Bab 8 : Sulur-Sulur Kegelapan

245 24 22
                                    

❄ ❄ ❄

Kegelapan di sekitar mereka memang lebih pekat dan menyesakkan. Estimasi Elysa yang tadi salah. Ini bukan lah kabut hitam. Sekarang mereka seperti masuk ke dasar lautan tergelap tanpa ujung. Kristalit yang sangat terang malah tampak sendu setelah dibawa ke sini. Jarak pandangnya dalam tempat ini menurun drastis. Cahaya kristalit mungkin cuma menyebar sepanjang empat meter sekarang.

Ren berjalan sambil tetap memegang tangannya. Dia beralasan kalau dia melepaskan tangan Elysa, Elysa akan tersesat dalam gelapnya gua ini. Hah, Ren kira dia akan tersesat semudah itu? Elysa menduga kalau sebenarnya Ren sendiri yang ketakutan.

Elysa melirik pemuda di sampingnya itu. Ren tidak lagi bertanya-tanya tentang aucast sejak mereka masuk ke dalam kegelapan yang tidak biasa ini. Elysa cukup mengerti dengan itu. Berbicara di tempat ini terasa aneh sekali. Kegelapan itu seolah mau masuk ke mulut setiap kali ada kata yang mau keluar.

Setitik cahaya di depan langsung membuat mereka berdua berhenti.

"Apa itu?" bisik Ren. Cahaya itu membesar.

Elysa menghidupkan Aura. Beberapa pisau es melayang di dekatnya.

Saat itu lah hal yang tidak disangka terjadi. Auranya bertaburan begitu saja ke udara, ditelan oleh kegelapan. Kegelapan itu menyerap rakus uap yang dikeluarkannya. Apa yang terjadi? Masih kebingungan, Elysa mematikan Aura. Pisau-pisaunya tetap melayang. Untunglah dia meng-Casting langsung pisau-pisau itu. Kalau dia mem-Binding uap air untuk membuat mereka, mereka pasti sudah mencair saat dia mematikan Auranya.

"Hey, kau tidak apa-apa?" bisik Ren. Cahaya itu semakin mendekat. Ren melepas genggamannya dan mengeluarkan sebuah pisau dari tas.

Bunyi pedang ditarik dari sarungnya menggema. Ren bergerak ke depan Elysa, menjatuhkan kristalit cahayanya sambil mengeluarkan kristalit api. Elysa tidak bisa melihat apa yang terjadi karena Ren tepat berada di depan, menghalanginya dari melihat siapa yang ada di depan mereka. Namun, gerakan Ren yang langsung terhenti membuat Elysa menyadari kalau siapa pun yang ada di depan mereka itu telah menghunuskan pedangnya ke leher Ren.

"Oh, ternyata kamu," kata orang tersebut.

"Sial, saat aku mengharapkan seekor naga, yang datang ternyata cuma kelinci," balas Ren. "Hilang sudah kesempatanku untuk mengesankan Elysa."

"Kata seseorang dengan pedang di lehernya."

"Kata seseorang dengan kristalit api siap meledak di kakinya," ucap Ren.

"Eh, benarkah?"

Siapa pun yang berkata itu pasti menunduk sekarang. Ren menggunakan momen itu untuk menyingkirkan pedangnya, dan secepat kilat meletakkan pisaunya di leher orang tersebut. "Aku tidak percaya kau percaya itu," kata Ren sambil menahan tawa.

Orang itu mendengus kesal. Suara pedang yang disarungkan terdengar. "Apa yang kau lakukan di sini, Ren?"

"Seharusnya aku yang bertanya demikian."

Ren bergerak dari tempatnya. Ternyata yang ditahannya cuma seorang anak. Bukan. Mungkin karena mukanya yang seperti anak kecil menyebabkan Elysa berpikir seperti itu. Seorang anak—tidak, remaja—yang sama tinggi dengannya. Elysa tidak bisa melihat dengan jelas warna rambutnya dalam kondisi kurang cahaya, tapi dia menduga cokelat.

Wajah yang familiar tampak olehnya. Elysa tersenyum. "Basil."

"Eh." Basil seperti baru menyadari kalau ada dia di sana. Matanya melebar. Dia mengerdipkan mata beberapa kali.

"Nona," seru Basil, hampir meloncat memeluknya. Namun tangan Ren lebih cepat. Dia berhasil menarik kerah jaket Basil, membuatnya terhenti di tengah jalan.

Kamu akan menyukai ini

          

"Bodoh, kau tidak melihat pisau yang melayang itu?" tanya Ren.

"Katakan saja kau tidak suka aku memeluknya," sahut Basil.

Bayangan Ren dan Basil yang sering kelahi saat mereka masih kecil tiba-tiba tampak jelas di ingatan Elysa. Memori sebelum dia Bangun menjadi Caster. Memori yang cuma samar-samar diingatnya. Waktu yang menyenangkan. Mau tak mau Elysa tersenyum lagi.

Ren mengambil kembali kristalit cahayanya yang jatuh sambil memegang jaket Basil. Basil terpaksa menunduk.

"Kau tersenyum," kata Ren tidak percaya sambil mengangkat kristalit itu lagi.

"Memangnya mengapa kalau aku tersenyum?"

"Tidak," kata Ren. "Aku mengira kalau kau cuma tersenyum pada orang-orang yang berhasil mengesankanmu." Dia berbalik pada Basil. "Sejauh yang kulihat, tidak ada yang mengesankan pada anak cerewet ini."

Aku tersenyum pada kalian berdua. Tapi tentu saja dia tidak akan mengatakan itu. Pasti akan terdengar aneh keluar dari mulutnya.

Elysa memperhatikan Basil. Dia memang tidak mengesankan. Dia cuma memakai sebuah jaket abu-abu berkerah yang lusuh, celana panjang kotor, dan sepatu yang koyak. Berbeda sekali dengan pakaian Ren dan jubah Elysa yang bersih dan rapi.

"Mungkin karena aku punya softspot untuknya," kata Elysa lambat.

"Hah, dengar itu Ren."

Ren mengumpat, kali ini dalam beberapa bahasa yang berbeda. Apa dia cemburu? Terang-terangan sekali.

Lepas dari pegangan Ren, Basil menunduk hormat pada Elysa. "Nona Laird. Senang—"

"Perkenalkan," tunjuk Ren pada Basil sebelum dia sempat bicara. "Ini Basil Niles, urutan pertama dalam 'Sepuluh Orang Paling Idiot yang Pernah Dijumpai René Altera'."

"Sialan kau, Tuan Muda Brengsek," desis Basil.

"Oh, ayolah. Siapa yang tidak tahu nama ilmiah burung bangau biru pastilah seorang idiot."

"Hmm?" gumam Elysa. "Aku tidak tahu."

Mereka langsung terdiam. Wajah merah dan terpana Ren selama beberapa saat membuat Elysa berharap dia membawa kamera saat itu juga. Ren berusaha ngomong, tapi mulutnya tertutup lagi. Mungkin dia berpikir lebih baik tidak bicara dulu.

Basil menepuk pundak Ren berkali-kali; menahan tawa yang hampir tumpah dari wajahnya. Dia memandang Elysa dengan hormat. "Nona, aku semakin menyukaimu."

"Sudah-sudah," kata Elysa. Jujur saja dia sebenarnya senang melihat Basil. Tapi mereka ke sini karena mempunyai tujuan, bukan untuk bermain-main. "Apa yang membuatmu ke tempat ini, Sil?"

Basil berhenti tertawa dan menoleh mereka bersamaan. Lalu berpandangan dengan Ren. Ekspresinya mengeruh sedikit.

"Hein belum kembali kan?" tanya Basil. "John dan Gilbert mengatakan kalau dia ada di sini semalam dan tidak keluar-keluar. Pekerja pertambangan mengatakan dia masuk ke tempat 'berhantu' ini. Dia tidak masuk kerja dan tidak ada di rumahnya, jadi aku mengira dia masih berada di sini."

"Jadi sebab itu...," gumam Ren. "Kau yakin dia masih berada di sini?"

"Mungkin. Aku sudah berjam-jam di tempat ini. Sayangnya kristalit cahayaku keburu habis. Mau tak mau aku harus pulang," jelas Basil. "Aku lupa kalau di sini gelap sekali, seperti ceritamu itu."

Muka Ren semakin mengeruh. "Pantas saja kau tidak ada saat Master pergi ke Mircea tadi."

Berita itu cukup untuk membuat Basil menatap Ren tajam. "T-tunggu. Master ke Mircea? Untuk apa?"

Aura of Revaris : The Frozen KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang