12 | Occult?

1.7K 261 10
                                    

Ey, udah Minggu lagi nih ternyata. penasaran nggak sama kelanjutan kisah Dipta dan ketiga temennya? ayo kita lanjut tapi sebelumnya vote dulu okey!

.
.
.

Entah di mana, rasanya aku linglung dan bingung, semua gelap lembab dan berkabut.

Sesak dadaku, tersengal napasku, lelah lututku berlari di tengah hutan yang seolah menjadi labirin ini. Nanar, panik dan bingung, aku seperti lari dari sesuatu yang mengejar tapi aku tak tahu apa yang mengejar, yang jelas aku rasakan adalah aku dalam bahaya sekarang.  Berhenti berarti mati.

Kerongkongan ini kering, napas ini memendek, ingin berteriak tapi aku tak mampu, ingin menangis tapi gondok di kerongkongan yang kering ini menyumpal.

Lari dan terus lari tapi lagi-lagi semak dan pohon-pohon yang sama yang aku temui.

Udara dingin tapi peluh dan ini merembas, pergelangan kakiku semakin ngilu, tapi aku terlalu takut untuk berhenti.

"Dipta!"

Kudengar suara Nando menggaung memanggilku entah dari arah mana, aku menangis detik itu juga, ingin menyahut panggilannya dan meminta tolong tapi aku tak bisa.

"Dip!"

Sekuat tenagga semampu yang aku bisa aku mencoba menyahut memanggil namanya, tapi bahkan bibir ini tak mampu aku gerakan pun hanya untuk sedikit membukanya.

"Dipata!!

"Nando!!" Gue terperanjat mearung memanggil namanya dengan tangis pecah sejadi-jadinya.

"Dipta?" Nando nuburuk gue dengan memeluk erat. "Lo kenapa?"

"Nando," Semakin erat gue balas pelukannya dengan meneyembunyikan wajah ke ceruk leher meski napas ini masih tersengal dan dada kembang kempis mengatur napas.

"Lo kenapa? Lo mimpi apa?" Nando urai peluk dengan megang kedua bahu ini dan coba liat tepat ke mata.

"Dip?" Hengki mendekat.

Masih sesenggukan dan atur napas. "Gue mimpi buruk." Nggak tahu rasanya pengin nagis lagi jadi gue tubruk Nando lagi buat minta peluk karena Nando yang duduk di sebelah gue.

"Astaga, Dipta ... ini siang bolong." Noah hela napas.

Iya, ini siang bolong, gue ketiduran di kelas pas pelajaran Bahasa Indonesia dan sekarang udah bell jam istirahat kedua ternyata.

"Mimpi apa emang?" Nando urai peluk lagi.

"Nggak tahu, tapi gue kesasar di hutan."

"Ututu ... Minum dulu minum dulu," kata Hengki sambil nyodorin air mineral ke gue setelah dia buka dulu penutup botolnya.

Ge terima lalu sesap sedikit.

"Makanya, besok kalau mimpi ajak gue," lanjut Hengki lagi.

"Ya mana gue tahu, orang gue ketiduran," Gue kembaliin lagi tuh air mineral, jawab masih pake suara sendu.

Nando cuman ketawa dengan usap pelan pipi gue yang basah pake punggung tangannya. "Jelek banget nangis cuman karena mimpi doang."

"Gue takut anjir! mimpinya kaya beneran." Gue singkirin kasar tangan dia dan usap sendiri air mata.

"Cengeng!" ejek Noah.

Gue nyipitin mata nyorot dia nggak suka.

"Kantin aja, yuk! Makan siang," ajak Nando ke kami bertiga dengan dia berdiri lalu jalan duluan. Hengki nyusul lalu gue dan Noah di belakang.

Kami jalan beriringan dengan Nando dan Hengki di depan gue sama Noah. Mereka berdua di depan ngobrol, tapi gue sama Noah diem di belakang. Nggak tahu, perasaan gue rasanya masih nggak nyaman, ada perasaan was-was, takut dan terancam tapi nggak tahu itu datang dari mana, cuman perasaan gue doang atau emang beneran gue dalam bahaya sekarang. Rasanya ada yang nggak beres semenjak kejadian salaman sama Sutisno Mangkunegoro dua hari yang lalu.

"Lo ... lo nggak apa-apa, Dip?" tanya Noah hati-hati.

"Nuh," panggil gue dengan hentiin langkah kaki yang otomatis bikin Noah juga ikut berhenti jalan, sementara Nando dan Hengki tetap laju ke depan. "Gue nggak apa-apa, kan?" Gue balik nanya ke dia.

"Mata lo merah dan sayu, lo kurang tidur? Lo kepikiran soal sebab luka di jari tengah lo?" tanya dia nyorot tangan kanan gue.

Gue nelen ludah dan ngangguk dua kali, lalu pegang bekas luka yang masih gue plester ini dan nyorot Nando-Hengki yang semakin jauh dari kami. Bener kata Noah, semenjak kejadian itu gue susah tidur kalau malem, makanya tadi gue ketiduran di kelas, sekali lagi itu karena gue selalu merasa was-was, tapi soal masalah ini gue nggak cerita ke Nando-Hengki, cuman gue simpen sendiri dan cuman Noah yang ngerti.

Noah rangkul pundak gue lalu ajak jalan lagi. "Nggak apa-apa asal lo jangan coba-coba hubungin nomer orang itu, oke?"

Gue ngangguk lagi dua kali.

"Sekarang kita makan siang," ajaknya.

"Nuh, tapi nggak tahu kenapa gue kok takut? Gue takut itu beneran yang kaya kata lo, kalau orang yang gue temui itu punya praktik occult." Gue remes-remes jari tangan kanan gue pake tangan kiri.

"Nggak, lah!" Noah makin erat rangkul gue dan rapatin tubuh kami. "Jangan takut, kita percaya aja kaya apa kata Yakobus 4:7, Karena itu, tunduklah kepada Allah, tetapi lawanlah Iblis, dan ia akan lari dari kamu," ucapnya kasih gue ayat al kitab. "Kamu lawan rasa takut itu, semua bakalan baik-baik aja."

"Nuh," rajuk gue.

"Nggak ... aman, Dipta ... aman," Dia usap lengan gue yang dia rangkul itu naik turun.

"Janji ya," kata gue iba, nggak tahu tapi rasanya gue tetap takut aja.

"Janji, ada kami bertiga, lo aman." Dia meyakinkan.

kami sampai di kantin, duduk berseberangan dan hadap-hadapan kaya biasa, gue di sebelah Nando dan Hengki di sebelah Noah.

"Bu, mi ayam sama es teh 4," pesen Hengki ke ibu kantin. Di tempatnya ibu kantin cuman acungin jempol.

"Pengin jalan-jalan jauh, weh!" celetuk Hengki.

pandangan mata gue mengabur saat nyorot dia, gue geleng kepala lalu coba fokus lagi.

"Iya, pengin ke Bandung nggak, sih?" imbuh Noah, dan gue gantian nyorot Noah yang entah kenapa dia duduk di depan gue persis tapi mendadak rasanya jauh.

"Nyari apa ke Bandung?" Hengki nggak setuju, suaranya menggaung di telinga gue.

"Noah mau nyari peyem," ejek Nando di sebelah gue tapi dia juga mengabur di pandangan dan jarak jauh seolah memisahkan. "Peyempuan." Dia ketawa, tapi cuma gaung yang gue terima di indra.

"Itu mah elo!" Noah nggak terima, dia juga semakin jauh dari pandangan gue dan semakin menggaung suaranya.

Nggak beres. "Nando mah ngapain jauh ke Bandung, di sini juga berserakan," sindir gue coba ikut nimburung dan detik itu juga semua kembali merapat seperti sebelumnya, gue terengah, tapi bisa bernapas lega.

"Dip lo sakit?" tanya Nando pegang pergelangan tangan kiri gue.

Gue kedip beberapa kali mencoba menetralkan keadaan ini dan sekali lagi atur napas.

"Serius, Dip," sekali lagi Nando tanya.

"Gu-Gue ...," gagap gue nggak tahu mau jawab apa.

"Lo ada masalah?" tanya Hengki selanjutnya.

"Nggak," Gue gerakin telapak tangan kanan heboh. "Kayanya gue cuman masih takut kebawa mimpi tadi,"

"Jari tengah lo kenapa, Dip?" Nando notice dan ambil tangan kanan gue yang jari tengahnya terplester.

Gue noleh ke Noah detik itu juga khawatir, dan memohon bantuan biar dia aja yang jelasin.

tbc ...

Dipta and 3 IdiotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang