12. Piano

339 75 13
                                    

Ketika memasuki kediaman Arthur, yang dapat Hajirin rasakan adalah kenyamanan. Rumah Arthur memang tidak tampak begitu besar, namun menurut Hajirin, rumah ini sangat nyaman dan barang-barangnya tertata dengan rapi. Layout rumah juga tidak berlebihan dan tampak berfungsi sebagaimana mestinya. Rumah ini jauh berbeda dengan kost-nya, yang sebenarnya terbilang besar namun jauh dari kata rapi.

Mereka berhenti di ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur dan ruang keluarga. Hanya ada partisi yang memisahkan antara ruang keluarga untuk menonton televisi dengan ruang makan dan dapur kering. Di atas meja makan, berbagai macam lauk tersaji, membuat senyum Hajirin terukir lebar menatapnya. Wangi khas makanan rumahan menyambut indra penciumannya, seolah mengundangnya untuk menyantapnya saat itu juga.

Hajirin rindu suasana ini. Sudah lama sekali sejak ia berkumpul bersama keluarganya.

"Duduk, Rin." ucap Mama Arthur, mempersilakan Hajirin untuk duduk di sana.

Hajirin tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya kemudian duduk di hadapan Arthur. Meja makan itu tidak terlalu besar, sehingga jaraknya dengan Arthur kini tidak terlalu jauh.

"Ayo, makan, Rin. Ambil aja sesuka kamu. Ada lebih dari cukup, kok." ucap Mama Arthur.

"Iya, Tante. Terima kasih, ya. Jadi enak saya." ucap Hajirin sambil terkekeh kecil. Mama Arthur tertawa kemudian menganggukkan kepalanya.

Sementara Arthur, sudah sibuk dengan makanannya, Hajirin berusaha menikmati dengan khidmat. Ia makan dengan begitu pelan, membuat Arthur mengernyit.

"Makannya fokus banget, Kak." ucap Arthur.

Hajirin menoleh kemudian menganggukkan kepalanya. "Asal lo tau aja, Thur. Mungkin udah sekitar seabad gue ngga makan masakan rumahan dengan suasana mirip di rumah." ucapnya.

Mama Arthur tertawa kecil. "Rantau, ya, Rin?" tanyanya.

Hajirin mengangguk. "Iya, Tante. Betul. Saya nge-kost di dekat sini. Kost-nya nyaman sih, tapi lebih nyaman di sini." ucapnya.

"Kalau gitu, besok-besok main aja ke sini. Lumayan nemenin Arthur juga, daripada dia main games mulu tuh." ucap Mama Arthur.

"Ma..." tegur Arthur pelan.

"Waduh, Tante. Kalau gitu, mungkin saya malah ikutan main game bareng Arthur." ucap Hajirin sambil terkekeh pelan.

"Yaudah, ngga apa-apa deh. Asal si Arthur ngga sendirian tuh. Betul-betul ngga punya teman dia." ucap Mama Arthur.

Hajirin terkekeh, siap meluncurkan sebuah candaan. "Kalau soal itu mah, aman, Tante. Jadi teman hidup pun saya siap." ucapnya.

Ucapan itu lantas mengundang tawa wanita paruh baya itu, sementara Arthur, menatap Hajirin dengan wajah yang memerah. Bukan malu karena candaan Hajirin. Ia sudah cukup terbiasa dengan itu. Namun, Arthur malu karena Hajirin mengucapkannya di depan mamanya.

"Boleh juga itu, Rin." ucap Mama Arthur.

"Mama jangan gitu lah..." ucap Arthur.

"Ah, kamu ini repot, Thur, terlalu serius. Bawa santai aja. Ya, ngga, Rin?" ucap Mama Arthur.

Hajirin mengangguk mantap. "Betul itu, Tante. Saya juga heran, Arthur mirip siapa sampai ngga bisa diajak bercanda."

Mama Arthur menjentikkan jarinya. "Persis bapaknya, Rin. Bedanya, si Arthur mungkin masih bisa diajak lah dikit-dikit." ucap Mama Arthur.

Hajirin tertawa kecil, kemudian kembali menyantap makanannya dalam diam. Hanya ada suara dentingan piring dan alat makan yang saling beradu. Namun tak lama, Hajirin kembali bersuara.

ResonanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang