Bab 3 : Lukisan

46 10 0
                                    

Hari-hari berlalu sejak pertunjukan malam itu. Tidak ada yang berubah sama sekali. Mereka masih disibukkan dengan tumpukan surat. Angin dingin musim gugur semakin dingin setiap harinya. Mereka harus mengumpulkan lebih banyak niat untuk mengayuh sepeda mengantarkan surat.

Dohoon pernah berpikir untuk tidak melanjutkan pekerjaannya lagi di kantor pos. Ia bertahan di pekerjaan ini karena adanya harapan dalam hatinya. Meskipun gaji yang didapatnya hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Ia selalu yakin bahwa suatu hari Ia bisa kembali ke rumah dan membawa kantung berisi ribuan koin dan beberapa lembar Yen. Mulai saat itu, Dohoon selalu menyisihkan dua sampai tiga koin setiap minggu untuk mewujudkan harapannya.

Ekspektasinya mengungguli apapun di dunia ini. Kenyataan di matanya selalu membuatnya merasa bahwa Ia sedang mengejar sesuatu yang bahkan Ia tidak ketahui. Lantas mengapa Ia harus berlari? Lebih baik Ia berhenti saat ini saja dan hidup gelandangan sebatang kara.

Dunia begitu tenang untuknya berpikir jernih hingga suara tembakan tiba-tiba memekakkan telinganya. Dohoon hampir saja terjatuh dari sepedanya jika Ia tidak menjaga keseimbangannya. Tangannya langsung menarik rem dengan cepat dan langsung bersembunyi di balik bangunan rumah. "Sial! Kenapa harus saat aku mengantar surat?!"

Ia memberanikan diri untuk mendekat dari satu rumah ke rumah yang lain ke arah teriakan panik di depannya. Dohoon menyembulkan kepalanya ke samping bangunan untuk sekedar mengintip keributan itu. Tiga tentara Jepang sedang menatap ke salah satu tembok tua di depan sana. Masing-masing dari mereka menggenggam senapan yang ditudingkan ke arah tembok tua itu.

Awalnya Dohoon mengira terjadi penembakan karena suara keributan barusan. Namun, tidak ada orang di sekitar sana, hanya ada mereka bertiga dan satu tembok yang terlihat biasa saja. Barangkali suara keributan itu berasal dari keterkejutan orang-orang setelah mendengar suara tembakan. "Setelah mereka menduduki tanah ini, apakah mereka menjadi gila hingga menembak-nembak tembok tua seperti itu?"

Dohoon hampir saja mengira akan terjadi penembakan lagi. Seketika rambut di sekujur tubuhnya berdiri ketika membayangkannya. Barangkali yang terdengar hanya satu tembakan, tetapi baginya tetap saja mengerikan. Lagipula siapa yang tahan dengan suara senapan? Mendengarnya saja sudah tidak tahan apalagi menjadi yang ditodong benda itu.

Sebenarnya itu bukan yang pertama kali Dohoon mendengar suara tembakan. Ia sering melihat dengan mata kepalanya sendiri peristiwa pembunuhan menggunakan senapan. Rasa menyakitkan ketika melihat peluru terlepas hingga menembus kepala, perut, dan organ-organ lain di tubuh korban seakan makanan setiap hari baginya. Meskipun Ia tidak mengalami dan semoga saja tidak akan pernah, itu tetaplah menjadi sebuah trauma baginya dan orang-orang di sekitarnya. Trauma itu telah ikut mengalir di darah mereka hingga tidak pernah menjadi sebuah kejutan lagi.

Setelah ratusan amplop di tas selempangnya habis, Ia langsung semangat mengayuh sepedanya untuk kembali ke kantor pos. Seperti biasa, Ia berhenti di samping bangunan dan memarkirkan sepeda. Dohoon melihat banyak kerumunan di depan sisi lain kantor pos tempatnya bekerja.

Ia tidak menaruh perhatian lebih terhadap kerumunan itu karena terlalu lelah. Dohoon ingin segera melaporkan tugasnya lalu pulang ke asramanya untuk menikmati malam akhir pekan. Apakah Ia harus pergi ke restoran untuk makan beberapa potong Dakgalbi sebagai penutup pekan? Mungkin itu pilihan yang bagus.

Dohoon benar-benar langsung keluar dari kantor dan pulang ke asrama. Kebetulan Jihoon juga telah selesai mengerjakan tugasnya sehingga Ia tidak perlu menunggu. Ia berjalan keluar kantor dengan penuh semangat. Udara sore ini sangat membuatnya kembali sumringah setelah hari membosankan. Suasana hatinya juga menjadi jauh lebih baik dari biasanya.

"Astaga, aku merinding melihatmu tersenyum seperti itu." Ia tidak menghiraukan perkataan Jihoon sama sekali. Lagipula bisa apa bocah itu jika tidak ada dirinya?

          

Mereka berjalan melewati kerumunan yang tadi dirinya lihat. Dohoon berhenti sejenak untuk melihat sebenarnya ada apa di sana. "Sebenarnya ada apa di sana Ji?"

Jihoon yang telah mendahuluinya langsung berbalik dan berhenti bersamanya di belakang kerumunan. "Oh, benar juga, kamu tidak berada di kantor selama seharian ya."

"Ada sebuah lukisan di sana, semacam sindiran kepada Jepang."

"Propaganda?" Dohoon terus menelisik ke celah kerumunan, tapi Ia tetap tidak bisa melihatnya.

Jihoon mengangguk menanggapinya. "Tentara-tentara tadi sangat marah hingga menekuk wajahnya selama berjaga di sepanjang kota."

Dohoon mengaitkan itu dengan tentara yang Ia temui saat sedang bekerja tadi. Apakah mungkin mereka melihat lukisan yang sama di tembok tadi?

Perlawanan sepertinya telah berubah haluan. Mereka mulai menyadari perlawanan tidak akan berhasil jika hanya memakai baku tembak. Mereka perlu bantuan semua warga untuk melakukan pemberontakan sehingga mereka menggunakan media pertunjukan dan lukisan seperti ini.

Sebenarnya apa yang dilakukan kerajaan saat ini? Mereka tidak bisa berkutik apapun saat Jepang datang, menyerah begitu saja orang-orang pendek itu menindas rakyat kerajaannya sendiri. Bahkan sekedar mengeluarkan tentara kerajaan untuk melindungi rakyat mereka tidak melakukannya. Mereka membiarkan rakyatnya menerima kekerasan dan kekejaman kolonialisasi.

Dohoon tidak pernah menaruh atensi terhadap hal ini sebelumnya. Namun, Ia berharap hal baik akan selalu bersama mereka yang berjuang di lapangan maupun mereka yang telah tertangkap. Di manapun mereka, meskipun di balik jeruji besi yang dingin, Ia akan tetap berharap mereka bisa merasakan kebahagiaan suatu saat nanti. Setidaknya itu saja yang bisa Ia lakukan untuk keluar dari kekelaman yang terasa tidak berujung ini.

"Aku bersyukur Jepang sedang sibuk dengan pemberontakan di Daegu. Jika saja mereka banyak berjaga di Seoul, maka kerumunan seperti ini akan berbahaya." Ucap Jihoon menyadarkan pikiran Dohoon yang berhenti berfungsi. Ia langsung celingukan was-was terhadap orang-orang berseragam dengan senapan yang terlilit di tubuh mereka.

Ia begitu canggung untuk berteriak sehingga Ia sedikit berbisik ke satu per satu orang di sana. "Bapak, Ibu, Tuan, Nyonya, saya mohon untuk tidak berkerumun agar tidak dicurigai."

Dohoon dapat mendengar Jihoon tertawa di belakangnya. Sepertinya Ia menertawakan tindakan Dohoon saat ini. "Kamu ingin berseru atau bergunjing kak dengan mereka kak?"

Untung saja Ia tidak terlalu mendengarkan Jihoon. Ia tetap melanjutkan menerobos masuk ke kerumunan orang. Ajaibnya tidak berselang lama mereka semua pergi dari depan kantor pos ke rumah dan pekerjaan mereka masing-masing.

Ia menghela napas lelah setelah menghabiskan tenaga kebaikannya. Keadaan hatinya menjadi murung kembali karena itu. Setidaknya Ia lega setelah melakukan hal yang menurutnya baik barusan. "Aku tidak ingin tempat kita bekerja akan jadi pertumpahan darah."

"Wah. . . Usaha yang bagus kak, mereka semua benar-benar langsung pergi." Ujar Jihoon dengan santai mendekatinya.

Ia berbalik dan langsung mendorong kepala remaja itu dengan jari telunjuknya. "Heh Sialan! Kamu hanya berdiri di sana saja dari tadi dan tidak membantuku?!"

"Hehe, maaf. . ." Jihoon mengelus jidatnya pelan sambil menampilkan wajah memelasnya, tetapi Dohoon tidak peduli.

Ia bisa melihat lukisan itu dengan jelas sekarang. Lukisan itu ditorehkan di atas canvas putih tulang yang tebal dan lebar. Di dalam canvas itu terdapat empat gambar utama yaitu: Orang-orang berseragam dan bertopi aneh yang Ia yakini tentara Jepang, bendera matahari bersinar;, bendera kerajaan Joseon, dan orang-orang kurus yang hanya berlapiskan celana robek. Tentara Jepang berjalan di jalanan aspal berbentuk bendera Joseon sembari mengangkat bendera mataharinya sembari tersenyum sedangkan orang-orang kurus itu berekspresi menangis dengan menopang jalan aspal.

Tidak ada kata-kata apapun di sana, tetapi Dohoon bisa merasakan sekujur tubuhnya meremang. Saluran pernapasannya seperti tercekat dalam beberapa sekon. Itu adalah keadaan masyarakat pada saat ini. Mereka harus menanggung kolonialisme Jepang yang sangat kejam setelah perdamaian yang begitu lama sejak Joseon berdiri. Mereka merenggut semua kedamaian itu dengan dalih saudara tua.

Harus Dohoon akui, pelukis ini sangat jenius dalam menyampaikan pesan. Ia sepertinya melukis secara langsung tanpa menggunakan cetakan warna sama sekali. Terlihat dari tekstur gambarnya yang bergelombang di beberapa bagian karena tinta yang tidak rata. Siapapun itu, Dohoon akan selalu berterima kasih atas keberaniannya.

"Aku akan makan ayam malam ini, kamu mau ikut tidak?" Ucapnya kepada Jihoon setelah mereka terdiam beberapa saat.

Bagaikan tanpa berpikir, remaja itu langsung mengangguk cepat. "Aku tidak akan pernah menolak Dakgalbi!"


Timeless • ft. DoshinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang