Author's
Dua manusia yang menunggu waktu antara sore dan malam di antara rerumputan hijau yang dihiasi danau buatan membuatnya air di danau terpantulkan oleh sinar matahari yang semakin lama semakin lenyap.
"Indah." ucap seorang gadis terkagum akan keindahan ciptaan Sang Maha Langit dan Bumi. "Jus..."
"Hm?" Justin menatap lurus ke depan. Tidak menoleh ke arah gaby sedikit pun karena sedang terhipnotis oleh lukisan di langit untuk saat ini.
"Apa kamu percaya cinta?"
Sekejap, justin langsung menoleh, "Maksudmu?"
"Kamu mempercayai itu?"
"Mempercayai apa?"
Gaby berdecak, "Jangan membuatku untuk mengulangnya dua kali. Itu gak lucu."
Justin menghela napas pelan, "Memangnya kenapa?"
Gaby hanya menggelengkan kepala. Justin menatap gaby yang sedang tidak menatapnya. Sebuah senyuman hangat terpancar dari wajah justin, sangat manis. Tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Tatapan yang datang kembali. Gaby berhasil merubah hidup justin dalam waktu yang sangat singkat.
Keindahan perlahan lenyap, langit gelap mulai muncul. Justin mengangkat tubuhnya untuk berdiri dan mengulurkan tangan ke arah gaby untuk membantunya berdiri.
"Ayo pulang."
Gaby hanya mengangguk. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil hitam yang cukup mewah milik justin. Keheningan terjadi di dalam mobil sampai akhirnya justin memilih untuk membuka suara terlebih dahulu,
"Kamu tahu gak, aku gak kepikiran kamu bakalan baik."
"Aku memang baik."
"Jangan terlalu percaya diri seperti itu!"
"Astaga justin, aku ini memang baik. Kamunya saja yang galak."
Justin berdecak mengaku kalah, "Kita gak akan langsung pulang."
"Mau kemana?" tanya gaby sembari menoleh. Diam. Justin tidak menjawabnya.
--
"Biasa." ucap gaby ke orang-yang-telah-dia-kenal-secara-dekat-Cecilia. Cecilia mengangguk dan pergi menjauh.
"Biasa?" tanya justin.
"Ini restoran favoritku."
"Jangan bilang kamu selalu menguntitku kalau aku kesini?"
Gaby membulatkan matanya dan tanpa pikir panjang mencubit lengan justin cukup keras.
"ASTAGA KAMU KASAR SEKALI!"
"Aku tidak pernah menguntitmu. Kamunya saja yang menguntitku. Aku memang suka tempat dan makanan disini."
"Jangan mencubitku seperti itu."
"Jangan menuduhku seperti itu."
--
"Terimakasih untuk hari ini, aku benar-benar menghargaimu." kata gaby sembari mencium pipi justin sekilas dan segera membuka mobil untuk masuk ke dalam rumah. Justin hanya tersenyum tipis menatap gaby yang semakin lama semakin menjauh hingga akhirnya menghilang setelah memasuki sebuah pintu besar yang memiliki ukiran indah.
Pacaran? Tidak. Mereka tidak pacaran. Atau mungkin belum. Waktu untuk saat ini belum tepat, bahkan justin adalah seorang dosen yang memiliki mahasiswa bernama gaby. Justin ingin punya pacar? Tentu. Mungkin akan menunggu gaby untuk lulus. Sangat tidak lucu bukan seorang mahasiswa memiliki kekasih seorang dosen dan sebaliknya. Konyol.
--
Aku akan memberitahu kalian sesuatu. Justin belum pernah memiliki seorang pacar. Lelaki yang tampan bahkan diambang sebuah kata sempurna tidak memiliki pacar? Ya. Dia takut. Memori justin selalu terngiang ke arah dimana ayahnya meninggalkan justin dan pattie begitu saja. Dia takut, sifat ayahnya akan muncul kepada dirinya-meninggalkan keluarga seenaknya, itu memang hal bodoh, tapi justin tetap bersikeras takut akan hal itu.
Bahkan dia takut apabila dia mencintai gaby, tapi hati itu selalu terbuka untuk gaby, tidak pernah tertutup. Perlahan ketakutan itu mulai menghilang karena kehadiran gaby, perlahan memori tentang ayahnya menjauh. Entah karena apa, justin akan selalu nyaman apabila hatinya bersangkut-paut dengan gaby. Saat ini justin mulai belajar untuk menghilangkan rasa takut dan membuka hatinya, salah satunya untuk gadis yang tinggal tepat di depan rumahnya.
Disisi lain, gaby memikirkan hal yang tidak seharusnya dia pikirkan.
'Apa aku adalah orang yang tepat untuk dicintai justin? Apa dia adalah orang yang tepat untuk aku cintai?'
Hanya itu yang terus dipikirkan oleh gaby. Tidak ada yang lain. Dia melamun menatap langit-langit kamar berwarna putih yang terlihat gelap karena lampu kamar telah dimatikan. Justin adalah salah satu lelaki misterius yang membuat gaby semakin ingin mengenalnya lebih jauh.
Disisi yang lainnya, lelaki itu terdiam. Berusaha untuk menenangkan dirinya. Berusaha untuk menghapus semua memori bersamanya-gaby.
'Apa aku pantas untuk mencintainya?'
Pikiran itu terus melayang ke arah dua-insan-yang-mungkin-saling-mencintai. Hatinya telah berada di jurang, tak seharusnya dia mencintai seseorang yang jelas-jelas telah memiliki pendamping yang mungkin akan membahagiakannya.
Dengan hati yang mantap, dia akan berusaha untuk melupakan gaby, melupakan sebagai seseorang yang dicintai, tetapi tidak akan pernah melupakan sebagai seorang teman. Hanya teman. Dia-Luke.
---
Gaby's
Hari ini mama dan papa akan segera pulang. Aku tidak akan sempat untuk menjemputnya karena jadwal kuliah yang cukup padat, berharap tiga bulan lagi dia akan segera keluar dari kampus, keluar karena lulus.
"Jordan, keluarkan mobil. Kita akan berangkat!" aku berteriak dari ruang makan ke arah garasi. "Mia, aku berangkat!"
Gaby memasuki mobil tepat saat gerbang dari sebrang terbuka. Dia tersenyum menatapku dan aku membalas senyuman itu. Aku membuka jendela.
"Cepatlah pergi atau kamu akan terlambat menuju kampus bapak dosen." teriakku sembari menahan tawa. Kulihat justin memperlihatkan wajah buruknya dan ikut tertawa. Aku menutup jendela mobil dan tersenyum menatap ke arah jalan, tidak tahu kenapa. Atau mungkin. Aku. Senang. Melihatnya.
Setelah sampai, aku dengan cepat membuka pintu mobil dan melangkahkan kaki menuju kelas. Jadwal pertama dari Mr.Dim, dan Justin akan masuk setelah itu.
Aku yang baru datang melihat teman-temanku sedang melingkar-Anna, Kate, George, Luke, dan Paton. Aku langsung masuk ke lingkaran itu. Mereka selalu memiliki cerita-cerita baru yang membuatku betah untuk selalu ada di kawasan hidup mereka.
"Aku mau minta saran sama kalian." ucap luke tiba-tiba.
"Apa?" tanya kita bersamaan.
"Aku suka sama satu gadis."
"Astaga! Seorang luke yang terlihat dingin menyukai gadis?!" aku berkata langsung dengan nada yang bersemangat sekaligus terkejut. "Siapa?"
"Nanti deh aku kasih tau kalian. Tapi, aku takut."
"Ken-"
"Selamat pagi!" perbincangan kami terhentikan oleh Mr.Dim yang masuk kelas. Dengan terpaksa, kami berhamburan terpecah menuju tempat duduk masing-masing.
Setelah dua jam lamanya terdiam memperhatikan gerak-gerik dan ucapan Mr.Dim, akhirnya ia keluar. Aku memutuskan ke toilet dan segera beranjak untuk berdiri hingga,
"Gaby! Tunggu!"
Aku menoleh ke belakang, luke. "Ada apa luke?"
"Mau kemana?"
"Toilet."
"Ikut." aku memukul kepalanya.
"Astaga jangan mesum!"
"Gaby! Tentu saja aku gak ikut ke dalam. Aku tunggu di kantin dekat toilet. Mau curhat."
Aku berdecak dan memutarkan bola matanya. "Baiklah."
--
"Jadi, curhat apa? Masalah gadis itu?"
Luke mengangguk, "Ya."
"Terus? Gimana ceritanya?"
"Aku suka sama dia. Tapi aku takut. Takut gak diterima."
"Kenapa harus takut? Kalau misalnya dia emang setia?"
"Dia udah suka sama orang lain."
"Kamu tau dia suka sama orang lain dari?"
"Aku suka liat mereka jalan bareng. Tapi aku udah suka sama dia nyaris tiga tahun. Cuma ya takut aja." Aku mengangguk-angguk pasti, "Aku harus gimana?"
"Kenapa gak coba untuk bilang kalau kamu suka sama dia?"
"Aku kan udah bilang aku takut."
"Kalau kamu takut kamu gak akan pernah tahu gimana rasa dia ke kamu."
"Kalau misalnya dia gak suka sama aku?"
"Terus kamu mau putus asa gitu aja? Mungkin dia adalah gadis yang bodoh jika menolak lelaki yang dingin dan mungkin bisa romantis." kataku menahan tawa. "Kamu harus punya cara yang berbeda, mungkin?"
"Seperti?"
"Memberikan hal yang gak kepikiran. Memberikan hal yang unik. Semakin kamu bertingkah, semakin membuat gadis itu penasaran. Sebenarnya seorang gadis diberi apapun pasti suka." kataku pasti, "Siapa sih dia? Gak mau ngasih tau nih?"
Luke tersenyum pasti, "Aku akan memberitahumu besok. Terimakasih untuk sarannya."
--
"Aku pulang!"
Kulihat mama dan papa berada di taman belakang. Aku tersenyum melihat mereka dan segera memeluk satu persatu.
"Mama denger dari pattie kamu udah deket sama justin ya?"
"Jangan sok tahu!" kataku kesal.
"Pattie? Justin?" papa yang lagi baca koran langsung nimbrung.
"Kenapa? Memang mama gak pernah ngomongin?" tanyaku.
"Siapa mereka?"
"Tetangga baru kita. Dia ada di sebrang. Kesana yu pah!" kataku semangat, "Papa belum pernah ketemu kan?"
Mama berdecak, "Kamu itu semangat ketemu justin! Bukan semangat ngenalin papa ke tetangga baru."
Aku hanya tertawa, "Mau gak pah?"
Papa ikut tertawa dan tersenyum, "Nanti deh, papa masih capek. Besok kerja lagi. Kalau ada waktu yang tepat papa pasti dateng." Aku hanya mengangguk berusaha untuk mengerti kesibukannya.
--
Matahari baru muncul, aku membuka jendela tepat saat pintu kamar terbuka.
"Ada kotak di depan, tulisannya buat gaby." kata mia sembari menaruhnya di atas meja. Aku mengerutkan kening dan menghampiri kotak itu. Mia telah keluar. Dengan cepat aku membuka kotak itu.
Sebuah buku.
Buku teka-teki.
Aku mengerutkan kening dan di dalam teka-teki telah dapat secarik kertas.
"Luke?"
Aku melihat buku teka-teki itu. Semuanya telah terisi. Astaga, kuakui dia lelaki dingin yang ternyata gila.