[EMPAT]

41.5K 2.6K 55
                                    

Manda menggeleng pelan. Seakan tak sepaham dengan ucapan Maura barusan. Bahkan lebih dari diri nya sendiri, diri nya benar-benar menyayangi saudara perempuan nya itu. Berawal dari cerita masalalu, dimana mereka harus terpisah cukup lama dengan alasan pekerjaan orang tua mereka yang tidak memungkinkan untuk mengurus kedua nya sekaligus. Akibat pengalaman akan babysitter pun, akhirnya kedua orangtua mereka memutuskan untuk supaya Maura bertandang ke Paris dan tinggal dengan Bibi nya di sana. Jauh dari kasih sayang Ibu dan Ayah, jauh dari tempat dimana ia di lahirkanㅡdengan harapan Sang Bunda, agar putri sulung nya dapat bersosialisasi lebih di sana, karena sifat nya yang cenderung pendiam sejak kecil.

"Kakak bicara apa? Nggak, Kakak adalah yang terbaik untuk aku," jawab Manda pelan seraya menggenggam tangan Maura dengan lebih erat.

Maura menggeleng. Menolak kalimat itu, "Seharusnya Kakakㅡ"

"Kita nggak bisa mengandalkan pengandaian. Kak, nggak ada hal yang perlu untuk di andai kan di sini. Tuhan sudah kasih yang terbaik buat kita, kebahagiaan aku, belum tentu kebahagiaan Kakak dan begitu pula sebaliknya. Porsi kita nggak sama, dan itu semua berlaku untuk semua orang di dunia ini." ucap Manda getir. "Segelintir orang memang melihat semua hal berdasarkan sudut pandang mereka, tapi nyata nya itu semua banyak yang tidak sesuai dengan ekspetasi mereka. Sekarang, menurut Kakak permen mint itu enak tapi menurut aku enggak. See, kita nggak bisa melihat semua dari satu sudut pandang yang sama. Jangan pernah merasa bersalah ke aku, kalau itu yang membuat Kakak seperti ini. Karena seharusnya itu yang aku rasakan untuk Kakak. Apa yang sudah Kakak lakukan, nggak akan pernah bisa aku balas."

Maura masih menangis dalam diam. Entah mengapa, setiap melihat tatapan Manda belakangan ini membuat hati nya perih. Tatapan terluka itu, begitu kentara di bola mata hitam nya. Semenjak pembicaraan mereka beberapa bulan yang lalu, sorot itu sudah berbeda. Tidak ada binar kebahagiaan sebagaimana yang diri nya lihat ketika sosok itu berada di depan pintu kedatangan Bandara dengan tangan yang melambai-lambai dan bersiap menerima pelukan mereka untuk yang pertama kali dengan posisi mereka menyadari kehadiran mereka masing-masing.

Kemana pergi nya semua itu? Diri nya benar-benar merindukan semua hal itu, bahkan sampai hal terkecil sekalipun.

"Ra?"

Kedua wanita itu menoleh. Yang satu terkejut akan kedatangan nya, dan yang satu sibuk meraih tisseu dan menghapus semua airmata nya. Daniel di sana. Dengan kemeja hitam yang di balut jas berwarna abu-abu gelap tanpa dasi dan tatanan rambut setengah basah nya itu.

Pergerakan nya yang mengambil posisi di sebelah Maura membuat Manda seketika mengendurkan diri dan beralih posisi menjadi bersandar pada punggung kursi tempat nya saat ini.

"Ada apa?" Sesederhana itu. Satu kalimat yang ia harapkan ada untuk diri nya. Ah, melihat kedua nya membuat Manda kembali menelan kenyataan-kenyataan pahit itu sendirian.

"Dia kenapa, Man?" sial, gumam Manda dalam hati begitu satu pertanyaan itu muncul untuk diri nya dan tatapan pria itu mengarah pada nya.

Dengan pandangan yang sama, Manda menggeleng. Mencoba meredam dalam-dalam luapan perasaan nya dengan mimik muka se-netral mungkin, "Aku nggak tahu," gumam Manda pelan.

Maura menggenggam tangan Daniel. "Aku nggak papa, ya kan, Man?" tanya Maura pelan seraya tersenyum kecil ke arah Manda, berharap adik nya dapat menangkap maksud dari ucapan nya.

Manda mengangguk. "Hanya pembicaraan antara wanita."

Daniel tertawa lirih. "Aku rasa kamu salah mengajak adik mu berbicara mengenai wanita. Bahkan dulu, kalau saja Bunda tidak memaksa dia memakai baju perempuan, sampai saat ini mungkin dia akan bekerja memakai kemeja kotak-kotak nya itu," ujar Daniel pelan yang langsung membuat Manda terdiam di tempat nya. Daniel masih mengingat semua nya.

Agairana AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang