20. NEKAT

35.3K 1.3K 165
                                    

Part kemarin ga tembus votenya, boleh sedih dikit ga si? hehe ... part ini dipenuhi bisa, kann? Cuman 300 vote kok:)

Oh iya, siapa yang udah baca additional part yang di karyakarsa?? Absen siniii>>>>

20. NEKAT

Selimut putih yang sudah kusut itu Zoya tarik naik sampai ke pangkal hidungnya agar menutupi seluruh tubuhnya yang tak berbusana. Rambut perempuan itu berantakan, helaian panjangnya tergerai liar di atas bantal, beberapa menempel di pelipis dan lehernya yang masih basah oleh keringat. Sisa-sisa sentuhan Kenzo masih terasa di setiap helai rambutnya, seolah pria itu telah meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus begitu saja.

Netra hazelnya menatap kosong ke langit-langit kamar Kenzo yang temaram, cahaya lampu tidur berpendar lembut, menciptakan bayangan samar di dinding. Jantungnya masih berdetak cepat, meskipun badai itu sudah reda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan gejolak yang masih berkecamuk di dalam dirinya.

Sementara itu, Kenzo berbaring tengkurap di sisinya, napasnya kini lebih teratur, naik-turun dengan ritme yang stabil. Lengan kekarnya tergeletak di atas kasur, jemarinya sedikit mengendur, seolah baru saja melepaskan sesuatu yang telah lama ia genggam erat. Punggung lebarnya yang dipenuhi keringat terbuka begitu saja, menampakkan lekuk ototnya yang bergerak pelan seiring tarikan napasnya.

Rambut kecokelatan milik pria itu sedikit berantakan, beberapa helai jatuh ke dahinya, tetapi tetap tidak bisa mengurangi kesan maskulin yang terpahat sempurna di wajah Kenzo. Mata tajam yang sebelumnya penuh obsesi kini terpejam rapat, rahangnya yang tegas tampak lebih rileks dalam tidurnya.

Zoya meliriknya sekilas dari balik selimut yang masih ia tarik hingga pangkal hidung. Pria itu tampak begitu tenang, bertolak belakang dengan sosok liar dan dominan yang menguasainya beberapa saat lalu. Tapi justru itulah yang membuat Zoya semakin sadar—Kenzo seperti badai, tak bisa diprediksi. Tenang di satu saat, lalu menghancurkan semuanya di saat berikutnya.

Zoya menelan ludahnya kasar, ia kembali mengalihkan pandangannya ke langit-langit. Namun meskipun ia tidak menatap Kenzo, ia tetap bisa merasakan kehadiran pria itu, begitu dekat, begitu nyata. Seakan membuktikan bahwa semua yang terjadi tadi bukanlah mimpi.

Zoya menggigit bibirnya, mencoba mengusir bayangan itu, tetapi justru semakin jelas di benaknya. Sentuhan panas Kenzo yang begitu menuntut membuatnya kehilangan kendali. Ia bisa merasakan kembali bagaimana jemari pria itu menelusuri setiap inci kulitnya, bagaimana bibirnya bergerak di atasnya, bagaimana suara seraknya memenuhi ruang kamar ini beberapa saat lalu.

Wajah Zoya langsung memanas. Ia mengerjap cepat, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berpacu lagi. Tangannya meremas selimut lebih erat, seolah itu bisa membantunya melindungi diri dari efek yang masih tertinggal di tubuhnya.

Sial. Kenapa hanya dengan mengingatnya saja, tubuhnya bereaksi seperti ini?

Zoya melirik Kenzo yang masih tidur nyenyak di sebelahnya. Wajah pria itu tampak begitu tenang, seakan tak menyadari kekacauan yang sedang terjadi di dalam dirinya. Zoya menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya sejenak. Ia harus mengendalikan dirinya. Tidak boleh terus-menerus terjebak dalam bayangan itu. Tapi, bagaimana caranya, kalau setiap hela napas yang memenuhi kamar ini masih membawa aroma Kenzo—aroma yang membuatnya kembali mengingat segalanya?

“Kenapa belum tidur?” Suara berat itu tiba-tiba memenuhi keheningan kamar, serak dan dalam, membuat tubuh Zoya sontak menegang.

Perempuan itu terjengit kaget, jantungnya seperti baru saja jatuh ke perut. Napas yang sejak tadi ia coba tenangkan kembali berantakan begitu saja. Zoya menoleh dengan gerakan lambat, matanya membulat saat menemukan sepasang mata gelap yang kini sudah terbuka, menatapnya dengan intens dari balik bayangan.

          

Kenzo belum benar-benar tertidur.

Pria itu mengangkat kepalanya sedikit, lalu mengerjapkan mata dengan malas, tetapi sorotnya tetap tajam. Satu sudut bibirnya terangkat, menciptakan senyum miring yang membuat Zoya makin gelisah.

“Pikiran lo ke mana, hm?” Kenzo bergumam rendah, suaranya semakin serak karena kantuk. Namun, Zoya tahu betul nada itu—nada kepemilikan yang selalu muncul setiap kali pria itu menangkapnya dalam keadaan seperti ini.

Zoya langsung membuang pandangan, menarik selimut lebih erat hingga menutupi separuh wajahnya. “Nggak ke mana-mana,” jawabnya cepat, meskipun jelas tubuhnya berkata sebaliknya.

Kenzo mendengus pelan, lalu bergeser lebih dekat hingga kepalanya naik ke bantal yang Zoya gunakan. “Bohong,” bisiknya, mata gelapnya menelusuri wajah wanita itu yang kini mulai memerah lagi. “Lo masih mikirin rasa genjotan gue, kan?”

Zoya melotot lebar-lebar mendengar pertanyaan jorok yang Kenzo lontarkan barusan. Ia menoleh dengan cepat, ekspresi terkejut dan kesal bercampur menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Zoya mengangkat tangannya, berniat menampar bibir pria itu yang masih melengkung nakal.

Namun, Kenzo lebih cepat.

Sebelum tangan Zoya sempat mendarat di mulut pria itu, pergelangannya sudah dicekal erat. Cengkraman Kenzo kuat, tapi tidak menyakitkan—lebih seperti peringatan bahwa Zoya tidak akan pernah bisa lolos darinya.

Mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik itu, Zoya bisa melihat sesuatu yang berbahaya di sorot mata Kenzo. Sebelum ia sempat menarik tangannya, pria itu menunduk perlahan, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut. Ciuman itu kontras dengan kata-katanya barusan. Hangat dan penuh ketenangan.

“Tidur,” gumam Kenzo, jemarinya mengelus lembut titik nadi di pergelangan tangan Zoya sebelum perlahan menurunkan selimut yang menutupi tubuh wanita itu. Hanya sedikit—sekadar cukup untuk memberinya ruang mencium pundak telanjang Zoya. “Lo butuh istirahat,” bisiknya pelan.

Zoya menelan ludah, mencoba mengabaikan debaran liar di dadanya. “Lo ngeselin tau gak!” desisnya, mencoba menarik tangannya, tapi Kenzo tidak membiarkannya.

“Tapi lo suka, kan?” Kenzo mengulum senyumnya, jelas puas melihat reaksi Zoya yang masih berusaha menyangkal. Tanpa memberi kesempatan bagi wanita itu untuk kembali protes, ia langsung melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Zoya, menariknya lebih dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.

Zoya tersentak kecil, tubuhnya menegang sejenak saat merasakan panas tubuh Kenzo yang begitu nyata menempel padanya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, pria itu menunduk, mengecup pipinya perlahan.

Ciuman itu ringan, nyaris lembut—berbeda jauh dari sentuhan-sentuhan sebelumnya yang penuh tuntutan. Tapi justru karena itulah jantung Zoya semakin berdebar, rasa panas yang tadi perlahan mereda kini kembali menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Udah, tidur,” bisik Kenzo lagi di dekat telinganya, suaranya dalam dan menenangkan, tapi tetap sarat kepemilikan. Ia mengeratkan pelukannya, seolah tidak berniat membiarkan Zoya pergi ke mana pun malam ini.

Zoya mendengus kecil, pura-pura kesal, tapi ia tidak berusaha melepaskan diri. Karena, meskipun ia tidak mau mengakuinya, berada dalam pelukan Kenzo seperti ini entah kenapa membuatnya merasa aman.

Kenzo tersenyum kecil saat merasakan tubuh Zoya yang perlahan mulai rileks dalam pelukannya. Ia tidak perlu mendengar wanita itu mengakuinya—faktanya, Zoya tetap berada di sini, tetap membiarkan dirinya terbungkus dalam dekapannya, sudah lebih dari cukup.

Jemarinya bergerak perlahan di punggung Zoya, mengusap lembut dalam irama menenangkan. Napasnya yang hangat masih terasa di dekat pelipis wanita itu, membuat Zoya tanpa sadar mengeratkan genggaman pada selimut yang menyelimuti tubuhnya.

KENZOYAWhere stories live. Discover now