Nyxon memandangi wajah Luna dengan saksama, meskipun wanita di hadapannya terus menghindari tatapannya. Mata Luna memerah, jelas-jelas menahan tangis yang hampir pecah. Nyxon tidak perlu menebak; suasana hati Luna sudah tergambar jelas. Sesuatu yang berat tengah membebaninya.
“Jadi, kau tidak akan mempersilakan aku masuk?” tanya Nyxon, suaranya tenang tapi sarat dengan nada memaksa.
Luna menghela napas panjang, kasar, seolah mencoba menyingkirkan rasa lelah yang terpahat di wajahnya. Dia memijat pangkal hidungnya, isyarat yang sudah Nyxon kenal betul — Luna sedang berada di ambang batas kesabarannya.
“Serius, Luna. Aku datang jauh-jauh ke sini meskipun pekerjaanku menumpuk. Setidaknya tawarkan secangkir teh,” lanjut Nyxon sambil menyilangkan tangan di dada, matanya tetap terkunci pada sosok wanita itu.
Luna akhirnya mendongak, menatap Nyxon dengan sorot mata tajam yang tak menyembunyikan sedikit pun kejengkelannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia melangkah melewati Nyxon, meraih gagang pintu, dan membukanya dengan gerakan cepat.
“Masuklah,” gumamnya pendek, tanpa emosi.
Nyxon tersenyum tipis, puas. Dia melangkah masuk, tapi suasana tegang masih menggantung di udara, seperti badai yang menunggu untuk meledak. Luna menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan ke dapur tanpa menoleh.
“Teh dengan atau tanpa gula?” katanya dingin sambil mengeluarkan cangkir dari lemari.
Nyxon mendekat, menyandarkan bahunya ke kusen pintu dapur. “Seperti biasa,” jawabnya lembut. “Tapi kita berdua tahu, ini bukan soal teh.”
Luna berhenti sejenak, tangan gemetar di atas teko. Dia menghela napas lagi, lebih pelan kali ini, seolah sedang mengumpulkan keberanian.
“Kalau begitu, katakan saja apa yang ingin kau sampaikan, Nyx.” Suaranya hampir berbisik, seperti takut jawaban itu akan menghancurkannya lebih dari yang sudah terjadi.
Nyx melangkah perlahan, mendekati Luna yang masih berdiri memunggunginya. Punggung kecil wanita itu terlihat rapuh di matanya, seolah satu dekapan darinya saja bisa membuatnya remuk.
“Sudah jelas... tentang kita,” ujar Nyx dengan suara rendah yang sarat makna.
Luna tersentak dan segera berbalik. Gerakannya terlalu cepat hingga wajahnya hampir menabrak dada bidang Nyx. Pria itu tetap berdiri kokoh di tempat, enggan bergeser barang sedikit pun. Terpaksa, Luna menempelkan tangannya di dada Nyx, mencoba menciptakan jarak yang tidak diinginkan lawan bicaranya.
“Memangnya apa lagi yang perlu dibicarakan?” Luna mendengus kesal. “Kita akan menikah sebentar lagi, dan aku akan mengikuti semua rencanamu itu. Selesai, bukan?”
Nyx menatapnya dalam-dalam, matanya memancarkan intensitas yang sulit ditebak. “Tinggalkan Ares.”
Nama itu membuat dada Luna berdegup lebih kencang. Ares. Seperti duri yang terus menusuk dalam diam. Dia menggertakkan giginya, menahan rasa tidak nyaman yang kembali menghantui.
“Sejak awal aku tidak punya hubungan apa pun dengan Ares.” Suaranya bergetar meski dia mencoba terdengar tegas. “Dan kau... sebagai keluarganya... harusnya tahu bahwa ada Jenny di sisinya.”
Namun, meskipun kalimat itu diucapkan dengan keyakinan penuh, ekspresi Nyx tak menunjukkan kepuasan sedikit pun. Dia tetap berdiri di sana, tak tergoyahkan.
“Jenny hanya ada di sisinya... tapi kau tahu jika Ares pandai menyembunyikan hatinya.”
Luna terdiam. Kata-kata Nyx menusuk lebih dalam daripada yang dia bayangkan. Dia mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari sorot mata yang seolah menelanjangi semua rahasia yang selama ini dia kubur rapat-rapat.
Melihat reaksi Luna yang berusaha menyembunyikan emosinya, Nyx tersenyum miring. Ada sesuatu yang dingin dan tak tertebak dalam sorot matanya. Dia melangkah mundur satu langkah, menciptakan jarak yang justru membuat suasana semakin menekan.
“Kau bebas menyukai siapa pun selama pernikahan kita... tapi tidak dengannya,” ucap Nyx dengan nada rendah namun penuh penekanan. “Aku tidak peduli dengan siapa kau menghabiskan waktumu, tapi aku tidak suka mendengar berita buruk tentang keluargaku — bahkan meskipun aku tidak pernah menganggapnya sebagai kakakku.”
Luna menegang, matanya menyipit curiga. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, namun dia memilih menelan rasa penasarannya, sadar bahwa jawaban Nyx mungkin akan lebih sulit diterima daripada diamnya saat ini.
“Dan aku tidak berniat sedikit pun melakukan apa yang kau pikirkan, jadi—”
“Jadi berhentilah dari pekerjaanmu,” potong Nyx tegas, nada suaranya berubah dingin dan tak terbantahkan. “Jika kau ingin bekerja, kau bisa bekerja di perusahaanku... atau di mana pun. Asal bukan di tempatnya.”
Luna terkesiap, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Kau tidak bisa mengatur hidupku semudah itu."
Nyx mendekat lagi, membiarkan kehadirannya mendominasi ruangan. “Aku bisa... dan aku akan,” bisiknya dengan nada mematikan. “Ini bukan negosiasi, Luna. Ini peringatan.”
Luna mendongak, menatap matanya dengan keberanian yang tersisa. “Jika kau pikir aku akan tunduk... kau salah besar.”
Nyx tersenyum tipis, seolah menikmati perlawanan itu. “Kita lihat saja... seberapa jauh kau bisa melawan.”
Luna menghela napas panjang, frustrasi, lalu berbalik dan berjalan menjauh. “Aku lelah. Kau tahu di mana pintu keluar, bukan?” ucapnya santai, jelas-jelas mengusir Nyx tanpa basa-basi.
Nyx hanya tersenyum tipis, melipat kedua lengannya sambil memperhatikan Luna menaiki anak tangga dengan langkah berat. Ada sesuatu yang selalu membuatnya terhibur setiap kali melihat Luna marah — seolah kemarahannya itu menjadi api kecil yang terus menarik perhatiannya.
“Dia benar-benar menyimpan banyak amarah,” gumam Nyx sambil menahan tawa kecil yang nyaris lolos dari bibirnya. Dia tahu kali ini tidak akan ada secangkir teh seperti yang dia harapkan.
Saat berbalik hendak pergi, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di atas meja kecil dekat dinding ruang tamu. Beberapa bingkai foto berdiri di sana, tertutup debu tebal seolah tak pernah dihiraukan keberadaannya. Langkah Nyx melambat saat dia mendekati meja itu.
Satu bingkai foto khusus menarik perhatiannya. Perlahan, dia mengangkatnya, mengusap debu yang menutupi kaca dengan ujung jarinya. Di balik lapisan kotor itu, dia melihat potret seorang gadis kecil dengan wajah yang sama sekali tak asing. Mata itu… sorot penuh perlawanan yang sama seperti yang baru saja dia lihat malam ini.
“Bahkan saat kecil pun kau sudah memiliki ekspresi seperti ini,” gumam Nyx dengan senyum tipis yang nyaris penuh nostalgia.
Dia menatap foto itu sejenak sebelum akhirnya melangkah menuju pintu depan, meninggalkan rumah itu dengan suasana hati yang lebih baik ketimbang beberapa saat yang lalu saat firirnya terkurung di ruang kerjanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirty Marriage
RomanceNyxon adalah pria yang percaya bahwa segalanya bisa dibeli dengan uang-bahkan kebahagiaan. Namun, keyakinannya goyah ketika bertemu Luna, wanita yang tak gentar menolak tawaran kekayaannya. "Apakah Anda pikir uang bisa membeli kebahagiaan kami?" sua...