Aya duduk di kursinya. Kelas masih gaduh setelah kedatangan Vichan dan Julia, tapi pikirannya melayang ke hal lain, angka 205.
"Loker 205 itu jelas-jelas ada nama lo. Devi Anindita."
Kata-kata gadis bernama Nesya itu terus terngiang di kepalanya. Sejak mendengar angka itu, perasaan tidak enak terus menghantuinya. Aya belum pernah benar-benar memperhatikan loker Devi, tapi jika benar nomornya 205, berarti ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan semua ini.
Tiba-tiba Aya teringat ucapan Nesya lagi.
"Gue cuman mau nanya kenapa dia nyimpen barang-barangnya di loker lo! Lo kasih kunci loker lo ke dia, kan? Lo pasti tahu sesuatu? Jawab!"
Bagaimana Nesya tau isinya? Apa gadis itu membukanya? Haruskah dia mengecek sendiri untuk memastikannya? Jika dia menunggu lebih lama, bisa saja sesuatu terjadi, sesuatu yang mungkin lebih buruk dari semua yang sudah terjadi.
Aya akhirnya mengambil keputusan. Ia bangkit dari kursinya.
"Eh, Dev. Mau ke mana?" suara Ayuni menghentikannya sejenak.
Aya menoleh cepat. "Ke toilet, sebentar aja," jawabnya singkat.
Ayuni mengangguk tanpa curiga, kembali fokus pada bukunya. Tapi saat Aya baru saja melangkah ke pintu, tiba-tiba suara lain memanggilnya dengan nada keras.
"Dev! Lo mau ke mana? Masih jam pelajaran!"
Aya membeku, Itu suara Alex, si ketua kelas.
Seisi kelas langsung menoleh ke arah Aya. Beberapa siswa bahkan menatap dengan ekspresi penasaran.
Aya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Cuma ke toilet," ulangnya.
Tapi Alex masih menatapnya curiga, matanya tajam seolah membaca sesuatu yang tersembunyi. "Jangan lama-lama," katanya
Aya mengangguk cepat sebelum segera keluar. Dia harus cepat, jika yang dikatakan Nesya benar, maka loker 205 bisa menjadi kunci dari semua misteri ini.
Di sepanjang lorong, mata Aya bergerak ke kanan dan kiri, mencari petunjuk tentang lokasi loker siswa. Jujur saja, dia tidak tahu pasti di mana letaknya, jadi dia hanya bisa mengandalkan firasat.
Sampai akhirnya, dia menemukannya.
Lorong tempat loker-loker siswa berjejer panjang dengan dinding bercat putih gading yang sudah mulai kusam di beberapa bagian. Deretan loker logam berwarna biru tua berbaris rapi di kedua sisi lorong, masing-masing memiliki nomor dan nama pemiliknya yang tertulis di sebuah label kecil. Beberapa loker terlihat dihiasi stiker atau gantungan kunci, menunjukkan kepribadian pemiliknya.
Udara di sana terasa sedikit pengap, mungkin karena kurangnya sirkulasi udara. Cahaya lampu neon di langit-langit memberikan penerangan yang agak dingin. Tidak banyak siswa yang berkeliaran di area ini, hanya ada jejak langkah samar dari kejauhan.
Aya menelusuri barisan loker dengan jantung berdebar, matanya menangkap tulisan "Devi Anindita" di salah satu loker bernomor 205. Loker itu terkunci tepat di sebelahnya, loker 204 bertuliskan nama "Tyas Maharani Putri."
Jadi, loker mereka beneran sebelahan?
Aya menyentuh permukaan dingin loker itu. Tyas meninggal beberapa waktu lalu, tapi loker ini masih ada di sini, tidak dipindahkan atau dibersihkan. Apakah masih ada barang-barang miliknya di dalam?
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki menggema di lorong, Aya reflek membalikkan badannya.
Di ujung lorong, berdiri seorang gadis dengan rambut sepinggul, memegang ponsel dalam posisi merekam. Langkahnya tenang, percaya diri, sedikit angkuh. Senyum miring tersungging di bibirnya seolah menikmati situasi ini.
Aya mengenali gadis itu, Nesya.
Gadis yang beberapa waktu lalu bertanya soal loker. Yang menyinggung tentang kunci loker Devi yang ada pada Tyas.
"Gue tau lo bakal ke sini."
Nesya mendekat dengan santai, kemudian mengangkat ponselnya sedikit lebih tinggi, memperlihatkan layar yang masih merekam.
"Gue cinta kebetulan. Dan ini…"
Ia memutar layar ponselnya ke arah Aya, memperlihatkan sebuah video. Dalam video itu, terlihat jelas Aya berdiri di depan loker 205. Nesya tersenyum semakin lebar.
"Cukup buat gue jadi bukti kalau lo terlibat dengan kematian Tyas."
Aya masih terdiam, otaknya berusaha menyusun kata-kata, tapi sebelum dia sempat menjawab, Nesya sudah lebih dulu melangkah mendekat, aura mengintimidasi terpancar dari cara bicaranya.
"Gue ulangi lagi, Devi… Apa alasan lo ke sini?"
Suara Nesya terdengar tajam. Seolah ingin menusuk langsung ke dalam isi kepala Aya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan Devi. Nesya jelas menganggapnya sebagai Devi dan lebih buruk lagi, sebagai tersangka pembunuhan Tyas.
Melihat Aya ragu, Nesya mendecakkan lidah.
"Ck! Gue tau lo terlibat."
Nesya menyilangkan tangan. "Hari itu, polisi buka paksa loker Tyas buat penyelidikan. Mereka gak nemu kuncinya. Dan lo tau?"
"Isinya kosong."
Aya merasakan tubuhnya benar-benar membeli, dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Dan yang lebih aneh lagi…" Nesya menatapnya tajam. "Tyas nyimpen kunci loker lo di kamarnya."
Mata Aya melebar.
"Kenapa dia nyimpen kunci loker lo, Devi? Buat apa? Apa Tyas sengaja nyembunyiin barang-barangnya karena dia tau bakalan terjadi sesuatu ke dia?"
Aya ingin menjawab, karrna dia sendiri tidak tahu.
"Sebelum Tyas meninggal, dia sempat ngechat gue. Dia bilang, kalau sesuatu terjadi, gue harus ambil kunci itu dan kasih ke lo."
Aya makin bingung. Aya mencoba berpikir cepat. Jika kunci itu memang diberikan untuk Devi, maka seharusnya dia yang memilikinya sekarang.
"Dimana kunci lokernya sekarang?" tanya Aya akhirnya.
Nesya menyunggingkan senyum miring. "Sama gue."
Aya mengepalkan tangannya. "Kasih ke aku!" Serunya dengan nada penuh penekanan.
"Kenapa?"
Aya terdiam. Dia tahu Nesya tidak akan percaya begitu saja.
"Kamu gak bakalan ngerti"
"Apa yang gak gue ngerti? Jawab gue!"
Mau tidak mau, Aya harus mengatakan yang sebenarnya. Aya menarik napas dalam, lalu menatap Nesya dengan serius. "Aku bukan Devi."
Nesya mengernyit. "Apa? Gila Lo ya!"
"Aku Aya dari tahun 2025. Aku gak tau kenapa aku ada di tubuh Devi. Setelah kecelakaan di 2025, aku tiba-tiba masuk ke tubuh ini."
Hening. Lalu, Nesya tertawa kecil.
"Lo pikir gue bakal percaya omong kosong lo?"
Aya menggeleng cepat. "Kalau kamu gak percaya, aku bisa buktiin. Gimana kalau kita ketemu di suatu tempat buat bicarain ini?"
Nesya menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. Lalu akhirnya, dengan sedikit menghela napas, dia mengangguk. "Oke, gue mau liat seberapa hebat Lo mau boong."