Zenaya duduk di sofa area santai, tubuhnya menyandar nyaman pada sandaran sofa. Di sebelahnya, Sacha duduk dengan postur yang lebih santai, namun tetap menjaga jarak yang cukup.
Zenaya memutuskan untuk menerima Sacha sebagai temannya, meskipun dia masih belum sepenuhnya ingat tentang laki-laki itu.
Zenaya merasa nyaman duduk di sampingnya. Keheningan menyelimuti mereka, sebelum akhirnya Zenaya membuka mulut, memecah keheningan.
"Kenapa ya mereka buat rencana gitu, kayak di sinetron aja," ucap Zenaya sambil menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, menyilangkan tangan di dada, dan menekuk kakinya dengan santai. Wajahnya tampak penuh rasa penasaran dan sedikit bingung.
Sacha menoleh ke arah Zenaya, alisnya terangkat satu. "Sinetron?" tanyanya, bingung dengan kata-kata Zenaya.
"Hm, sinetron yang aku tonton tiap sore," jawab Zenaya sambil menatap Sacha, sedikit melirik ke arah wajahnya. Mata Zenaya terfokus pada Sacha, mencoba mencari reaksi yang tepat.
Sacha tertawa kecil, sedikit terkejut. "Haha, jadi kamu nonton sinetron sekarang?" tanyanya dengan nada bercanda, tanpa bisa menahan tawanya.
Zenaya melipat kedua tangannya lebih erat di dada, lalu memandang Sacha dengan ekspresi yang sedikit nakal.
"Emang kenapa?" tanya Zenaya.
"Gak, kayak ibu-ibu aja," jawab Sacha sambil tersenyum lebar, seolah menemukan kesenangan kecil dalam keadaan ini.
"Gak ya, itu buat RBO," Zenaya menjawab dengan cepat, lalu mengangkat jari telunjuknya dengan percaya diri di udara, menunjuk ke arah Sacha, membuatnya tampak lebih serius.
"Haha," Sacha tertawa lagi, sedikit mengejek, namun kali ini lebih santai.
Sacha tertawa sambil menggelengkan kepala, tak menyangka Zenaya yang dulu dikenal dengan ketertarikan pada anime, kini malah memilih sinetron.
Zenaya hanya tersenyum tipis, tak marah. Suasana yang terbangun di antara mereka terasa ringan, meskipun ada sedikit ketegangan yang belum terselesaikan. Lalu, suara Zenaya memecah ketegangan itu, kali ini lebih lembut.
"Sacha," panggil Zenaya dengan nada yang berbeda, lebih serius.
Sacha berhenti tertawa dan menatap Zenaya, terkejut mendengar nada yang berubah. "Hm?" Sacha menoleh, menatap mata Zenaya yang kini terlihat penuh perhatian, seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting.
"Sebenernya aku ilang ingatan," ucap Zenaya, wajahnya kini berubah serius.
Ada rasa kepercayaan diri yang sedikit rapuh dalam suaranya, seakan dia berusaha terbuka, meski perasaan itu masih membingungkan.
Sacha hanya mengangguk pelan, seolah sudah lama tahu, namun tetap ada ketegangan yang muncul di matanya.
"Aku tahu," jawabnya singkat, namun penuh dengan pemahaman.
"Kamu tahu?" Zenaya bertanya terkejut, matanya membesar, sedikit terperangah. Suara Zenaya terdengar lebih tinggi, seolah ada kekhawatiran yang muncul.
"Hm," Sacha mengangguk lagi, tidak terburu-buru memberikan penjelasan lebih jauh.
Zenaya menatapnya dengan penuh rasa penasaran. "Sejak kapan?" tanyanya, suaranya sekarang terdengar lebih rendah, hampir seperti berbisik.
"Sejak aku ambil tusuk rambut kamu di minimarket waktu itu," jawab Sacha perlahan, menyusun kalimatnya dengan hati-hati.
"Kok bisa?" Zenaya melongo, tidak mengerti. "Kenapa tiba-tiba kamu tahu?"
Sacha menarik napas, melirik Zenaya dengan ekspresi yang lembut. "Omongan kamu waktu itu, kayak pertama kali aku narik iket rambut kamu waktu SD," jelas Sacha, mengenang kejadian itu, suaranya sedikit melunak.
"Cuman karena itu?" Zenaya masih tampak terkejut. Dia memiringkan kepala, tidak bisa sepenuhnya percaya.
"Hm," Sacha hanya mengangguk pelan, wajahnya sedikit tertunduk, mencoba menahan emosi yang mungkin ada di dalam dirinya.
Zenaya mulai mendekat, menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke arah Sacha, matanya tak lepas dari wajahnya.
"Pasti bukan kan? Ayo bilang, kenapa?" Zenaya mendesak, tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang menggebu.
Sacha mengernyitkan dahi, bingung dengan pertanyaan Zenaya. "Bilang apa?" tanyanya dengan nada sedikit bingung, mencoba menghindari topik yang agak sensitif.
Zenaya menggigit bibirnya, sedikit kesal. "Bilang kenapa kamu tahu aku ilang ingatan," desaknya lagi, wajahnya menunjukkan keinginan kuat untuk memahami.
"Tadi udah bilang," Sacha mengulang, sedikit kesal karena merasa sudah cukup menjelaskan.
Zenaya memutar bola matanya, lalu dengan gesit memukul pelan lengan Sacha menggunakan tangannya, seperti anak kecil yang sedang bertingkah manja.
"Ihh," ujarnya, kesal namun lucu. "Ayo bilang, Sacha," pintanya dengan suara yang memelas, membuat Sacha tertawa kecil.
Melihat ekspresi Zenaya yang menggemaskan, Sacha tak bisa menahan tawanya. Dia merasa lucu melihat betapa Zenaya menginginkan jawaban itu.
Suasana yang tadinya sedikit tegang, kini terasa lebih ringan dan nyaman. Zenaya, meski masih merasa bingung, bisa merasakan kehangatan dalam percakapan ini.
"Gelang ini, aku dapet dari cewek yang aku suka," ucap Sacha sambil menggenggam gelang yang melingkar di pergelangan tangannya.
Matanya sesaat melirik gelang itu, seolah mengenang seseorang. Zenaya menatap gelang tersebut dengan rasa penasaran.
"Ooh, siapa?" tanya Zenaya, tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang muncul. Wajahnya tampak penuh pertanyaan, matanya berkilat penasaran.
Sacha tersenyum tipis, kemudian mengalihkan pandangannya ke Zenaya. "Kan, itu juga bisa jadi bukti," ucapnya dengan nada ringan, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik kalimat itu.
"Kok gitu, aku kenal orangnya? Atau aku ngeliat cewek itu?" Zenaya mengerutkan kening, mencoba menghubungkan kalimat Sacha dengan sesuatu yang lebih jelas. Tapi pertanyaannya itu lebih kepada dirinya sendiri daripada Sacha.
"Rasa apa yang aku gak suka?" tanya Sacha dengan ekspresi yang penuh tantangan, seakan ingin menggoda atau menguji ingatan Zenaya.
Zenaya berpikir sejenak, matanya sedikit menatap langit-langit sebelum akhirnya menjawab dengan percaya diri.
"Macha," jawabnya, pasti.
Sacha terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Itu tahu, udah inget?" tanya Sacha, melihat reaksi Zenaya dengan harapan.
"Gak, nyontek dari buku diari," jawab Zenaya santai, mengangkat bahu sedikit. Tidak ada beban dalam suaranya.
"Buku diari?" tanya Sacha, merasa sedikit lebih tertarik. Penasarannya tumbuh, mencoba memahami lebih banyak tentang Zenaya.
"Diari warna kuning, ada di kotak gede, barengan sama aksesoris yang tulisannya 'Untuk Naya'," jelas Zenaya, sambil menyilangkan tangan di dada dan menatap jauh ke depan, seolah mengingat kembali benda-benda di ruangannya.
Sacha mengangguk-angguk pelan, tampak paham. "Hoo, kamu nyimpen di kotak? Pantes aksesorisnya gak pernah dipake," ujarnya, sedikit menggoda. Matanya menatap Zenaya dengan senyuman kecil.
Zenaya hanya membalas dengan senyuman nakal, mengangkat alis sejenak. "Apa sih, Sacha?" ujarnya, meski ada nada lucu di suaranya.
"Novel itu kamu tahu dari siapa?" tanya Sacha, memecah tawa mereka. Kali ini dia mengubah topik, mengingat hal lain yang dia tahu di rumah Zenaya.
"Siapa?" Zenaya bertanya dengan suara penasaran, seolah ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dimaksud Sacha.
"Dari cowok yang suka sama kamu," jawab Sacha dengan serius, meski ada senyum tipis di sudut bibirnya.
Zenaya terkejut, matanya membulat. "Hoo, berarti banyak dong yang suka aku?" tanya Zenaya, suaranya terdengar terkejut, seperti baru saja menerima informasi yang mengejutkan.
Sacha meliriknya sebentar, sedikit bingung dengan reaksi Zenaya. "Kenapa gitu?" tanya Sacha, tampak bingung, namun dengan nada yang tetap ringan.
Zenaya menjawab dengan sedikit kebingungannya. "Kan novelnya banyak," ucapnya, melanjutkan pemikirannya.
Sacha tertawa kecil, merasa lucu dengan cara Zenaya berpikir. "Haha, itu dari satu orang yang sama," jelasnya, mencoba menenangkan kebingungannya.
"Ooh, kirain," jawab Zenaya, seakan merasa bodoh karena salah paham. Senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Nah, itu juga bisa jadi bukti," ucap Sacha, suaranya kembali serius, seakan ingin mengingatkan Zenaya.
"Bukti apa?" Zenaya bertanya bingung, sambil menatap Sacha, masih belum menangkap inti pembicaraan ini.
Sacha menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam, namun lembut. "Kamu ilang ingatan," jawabnya dengan tenang, tapi dengan nada yang jelas menunjukkan bahwa dia ingin Zenaya memahami maksudnya.
Zenaya hanya mengangkat bahu, merasa sedikit bingung dengan pernyataan itu.
"Kan aku yang ngasih tahu," ujarnya dengan nada datar, tampak sedikit bercanda, meski sebenarnya ada perasaan campur aduk yang sedang dia rasakan.
Sacha tertawa pelan, namun Zenaya mendengus kesal, merasa terkejut dengan reaksi Sacha yang ringan.
"Nay," panggil Sacha, suaranya sekarang lebih lembut, tidak ingin memperburuk suasana.
Zenaya menoleh, menatap Sacha dengan mata yang sedikit melunak. "Hm?" jawabnya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Jangan nyuruh aku buat ngejauh lagi," pinta Sacha, nada suaranya sedikit lebih mendalam, seolah ada permohonan tulus di balik kata-katanya.
Zenaya menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Hm, iya," jawabnya dengan lembut.
Senyum yang mengembang di wajahnya memberikan kesan yang tulus, seolah memberi jaminan kepada Sacha.
Sacha menghela napas panjang, merasa lega setelah mendengar jawabannya.
"Makasih," katanya tulus. Senyum kecil yang terukir di wajahnya sudah cukup untuk menunjukkan rasa syukurnya.