Bagian 10||Pintu Kuning Pastel

207 33 3
                                    

September 2019

Sira dan Nicky berpindah tempat. Sira ingin merasakan ruangan di balik pintu berwarna kuning pastel itu, sejak pertama kali masuk ke dalam kedai.

Ruangan itu dihiasi dengan warna-warna yang cerah. Ada yang bilang jika warna yang cerah mampu menghangatkan perasaan. Selain warna yang cerah, ruangan ini juga dipenuhi dengan Musik yang ceria. Jenis musik yang membuat tubuh bergoyang tanpa diminta.

"Selamat datang di bagian kedai yang lainnya," ucap seorang pelayan. Sira sontak menghentikan anggota tubuhnya yang sedang bergoyang.

Pelayan itu datang dari pintu di seberang. Sira mulai berpikir, ada berapa banyak pintu di kedai ini. Sebab dia sedikit terkejut menemukan seseorang keluar dari pintu yang sebelumnya ia kira dinding.

Penampilan pelayan yang ini sedikit berbeda dari pelayan yang pertama. Perbedaan seragamnya hanya pada warna saja. Dia terlihat mencolok dengan seragam berwarna pink dengan corak polkadot yang berwarna pink muda. Serta topi dengan karakter kelinci yang berwarna putih.

Sira tidak tahan untuk tidak tersenyum. Semakin mencoba menahannya, bibirnya tersenyum semakin lebar. Atau lebih tepatnya, dia sedang menahan tawa. Sira menoleh untuk melihat ekspresi Nicky. Sudah bisa dipastikan. Nicky lebih kesulitan menahan tawanya.

Pelayan itu mengantar Sira dan Nicky ke tempat duduk di sudut ruangan. Setelah pelanggannya itu duduk, sang pelayan menyodorkan menu makanan.

"Aku pesan hot tea," ucap Sira.

"Dua," sahut Nicky.

"Level berapa?"

Sira dan Nicky menatap pelayan itu secara serentak. "Level?" Nicky mengulangi pertanyaan pelayan itu.

"Rasa sedih akan berkurang sesuai dengan level yang dipilih," jelas pelayan itu.

"Baiklah, kalau begitu level tertinggi," ucap Sira dengan yakin.

Pelayan itu mengernyitkan dahi. Namun, dia tetap mencatat pesanan Sira dan Nicky. Ada yang salah dengan ucapan Sira? Bukankah semakin tinggi level, maka semakin cepat rasa sedih berkurang? Atau analoginya terbalik? Kita pastikan itu nanti.

Tempat duduk di ruangan ini lebih nyaman dari ruangan yang sebelumnya; Sofa berbentuk huruf 'U' dengan meja kecil di antara kedua sisinya. Ruangan ini merupakan ruangan pribadi. Sira pikir, dia akan bertemu dengan orang-orang yang sedang dilanda kesedihan di dalam sini. Ternyata, ia hanya berdua saja dengan Nicky.

"Sudah selesai dengan pengamatanmu?" ucap Nicky menyadarkan Sira.

"Aku akan bercerita setelah pesanan kita datang."

Sira tahu, Nicky tidak sabar untuk sampai ke bagian utama perjalanan masa lalunya. Berbeda dengan Nicky yang ingin cepat kisah ini berakhir, Sira justru ingin berlama-lama di setiap bagian kenangan yang dilewati. Dia ingin meresapi momentum yang terjadi di waktu itu. Waktu yang tak akan pernah kembali.

Pintu berdenting. Pelayan berseragam pink itu muncul dari baliknya. Sira menurunkan kaki dari sofa saat pelayan itu masuk. Dia meletakkan pesanan dengan senyum tipis. Menunduk, kemudian berlalu pergi.

Asap mengudara dari cangkir. Seolah siap meleburkan sesuatu yang mendekatinya. Sira melepaskan tangan dari gagang cangkir ketika suhu panas cangkir itu berpindah ke kulitnya. Nicky refleks menarik tangan Sira yang kepanasan. Dia meniupnya pelan-pelan. Lalu, tatapannya beralih dari tangan menuju mata Sira.

"Sudah tahu panas kenapa masih dipegang?"

"Aku hanya ingin memastikan jika teh itu memang sangat panas seperti yang terlihat."

"Sudah tahu rasanya sakit, tetapi tetap membiarkan rasa sakit itu menghampiri."

Nicky membicarakan hal lain, Sira tahu itu. Sebenarnya Nicky tidak pernah setuju dengan apa yang Sira lakukan untuk Lannov. Memikirkan orang yang tak pernah memikirkan kita. Meski begitu, Nicky tetap menjadi orang pertama yang memberikan sandaran kala Lannov membuat Sira penat.

Sira menarik tangannya dari Nicky untuk mengambil kertas yang terselip di bawah cangkir. Dia membuka surat itu dengan rasa penasaran yang menggebu.

"Semoga level tertinggi dari minuman ini mampu mengurangi rasa sedihmu. Jadi, apakah rasa sedihmu sudah berkurang?" -Salam Bahagia

"Kedai ini adalah kedai teraneh." Sira tertawa pelan.

"Itu isi suratnya?" ucap Nicky.

Kali ini Sira tertawa cukup kencang. Bisa-bisanya Nicky menebak seperti itu. Nicky menatap Sira jengkel. Dia merebut surat itu dari genggaman Sira. Kemudian ekspresinya berubah. Dia tertawa–menertawai Sira.

Dengan teh yang sangat panas, tentu saja akan mengurangi rasa sedih seseorang. Namun, bukan mendekati rasa bahagia, melainkan rasa kesal. Karena tidak bisa menikmati teh itu hingga panasnya berkurang. Dengan tangan yang kepanasan sebagai bonusnya.

"Mari kita tinggalkan segala hal tentang ruangan ini untuk melanjutkan perjalanan ke masa lalu."

"Aku belum siap melanjutkan perjalanan ini," keluh Sira.

Raut wajah Nicky berubah. Ekspresi bingung mendominasi raut wajahnya.

"Kamu tidak perlu berpikir keras seperti itu." Sira terkekeh.

"Aku sedang berusaha menarik benang merah." Nicky mengetuk meja dengan jari-jarinya.

"Kamu seolah ingin memecahkan kasus yang rumit."

Nicky sontak menatap mata Sira. Dia berbicara dengan serius. Amat serius. "Setiap permasalahan yang berhubungan dengan perasaan memang rumit. Perasaan adalah kasus yang sulit dipecahkan."

Nicky benar. Hal yang paling sulit dihadapi adalah masalah perasaan. Apa-apa saja yang terlibat dengan perasaan akan membawa kita pada kesulitan. Tidak semua hal, tetapi lebih banyak mengarah ke sana.

"Berhenti bersikap seolah-olah kamu adalah detektif." Sira menatap Nicky dengan malas-malasan.

"Aku bisa menjadi apa saja sesuai kebutuhan," ucap Nicky.

"Kita lanjut ke bagian kenangan berikutnya," kata Sira, mengabaikan candaan Nicky.

***

Waktu Tak Pernah SalahWhere stories live. Discover now