9

2 0 0
                                    

Hari pemakaman Ibu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Langit abu-abu dan hujan rintik-rintik mengguyur pelan, seolah alam pun merasakan kesedihan yang meluap di dalam hatiku. Aku berdiri di sana, di tepi kuburan, menatap peti kayu yang perlahan-lahan diturunkan ke tanah. Semua terasa hampa. Air mata menggenang di mataku, tetapi tidak sepenuhnya keluar. Hatiku terasa penuh, tapi kosong pada saat yang sama.

Saat aku melangkah menjauh, aku melihat sosok yang tak asing berdiri tak jauh dari sana—Zach. Dia menunduk, tangannya menggenggam erat, tetapi tidak mendekat.

Amarah yang sejak tadi kutahan tiba-tiba meledak. Aku berjalan cepat ke arahnya, tubuhku bergetar dengan setiap langkah. "Kenapa kau di sini, Zach?" aku berteriak, suaraku pecah oleh emosi yang meluap. "Kenapa sekarang? Setelah semuanya terjadi!"

Zach mendongak, tampak terkejut oleh nada suaraku. Dia menatapku dengan mata yang sama hancurnya, tapi aku tidak peduli. Rasa sakitku terlalu besar. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Marc," suaranya pelan, hampir berbisik, seolah dia sendiri tidak yakin dengan alasannya.

"Tak tahu harus bagaimana?" Aku mengulangi, penuh kemarahan. "Kau lihat aku setiap hari di sekolah, Zach! Kau lihat aku ketakutan, kau tahu semuanya tidak beres, tapi kau memilih untuk menghindar! Kau memilih untuk meninggalkan aku!" Air mataku mulai turun, tapi kali ini aku tidak bisa menahannya.

Zach tampak terguncang, wajahnya pucat. "Marc, aku... aku juga takut," gumamnya, suaranya pecah. "Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri hancur... Aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri."

"Aku tidak butuh alasan!" Aku berteriak, suaraku menggema di tengah suasana sunyi pemakaman. "Aku butuh saudaraku! Aku butuh kau untuk menolongku, untuk ada di sana saat aku terjebak! Tapi kau malah lari!" Tanganku gemetar, penuh dengan rasa sakit yang tak terungkapkan. "Ibu sekarang sudah tiada, Zach. Dan aku harus melewati semuanya sendirian."

Aku berdiri di depan Zach, menatapnya dengan rasa sakit yang bercampur amarah. Kami berdua pernah dekat, saling melindungi, tapi sekarang rasanya ada jarak yang tak tertembus di antara kami. Aku tidak bisa menahan diri lagi.

"Kenapa, Zach? Kenapa kau meninggalkanku?" suaraku gemetar, penuh dengan kesedihan yang kupendam selama ini. "Kita saudara, seharusnya kau ada di sana! Kau lihat apa yang terjadi, tapi kau cuma... kau cuma diam dan menghindar. Aku benar-benar sendirian."

Zach mengangkat tangannya, seolah ingin membela diri, tapi dia tidak menemukan kata-kata. Wajahnya tampak tertekan, tapi aku tidak peduli lagi. Aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan—rasa sakit yang begitu dalam hingga aku hampir tidak bisa bernapas.

"Aku tahu kau juga takut," aku melanjutkan, nada suaraku semakin naik, penuh dengan kepedihan. "Tapi kau pikir aku tidak takut? Kau pikir aku tidak hancur juga? Kau bisa lari, tapi aku? Aku terjebak di sana, di rumah itu, dengan Ibu yang semakin kacau, dengan Ayah yang tidak ada. Dan kau... kau bahkan tidak mau menoleh ke arahku!" Air mataku mengalir deras sekarang, tapi aku tidak peduli. Aku tidak bisa menahan semua emosi ini lebih lama.

Zach menggigit bibirnya, matanya memerah. "Marc... aku... aku menyesal. Aku sungguh menyesal. Aku—"

"Menyesal?" Aku tertawa sinis, menatapnya tajam. "Menyesal tidak akan mengubah apa pun, Zach! Ibu sudah mati! Kau menghindar ketika aku membutuhkanmu, dan sekarang semuanya sudah berakhir!" Aku melangkah lebih dekat, suaraku mulai pecah. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku dulu juga meninggalkanmu, dan aku mengira aku layak dihukum untuk itu. Aku berpikir aku pantas merasa sendirian. Tapi kau? Kau malah melakukan hal yang sama. Kau biarkan aku sendirian, kau biarkan Ibu... biarkan semua ini terjadi!"

Zach mengerutkan wajahnya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Marc, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku takut. Aku takut kalau aku ikut campur, semuanya akan lebih buruk. Aku juga terluka, Marc. Ibu... Ibu menakutiku juga." Suaranya pecah, seperti ada beban yang tak tertahankan di dalam hatinya.

"Tidak, Zach!" Aku berteriak, kehilangan kendali. "Kau tahu kenapa kau lari? Karena kau takut menghadapi kenyataan. Karena kau takut menghadapiku. Dan sekarang kau berdiri di sini, seolah-olah semuanya baik-baik saja, seolah-olah permintaan maafmu bisa memperbaiki semuanya." Aku mengepalkan tangan, tubuhku gemetar karena emosi. "Aku ada untukmu dulu. Ketika kita masih kecil, aku selalu ada untukmu, meski aku sendiri merasa hancur. Tapi sekarang? Kau bahkan tidak bisa menoleh padaku ketika aku berada di titik terendah."

Zach terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku minta maaf... Aku minta maaf, Marc," katanya dengan suara hampir berbisik. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku meninggalkanmu saat kau paling butuh aku. Tapi aku... aku juga merasa hancur, Marc. Setiap kali aku melihatmu, aku teringat akan semuanya, dan aku tidak tahu harus bagaimana."

"Jadi kau lari," aku menegaskan, suaraku masih penuh kebencian. "Kau pikir itu solusi? Kau pikir dengan menghindari semuanya, rasa sakit itu akan hilang?" Aku menggeleng, merasa semua ini terlalu berat. "Kau salah, Zach. Kau salah besar."

Kami terdiam sejenak, hanya suara hujan yang samar-samar terdengar di sekitar kami. Aku bisa melihat bagaimana Zach berjuang dengan perasaannya, tapi saat itu, aku tidak bisa merasakan simpati. Semuanya sudah terlalu terlambat.

"Marc," suara Zach terdengar lebih lemah sekarang. "Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku minta maaf karena tidak ada untukmu. Aku benar-benar minta maaf."

Aku menggeleng, air mataku masih mengalir. "Kau tahu, Zach? Ibu menjemputku dari Ayah, membawa aku kembali ke rumah ini... dan untuk apa? Hanya untuk mengulang mimpi buruk yang sama. Dan kau bisa saja menghentikannya, kau bisa menolongku. Tapi tidak. Kau memilih untuk pergi."

Zach tidak bisa membantah. Dia hanya berdiri di sana, terisak pelan, wajahnya penuh dengan penyesalan.

"Dan Ayah... Ayah juga tidak lebih baik." Aku menghela napas panjang, merasa seluruh dunia menghimpitku. "Dia terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri, sementara aku—aku terjebak di tengah semua ini. Tidak ada satu pun dari kalian yang ada untukku."

Zach mencoba mendekat lagi, mencoba mengulurkan tangan, tetapi aku mundur. "Sudah terlambat, Zach. Ibu sudah tiada. Semua sudah terlambat." Suaraku terdengar lebih lemah sekarang, seolah semua tenaga yang kupunya telah terkuras oleh kemarahan dan kesedihan.

Zach menunduk, tubuhnya gemetar oleh tangis yang tak bisa lagi dia tahan. "Aku menyesal, Marc. Aku benar-benar menyesal."

Aku memalingkan muka, air mataku mengalir tanpa henti. "Aku juga, Zach," bisikku pelan, hampir tak terdengar. "Aku juga."

Dengan hati yang hancur, aku berbalik dan meninggalkannya di sana, rasa kecewa dan kehilangan merasuk dalam setiap langkahku. Aku tidak tahu apakah kami akan bisa memperbaiki hubungan kami. Yang pasti, saat ini, aku merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.

Remnants of Us (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang