BAB 2

267 102 312
                                    

Assalamualaikum ....
Hola ... sudah siap mengikuti alurnya? Selamat membaca. Selamat mendalami peran dalam cerita. Jangan lupa vote dan komennya, ya.

"Keluarga itu pengajar utama seorang anak. Jika ia dibuat patah, mungkin ia akan mencari pelajaran di luar sana. Jangan heran jika ilmu yang ia bawa nyatanya terkesan bebas dan liar."

_SelamatBerlayarKapten_

*****
-
-
-


Hanya ada dentingan sendok yang memenuhi suasana di ruang makan. Kedua orang tua Adam terlihat asik dengan santapan mereka. Sedangkan Adam hanya memakan makanannya perlahan. Pikirannya terpaku pada sosok yang selalu ia tanyakan semenjak menginjakan kaki di rumah mewah ini. Sosok itu adalah adik lelakinya, yang entah sekarang dimana. Wijaya selalu saja diam dan mengalihkan topik pembicaraan ketika Adam bertanya perihal keberadaan adiknya. Padahal apa salahnya jika Adam mempunyai keinginan bertemu dengan adiknya yang katanya tidak tinggal serumah dengan mereka itu.

"Kenapa kayak gak napsu makan gitu?" tanya Firda–mamanya, ketika melihat Adam menyantap makanan seperti tanpa niat.

Adam menaruh sendoknya pelan lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Wijaya belum membalas tatapan Adam. Ia masih sibuk memakan masakan istrinya.

"Mama sama Papa beneran gak mau kasih tau Marcel dimana?" tanya Adam.

Perhatian Wijaya teralihkan ketika mendengar nama putra keduanya. Seperti ada yang mendidih di tubuhnya ketika Marcel menjadi topik pembicaraan di antara mereka. "Kenapa kamu tanyain dia lagi?" Wijaya balik bertanya.

"Iya, Dam. Kenapa sih kamu selalu tanyain dia? Dia itu gak mau pulang. Maunya bebas di luar sana," sahut Firda.

Adam menghela napas pelan. "Adam cuma mau ketemu sama dia. Lagian, kenapa kita itu selalu dibeda-bedakan? Padahal kita berdua sama-sama putra dari kalian."

Wijaya menghentikan gerakan tangannya setelah meletakan sendok di pinggir piring. Makanannya telah habis. Selain diam, jurus yang biasa ia gunakan agar Adam menghentikan pembahasan tentang Marcel adalah dengan mengalihkan pembicaraan.

"Kamu gak ada niatan untuk ngelanjutin perusahaan Papa? Kontrak kerja kamu di Jerman kan sudah habis." Wijaya mulai menjalankan aksinya.

Adam menggeleng pelan. "Adam lagi bahas tentang Marcel, Pa. Jangan dulu bahas tentang perusahaan Papa. Lagian, Adam nyaman dengan pekerjaan Adam. Ini juga cita-cita Adam dari dulu." Ada sedikit jeda sebelum Adam kembali berbicara. "Papa bisa nyuruh Marcel untuk lanjutin perusahaan Papa. Dia udah tamat sekolah dari lama loh."

"Sebelum dia tamat sekolah pun Papa udah pernah minta dia untuk bekerja dengan Papa. Hanya saja, dia selalu nolak. Dia lebih memilih bersenang-senang dengan teman-temannya dari pada harus bekerja." Wijaya menghela napas pelan.

"Kamu liat sendiri kan, sejak kamu di rumah Marcel sama sekali nggak muncul. Dia bahkan udah gak di rumah dari 4 bulan yang lalu," lanjutnya.

"Coba Papa bujuk Marcel. Menurut Adam, Papa sama Mama itu terlalu keras sama dia. Kalian kayak nggak adil memperlakukan Adam dan dia." Adam lalu menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit.

"Dia butuh kasih sayang dari kalian." Setelah mengatakan itu, Adam seperti terbayang satu kejadian masa lalunya.

Flashback On

You'll also like

          

"Pa, lihat ini! Adam jadi lulusan terbaik di angkatannya." Firda menunjukan penghargaan serta rapor Adam yang berisi nilai-nilai yang sangat memuaskan.

"Wah, emang kamu itu selalu jadi kebanggaan Mama sama Papa." Wijaya menepuk bahu Adam seolah menyalurkan rasa bangganya.

"Setelah ini kamu mau lanjut kuliah dimana, Sayang?" tanya Firda.

"Adam mau masuk sekolah Pelayaran, Ma. Adam itu pengen jadi Nakhoda," jawab Adam dengan wajah penuh antusias.

"Yah, berarti kamu tinggal di asrama dong. Emangnya kamu gak kangen sama Mama dan Papa?"

"Kangen sih, Ma. Tapi kan Adam mau gapai cita-cita Adam."

Wijaya terlihat berpikir sebentar. "Baiklah kalo memang kamu mau meraih cita-cita kamu. Nanti Papa akan mencari info dari kenalan Papa tentang sekolah Pelayaran terbaik untuk kamu.

Mata Adam berbinar mendengar perkataan Wijaya, "makasih, Pa, Ma." Adam memeluk Wijaya dan juga Firda secara bergantian.

Tak lama kemudian muncul seorang remaja dengan seragamnya yang lusuh serta bercak darah yang memenuhi seragamnya.

"Ma, Pa, Marcel dikeluarin dari sekolah." Ucapan Marcel sontak membuat kedua orang tuanya menatap tajam ke arahnya.

"Dalam satu tahun saja kamu sudah dikeluarkan dari tiga sekolah Marcel!" bentak Wijaya, tak terima.

"Kamu bisa nggak jadi anak yang berguna? Kerjaan kamu itu selalu buat masalah!"

"Papa nyekolahin kamu, biar kamu bisa sepintar Adam, sesopan Adam, biar kamu bisa jadi anak yang terdidik. Bukan malah tawuran tiap hari. Baru juga masuk SMA sudah begini saja kelakuan kamu. Bagaimana nanti kalo sudah dijenjang perkuliahan? Universitas mana yang mau menerima kamu?"

"Pa, Marcel itu butuh perhatian dari kalian. Jangan cuma Bang Adam doang yang dikasih perhatian. Dia enak, mau salah mau enggak tetap disayang. Kalo aku, mau salah mau enggak ya tetap salah dan pastinya tetap dibenci." Marcel mulai tersulut emosi.

Sosok ayah yang ia pikir bisa jadi peyemangat untuknya ternyata salah. Nyatanya Wijaya hanya menjadi penyemangat untuk Adam.

"Kalo Papa ngerasa Marcel ini beban, lebih baik Marcel gak sekolah!"

Plakkk!!!

Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Marcel. Jujur, pipinya terasa panas dan sakit. Namun, itu semua terkalahkan oleh sakit di hatinya karena selalu terabaikan.

Marcel melangkahkan kakinya menuju kamar tanpa peduli dengan teriakan dari Wijaya yang menggema.

"Pa, coba Papa sama Mama itu tanya maunya Marcel. Bujuk dia dengan hal-hal yang dia suka. Dia itu butuh kalian," ucap Adam.

"Cuma kebebasan yang dia inginkan. Dan papa udah kasih. Papa kasih dia semua kebebasan. Tapi apa? Anak itu memang tak tau diuntung!"

*****

"Marcel!" panggil Adam.

"Marcel, gue boleh masuk gak?"

"Marcel." Adam membuka pintu kamar Marcel. Terlihat Marcel yang tengah duduk di tepi ranjang. Kamarnya terlihat berantakan. Barang-barangnya berhamburan.

Selamat Berlayar Kapten! (On Going)Where stories live. Discover now