[five]

13.3K 1K 16
                                    

Tangan Edward menyentuh bagian sebelahnya, mencari tubuh mungil tadi didekapnya. Terasa dingin di balik seprai, Edward terjaga. Matanya terpusat di sebelahnya. Bagian itu kosong.

"GLORY!!"

Edward sontak bangun, mengedar ke setiap sudut ruangan berharap Glory berkeliaran seperti biasa. Kosong, tak ada di mana-mana. Edward pun langsung melangkah keluar, berharap kemungkinan Glory bermain dengan Joshua dan Agnes.

Mengedar lagi ke arah ruang tengah, dan tak satu pun keberadaan Glory tertangkap di kedua matanya. Suara berisik di dapur mengantarkan Edward ke sana, menemukan Joshua dan Agnes bercanda ria belum menyadari sosok Edward di ambang dinding pembatas ruang tengah dan dapur.

"Mana Glory?" tanya Edward cemas.

"Glory bukannya sama kamu?" Joshua bertanya balik, membalikkan badan setelah mengelap tangan. "Astaga, cuci muka kamu dulu baru datang ke sini. Bisa-bisa aku tidak mau menjamu kalau kamu--"

Belum sempat mengakhiri kalimatnya, Edward memotong. "Aku tidak peduli mau muka bantal atau apa pun. Yang kutanyakan, di mana Glory sampai-sampai aku tidak menemukan ia di mana-mana," gerutu Edward kesal.

"He? Glory hilang?" Agnes syok berat, baru paham maksud perkataan Edward dari dulu kalau cemas dan kesal tak main-main. "Bukannya Glory tidur bareng dengan kamu, Ed?"

"Iya," sahut Edward gemas, karena pertanyaan itu kembali terulang. "Tapi, saat aku bangun Glory tidak ada di sampingku. Dia menghilang entah ke mana."

Mata keduanya terbeliak pada penjelasan Edward begitu monoton. Mereka juga ikutan cemas, khawatir, tak enak pada perasaan bergelayut ini. Mereka terus berpikir, mereka ada di dapur sementara tadi ada suara berisik dari arah pintu kamar apartemen ini.

Baru tersadar, Joshua menghempaskan apron-nya ke sisi meja tak berniat membereskan. Edward tahu bagaimana perasaan Joshua begitu amburadul, tak dijabarkan oleh kata-kata.

"Aku tahu, Ed." Edward waswas, menanti kabar lewat pernyataan berikutnya dari Joshua. "Tadi, kami dengar suara aneh di pintu yang entah kenapa bisa terbuka, langsung tertutup begitu kerasnya. Baru aku sadari juga, ada kotak sepatu yang tidak jauh beberapa meter dari pintu," tunjuk Joshua sembari menjelaskan.

"Oh my god, Glory!" Edward mengusap wajah kasar, berkelanjut mengacak rambut coklat keemasan gusar. "Anak itu maunya apa, sampai kini aku tidak tahu keinginannya."

"Apa lebih baik kita kejar? Mungkin tidak jauh dari sini," tukas Joshua menepuk pundak Edward, menenangkan.

"Itu lebih baik." Edward berbalik menoleh ke arah Agnes memandang kedua lelaki itu penuh kecemasan tersirat di rona wajahnya. "Kamu, Agnes, di sini saja. Tunggu Glory kalau misalnya dia pulang. Setelah itu, kabari kami."

"Aku mengerti."

Tepukan di pundak lagi membawa Edward mengikuti Joshua keluar apartemen Agnes. Mereka pun bergegas agar bisa menemukan Glory sebelum kehilangan secara sesungguhnya.

***

Makan dengan lahap, itu kegemaran Glory mengambil, memakan, mengunyah dan menelan begitu antusias. Beberapa roti telah habis dilalap Glory, seperti belum makan tiga hari.

Memang, dari dulu toko roti milik keluarga Gladys adalah yang terbaik di antara toko-toko roti seberang wilayah. Toko roti Gladys banyak diminati oleh pengunjung berbagai pekerja, mulai dari pejalan kaki dan orang kantor berkunjung untuk makan siang.

Gladys melihat Glory memakan dengan lahap, memberikan jus buah kesukaan Glory ke tangannya sedang menelan habis. Suara keras keluar dari mulut Glory tanpa disadarinya. Menutup mulutnya seraya terkekeh geli, meminta maaf. Gladys tergelak.

G O L D E N ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang