Malam semakin merayap, menyelimuti dunia dengan kesunyian yang menusuk hingga ke relung hati. Di dalam kamar yang temaram hanya ada dua sosok yang duduk diam di atas ranjang yang sama tapi dengan jarak yang seolah terbentang seperti jurang yang tak terjembatani. Raishaka di sisi kanan, Lulu di sisi kiri. Seakan ada tembok tak kasat mata yang membatasi mereka.
Tak ada suara, hanya ada denting waktu yang terasa begitu lambat, menyesakkan. Raishaka melirik Lulu yang hanya menunduk, memeluk lututnya sendiri. Wajahnya masih basah sisa air mata, napasnya berat, seolah menahan sesuatu yang begitu menghimpit dadanya.
Raishaka ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu, apa pun itu. Tapi bibirnya seakan terkunci. Ia takut, takut jika setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan semakin melukai Lulu, semakin membuatnya menjauh.
Hening kembali menyelimuti. Mereka sama-sama kalut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Raishaka menghela napas panjang, menyerah pada ketidakberdayaannya.
"Kak, udah malem, istirahat aja yuk," ujarnya lirih, suaranya begitu lembut, penuh kehati-hatian, seolah takut suaranya saja bisa melukai hati Lulu lebih dalam lagi.
Lulu tidak menjawab, hanya menggumam pelan, bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Kemudian perlahan ia membaringkan tubuhnya membelakangi Raishaka.
Dan saat itu juga, hati Raishaka kembali mencelos. Dingin. Hampa.
Ia menatap punggung Lulu yang diam, yang dulu selalu ia dekap erat setiap malam, tapi kini terasa begitu jauh seakan mereka adalah dua orang asing yang terjebak dalam ruang yang sama.
"Night Kak," lirih Raishaka akhirnya, berusaha tetap terdengar hangat meski hatinya sendiri terasa membeku.
Lulu kembali hanya menggumam, tak berniat memberi balasan yang lebih dari itu.
Raishaka menghela napas pelan. Dadanya terasa sesak, seolah ada ribuan duri yang menusuk-nusuk dari dalam. Ia ingin menangis, tapi tak bisa. Ia ingin berbicara lebih banyak, tapi percuma. Lulu masih menutup hatinya.
Pelan-pelan ia ikut membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit dengan mata yang terasa berat. Ia bahkan tak tahu harus bagaimana lagi. Yang ia tahu hanya satu, ia mencintai Lulu, sangat mencintainya, lebih dari apa pun. Tapi sepertinya cinta saja tak cukup untuk mengobati luka yang terlalu dalam.
Ia menutup matanya, mencoba tidur, tapi hatinya tetap terjaga penuh dengan nyeri yang tak berkesudahan.
*****
Matahari pagi menyusup melalui celah gorden, menari di atas wajah Raishaka yang masih terlelap. Cahaya keemasan itu mengusik tidurnya, memaksanya mengerjap pelan mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Matanya yang sedikit bengkak akibat kurang tidur perlahan membuka kemudian menoleh ke samping. Lulu masih tertidur di sana, tubuhnya meringkuk dalam posisi yang sama seperti semalam.
Raishaka menatapnya lama. Ada ketenangan yang terpancar dari wajah istrinya itu seakan tak ada badai yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Tapi Raishaka tahu ini hanya ilusi. Ia tahu betul bahwa saat Lulu membuka mata, semua kesedihan, semua luka, semua kepedihan itu akan kembali menyerbu, menggerogoti jiwanya.
Pelan-pelan Raishaka bangkit dari tempat tidur berusaha tak mengusik ketenangan Lulu. Ia melangkah ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Air dingin menyapu wajahnya, membasuh sebagian kelelahan yang masih menggelayuti tubuhnya. Saat ia selesai Lulu masih belum juga bangun.
Ia kembali mendekat ke ranjang, memandang Lulu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ada kerinduan, ada kasih, ada rasa sakit yang begitu dalam. Perlahan ia mengangkat tangannya, ingin sekali mengusap rambut istrinya itu, menyentuhnya meski hanya sebentar. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Ia takut mengusik tidur Lulu, takut jika sentuhannya malah membuat istrinya semakin merasa tidak nyaman dengannya.
Dengan berat hati ia menarik diri. Sebagai gantinya ia mengambil secarik kertas dan pena dari nakas di samping ranjang, lalu menuliskan sesuatu dengan hati-hati.
"Aku berangkat dulu ya Kak. Kamu hati-hati di rumah."
Diletakkannya kertas itu di tempat yang mudah terlihat. Raishaka melirik Lulu sekali lagi, lalu menghela napas panjang sebelum melangkah keluar kamar dan meninggalkan rumah dengan hati yang terasa kosong.
.
.
.Di kantor Raishaka duduk di ruangannya, dikelilingi tumpukan berkas-berkas yang seharusnya menjadi fokusnya. Tapi pikirannya terus berkelana, mengembara ke tempat yang sama, rumah, Lulu. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mencoba mengalihkan rasa sakit yang tak kunjung reda. Tapi semakin ia mencoba semakin pikirannya melawan.
Kenapa semua ini terasa begitu sulit? Kenapa rasanya seperti ia mencintai seseorang yang semakin lama semakin menjauh darinya?
Ia mengusap wajahnya kasar, menghela napas berat. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya, sesuatu yang tak bisa ia tahan sendiri lebih lama lagi. Ia butuh berbicara dengan seseorang.
Seakan menjawab kegelisahannya, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dan terbuka. Gabriel masuk dengan langkah santai seperti biasa namun sorot matanya penuh keingintahuan.
“Ada apa Rai? Tumben Lo manggil gue,” tanyanya sembari masuk ke ruangan.
Raishaka mengangkat wajahnya dari tumpukan berkas, menatap Gabriel dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia terlihat begitu lelah, begitu rapuh. Suaranya keluar lirih, hampir tak terdengar.
“Gab, gue butuh kalian.”
Gabriel menatapnya dalam membaca kepedihan yang tak tersampaikan. Kemudian ia tersenyum kecil mencoba menguatkan.
“Lunch nanti kita ke kafe dekat sini ya? Lo ceritain semuanya,” ujarnya ringan tapi penuh ketulusan.
Raishaka menatapnya sebentar, lalu mengangguk lemah. “Tengs Gab.”
Gabriel hanya menepuk pundaknya pelan sebelum keluar ruangan, memberinya ruang untuk kembali pada pikirannya yang masih kacau.
Raishaka menghela napas dalam. Ia menatap tangannya yang mengepal di atas meja, lalu menutup matanya sejenak, mencoba mencari ketenangan yang rasanya semakin sulit ia temukan.
.
.
.
.Saat jam istirahat siang tiba, Raishaka akhirnya benar-benar tak bisa lagi menyimpan semuanya sendiri. Dengan langkah gontai dan hati yang penuh beban, ia mengajak Gabriel, Arman, dan Indira ke sebuah kafe di dekat kantor mereka. Tempat itu cukup nyaman, tak terlalu ramai, cukup tenang untuk berbicara tanpa takut didengar siapa pun. Mereka memilih duduk di sudut ruangan, sedikit terpisah dari pengunjung lain agar bisa lebih leluasa berbicara.
Begitu pelayan datang dan mencatat pesanan merekanGabriel langsung menatap Raishaka dengan sorot mata tajam. Ia tahu betul sahabatnya ini sudah menahan banyak hal sendirian.
"Jadi gimana Rai? Lo sebenarnya kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi.
Arman yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk, menatap Raishaka dengan prihatin. "Iya bro. Kita teman kamu. Kita selalu ada kalau kamu mau cerita," ujarnya lembut.
Indira satu-satunya perempuan di antara mereka menatap Raishaka dengan ekspresi penuh simpati. Ia sudah lama melihat ada sesuatu yang salah dalam diri lelaki itu, tapi baru sekarang Raishaka benar-benar membuka diri.
Raishaka menghela napas panjang, tangannya mengepal di atas meja sebelum akhirnya ia bersuara, suaranya berat, sarat dengan kelelahan yang selama ini ia pendam.
"Gue capek," hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Indira mengerutkan kening, lalu bertanya dengan suara lembut, "Capek kenapa Rai?"