lain, matanya sedikit menyipit. ia tampak seperti menahan sesuatu namun tak ada emosi berlebih yang terpancar. ia hanya mengalihkan perhatian, meski telinganya masih menangkap setiap kata yang terucap.

sementara itu Jeffrey tetap memeluk Arshaka erat, seolah anak itu adalah dunia yang harus ia lindungi dengan segala cara. wajahnya penuh kecemasan, sorot matanya gelisah meski ia berusaha menutupi semua itu dengan ketenangan palsu.

namun tangannya yang terus mengusap punggung Arshaka--sedikit terlalu sering dan terlalu kuat, menunjukkan betapa takutnya ia akan sesuatu yang tak terucapkan.

.
.
.

Jeffrey duduk di atas brankar, memeluk tubuh kecil Arshaka yang melekat erat padanya. anak itu menolak untuk berpisah, bahkan ketika dokter datang memeriksa kondisinya.

infus yang sempat terlepas telah dipasang ulang, namun tangan kecil Arshaka terus mencengkeram kemeja Jeffrey dengan erat, seolah takut pria itu akan pergi kapan saja.

Dokter--pria paruh baya dengan kacamata tebal dan ekspresi serius, memeriksa Arshaka dengan cermat. setelah selesai, ia meletakkan stetoskopnya dan menghela napas pelan.

“kondisinya stabil untuk saat ini,” ucap dokter sambil mencatat sesuatu di clipboard. “namun... maaf, bolehkah saya menanyakan sesuatu?”

Jeffrey menatap dokter dengan sorot mata tajam, meskipun ia tetap mengangguk singkat. “silakan, Dok.”

Dokter ragu sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. “ada sesuatu yang saya perhatikan. secara fisik, anak ini sehat. tapi... perilaku dan respons emosinya menunjukkan adanya tekanan yang berat. saya sarankan agar ia berkonsultasi dengan psikolog. ini penting untuk kondisinya ke depan.”

ruangan mendadak sunyi. Jeffrey terdiam, rahangnya mengeras, tapi sebelum ia sempat memberikan jawaban, suara lirih memecah keheningan.

“adek nggak gila...”

semua orang di ruangan langsung menoleh. Arshaka yang tadinya dianggap tertidur ternyata mendengar semuanya. matanya masih terpejam, tapi suaranya bergetar penuh rasa sakit. kata-kata itu seperti sembilu yang menggores hati siapa pun yang mendengarnya.

“adek nggak gila...” ulang Arshaka, kali ini lebih pelan, seperti gumaman putus asa yang nyaris tak terdengar.

air mata mengalir di pipinya, membasahi kemeja Jeffrey yang ia genggam semakin erat. tubuh kecilnya bergetar, mencerminkan ketakutan yang tak terungkap.

Jeffrey langsung menatapnya, ekspresinya berubah penuh kelembutan dan kekhawatiran. ia merengkuh tubuh kecil itu lebih erat, membisikkan kata-kata selembut mungkin. “Shaka, dengar Ayah. ke psikolog bukan berarti kamu gila, sayang. kamu sehat... kamu baik-baik aja. hanya pikiran kamu aja yang mungkin sedang lelah."

namun bukannya tenang, Arshaka semakin terisak. suaranya pecah penuh dengan emosi yang tertahan terlalu lama. “adek nggak mau... adek nggak mau... adek nggak gila...” katanya berulang-ulang, nadanya seperti memohon, mencari pengakuan dari dunia yang ia rasa menolaknya.

cengkeraman tangannya pada kemeja Jeffrey semakin kuat, nyaris merobek kain itu. air matanya terus mengalir tanpa henti membasahi dada Jeffrey yang memeluknya.

Jeffrey yang biasanya tenang dan tegar, tampak kehilangan kata-kata. ia hanya bisa mengusap lembut punggung kecil Arshaka, berharap bisa meredakan tangisannya.

melihat situasi semakin tidak terkendali, dokter mengambil langkah cepat. dengan gerakan hati-hati, ia mendekat dan menyuntikkan obat penenang melalui infus yang terpasang di tangan Arshaka.

tubuh kecil itu perlahan mereda. tangisnya yang tersedu-sedu mulai melemah, hingga akhirnya ia tertidur dengan napas yang lebih teratur. meski begitu ada isakan kecil yang masih tersisa, seperti bayangan dari rasa sakit yang belum benar-benar hilang.

pemuda yang duduk di sofa langsung berdiri. sorot matanya tajam saat ia menatap dokter. “apa yang anda suntikkan?” tanyanya dingin, penuh kecurigaan.

Dokter tetap tenang, meskipun ada sedikit ketegangan di balik gerakannya. “hanya obat penenang,” jawabnya singkat. kemudian ia menambahkan, “emosi anak ini sangat tidak stabil. jika dibiarkan terus seperti ini, kondisinya bisa memburuk, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya.”

ruangan kembali sunyi. semua orang terdiam, bahkan pemuda yang tadi berbicara hanya kembali duduk dengan ekspresi kaku. Jeffrey menatap Arshaka di pangkuannya, matanya penuh dengan rasa bersalah dan kecemasan yang sulit ia sembunyikan.

tidak ada yang berkata apa-apa. namun di dalam keheningan itu, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

kata-kata dokter tadi masih menggantung di udara, menghadirkan bayangan mengerikan akan apa yang bisa terjadi jika Arshaka tidak segera mendapatkan bantuan yang ia butuhkan.

Shaka nggak gila. dia yang gila.”

.
.
.

to be continued...

A World Without LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang