10

2.6K 216 0
                                    

"I wish we could go back in time before it all went wrong. When we were pointlessly flirting, and joking around. Before I fell for you, before we broke each other's heart."

-----------------------------------------

Aku sedikit tersentak saat mendengar suara pintu yang di buka dengan paksa sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat Justin yang tengah berdiri di ambang pintu. Aku merubah posisiku menjadi duduk.

"Hai," Gumamku. "Ada apa Justin?"

Ia tidak bergeming, namun beberapa saat kemudian ia mulai berjalan kearahku dan ia terlihat sangat marah. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Ia menarik kasar lenganku, yang membuatku berdiri seketika.

"Siapa yang kau temui kemarin?" Tanyanya. Aku mengernyitkan dahiku seraya mencerna pertanyaannya.

Kemarin? Seingatku, aku bersamanya. Aku tidak pergi ber- oh tunggu, ia mengetahuinya. Ia sudah mengetahuinya.

"Apa maksudmu? Aku ti-"

"Kau tidak pergi bersama si pirang bukan?"

"Aku tidak mengerti de-"

"Apa sekarang kau mengerti, Eleanor?" Ia menunjukan sebuah pesan tepat di depan wajahku. Aku membacanya dengan seksama.

"Kau sangat hebat di ranjang, Eleanor. Dan aku akan sangat senang jika kita bisa melakukannya lagi."

Travis.

"Aku bisa menjelaskan se-"

"Apa yang ingin kau jelaskan?" Ucapnya. "Kau tidur dengan lelaki lain!"

"Justin, aku ti-"

"Mengapa, Eleanor?" Gumamnya pelan. "Apa kau mencintainya?"

"Tidak, aku tidak mencintainya. Aku ha-"

"Lalu mengapa kau tidur dengannya!" Bentaknya, aku melangkah mundur secara perlahan sampai punggungku menyentuh tembok. Aku tak pernah melihatnya semarah ini.

Aku tidak bisa memandangnya dengan jelas karena air mata yang berada di pelupuk mataku namun aku bisa mendengar langkah kakinya yang semakin mendekat.

"Apa yang kau inginkan darinya?" Tanyanya, suaranya kembali seperti biasa. Tidak ada bentakan atau apapun. "Apa kau menginginkan uangnya? Apa ia memberimu banyak uang hingga kau rela tidur bersamanya?"

"Apa kau pikir aku seorang pelacur?"

Ia mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu," Gumamnya. "Berapa banyak pria yang telah kau tiduri di belakangku? Apa mereka me-"

Aku menamparnya, cukup keras. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia memegang pipinya yang kini berwarna kemerahan. Aku langsung menjauhkan tanganku dari wajahnya setelah sadar atas apa yang telah kulakukan.
Ini pertama kalinya aku menamparnya.

"Aku berada dalam tekanan," Gumamku. Aku berusaha menahan tangisanku. Aku benci menangis dihadapannya, atau dihadapan siapapun. "Aku berada dalam tekanan, Justin."

Ia memandang kedua mataku. Matanya berubah, menjadi hitam gelap. Mata hitam yang menakutkan. Aku merindukan mata coklatnya. Ia memandangku dengan tatapan penuh amarah dan kebencian. Itu sangat menyakitkan. Aku menatap lurus kedepan, mencoba menghindari tatapan tajamnya.

"Jadi itu alasanmu?" Gumamnya.

"Aku berada dibawah tekanan,"

Ia mengepalkan tangannya menjadi bulatan sempurna. Ia semakin mendekat padaku. Aku menutup mataku.

Ia akan memukulku.

Ia akan memukulku.

Aku kembali membuka mataku saat mendengar bunyi sesuatu yang menghantam tembok tepat disebelahku. Ia tidak memukulku. Ia memukul tembok disebelahku. Ia membenamkan kepalanya pada leherku, dan tidak mengatakan apapun.

"Aku minta maaf, Justin. Aku minta maaf," Gumamku di sela-sela isak tangisku. "Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu,"

"Aku juga mencintaimu, Eleanor. Aku sangat mencintaimu," Ucapnya yang membuatku tersenyum lebar. Ia menjauhkan kepalanya dari leherku. "Namun aku tak bisa bersamamu setelah semua ini,"

"Apa maksudmu dengan kau tidak bisa bersamaku?" Aku berusaha keras untuk tidak kembali menangis di hadapannya. "Apa kau akan meninggalkanku?"

"Ini sudah terlalu jauh, Eleanor."

"Tapi aku sudah meminta maaf dan aku berjanji aku ti-"

"Apa kau pikir permintaan maaf bisa menyelesaikan semuanya?"

"Tapi Justin aku mecintaimu. Kau tidak bisa meninggalkanku,"

"Tentu kau sangat mencintaiku hingga kau tidur dengan pria lain bukan? Kau pasti sangat mencintaiku,"

"Jus-"

Ia mengangkat tangannya di depan wajahku. "Cukup Eleanor. Aku tidak ingin mendengar apapun,"

Ia meraih tanganku dan mengembalikan kembali handphoneku. Ia mengelus pipiku lembut sebelum beranjak pergi meninggalkanku. Aku tak mengejarnya atau memintanya untuk tinggal disini. Aku tak melakukan apapun. Aku hanya memandangnya pergi dan menghilang.

Aku menggenggam handphone-ku erat. Kurasa lututku sudah tidak mampu menopang tubuhku jadi aku memutuskan untuk duduk diatas lantai sembari memeluk kedua lututku. Aku membenamkan wajahku diantara lututku seraya meneriakkan namanya. Tapi itu sama sekali tidak membantu.

Ia pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Dan ini semua salahku.

Aku tahu, cepat atau lambat ia akan mengetahui semuanya tapi aku tidak pernah menyangka akan secepat ini. Aku kembali meneriakkan namanya walaupun aku tahu itu tidak akan membuatnya kembali.

Aku kehilangannya. Dan yang terburuk adalah ini semua salahku. Aku tidak tahu apakah aku akan mendapatkannya kembali. Aku berharap ini semua tidak nyata. Hanya ilusi atau mungkin sebuah mimpi buruk.

Aku berharap ketika aku membuka mataku, ia ada disana. Disampingku. Memandangku dengan tatapan yang selalu ia berikan saat aku membuka mataku di pagi hari, menyapaku dengan suaranya yang berat, dan memberikanku ciuman selamat pagi.

Namun aku tahu ia tidak akan ada disana lagi.

Damaged Love | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang