Kopi Di Tengah Hujan

29 0 0
                                    

"Seriusan, Ma?" Tanyaku dengan mengernyitkan alis. Mataku lurus menatap wajah Mama yang tengah asyik menyesap teh dengan wajah yang tenang seakan tidak mempermasalahkan apa yang baru saja beliau ucapkan.

"Serius. Waktu itu dianya yang minta foto kamu. Padahal waktu itu Mama lagi iseng saja nyelutuk ke dia kalau anak Mama masih ada yang single padahal sudah lumayan mapan, eh ternyata dia tertarik. Ya sudah, Mama kirimin aja foto kamu dan dia tertarik sekali begitu melihatmu..." Ujar Mama. Tangannya berpindah dari cangkir menuju piring berisi biskuit gandum kesukaan Mama. "...bahkan dia minta izin untuk minta nomor ponsel kamu. Ya sudah Mama kasih." Tambah Mama dengan santai.

"Terus gimana?" Tanyaku.

"Ya Mama sih terserah kamu saja, Rika. Mama rasa sih dia patut untuk diberikan kesempatan. Hanya yaa kembali lagi ke kamunya maunya gimana. Mama sih senang-senang aja tuh punya menantu kayak dia, sudah tampan, mapan, punya jabatan tinggi, baik, sopan, pokoknya idaman banget deh..." Ucap Mama. "Cuma ini kan masalah hati ya, Ka, jadi ya sekarang terserah kamu."

Aku terdiam, memperhatikan kepulan asap yang mengebul di atas cangkir kopiku. Aku begitu menyukai kopi yang suhunya cukup panas karena aku bisa menikmati aroma kopi yang harum sembari meniup kepulan asap dari kopiku. Berbeda dengan Mama yang lebih menyukai teh yang diseduh dengan air hangat. Kata Mama, teh yang enak adalah teh yang sudah selesai diseduh dan langsung diminum. Beda jenis teh juga beda waktu seduhan, dan Mama selalu menyesuaikan waktu seduhan teh berdasarkan jenisnya.

Kepulan asap masih menari-nari menyebarkan aroma kopi robusta yang harum, namun pikiran akan pertemuan dengan seseorang yang belum pernah kukenal sebelumnya membuatku lupa akan indahnya kepulan asap tersebut.

Mama meletakkan cangkir tehnya dengan anggun. "Jadi, bagaimana, Rika?" Tanya Mama dengan senyuman bijak khas Mama. Aku hanya bisa tersenyum singkat karena sejujurnya aku bingung. Bukankah ini kesempatan yang baik bagiku untuk melupakan Raka? Dengan bertemu orang lain?

Masalahnya, melupakan cinta yang sudah terpendam lama itu cukup sulit, ditambah orang yang dicintai itu mencintai kita juga. Ironisnya, walau saling mencintai, tapi tidak akan bersatu. Aku teringat lagu Tulus yang berjudul Sepatu, dan kini aku betul-betul merasakan setiap lirik itu seperti kisahku dan Raka.

"Rika?"

Aku tertegun dari lamunanku. Mama mulai menatapku dengan curiga, seakan mengetahui aku menyimpan sesuatu yang tidak bisa ku beritahu kepada Mama. Walau aku sudah mencintai Raka sejak lama, tapi aku belum pernah menceritakan kisahku ini ke Mama. Aku tidak ingin beban pikiran Mama bertambah, karena Mama tipikal yang sangat mengkhawatirkan suatu hal kecil.

Aku meraih cangkirku dan mulai menyesap setetes demi setetes kopi sembari menghirup aromanya. "Baiklah, Ma. Rika ingin mencoba bertemu orangnya." Ucapku sembari meletakkan kembali cangkir kopiku ke atas meja.

Mama tersenyum. "Ini nomor ponsel dan fotonya. Dicoba dulu kenalan dengannya, siapa tahu cocok." Ujar Mama dengan senyum mengembang. "Namanya Satria."

*****************************

Hujan masih turun dengan deras, untunglah Mama sudah pulang sebelum hujan turun, sehingga Mama tidak perlu kehujanan.

Aku masih duduk dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Aku masih sibuk meneliti foto seorang pria yang Mama berikan padaku.

Namanya Satria.

Memang benar ucapan Mama, dia sungguh tampan. Matanya berwarna coklat hazel, rambut hitam yang tertata rapi, bibir yang tipis, hidung mancung, dan mata yang bagaikan mata elang. Sepertinya dia peranakan asing, karena wajahnya tidak murni Indo.

Satu hal yang aku bingung, mengapa orang setampan dia ingin berkenalan denganku dan meminta nomor ponselku? Aku akui aku bukanlah tipikal wanita yang sangat cantik bak model. Tapi kenapa?

Aku berdiri dari bangku untuk membereskan sisa kopiku dan menikmati weekendku dengan tidur. Aku memang sudah kebal dengan kopi, sehingga sudah minum sebanyak apapun, aku tetap bisa tidur dengan pulas. Mama seringkali memarahiku karena katanya kopi tidak baik untuk lambungku. Tapi tob masih lebih baik aku menenggak kopi dibandingkan menenggak minuman alkohol seperti vodka layaknya kolega di kantorku. Aku memang sudah biasa ikut acara after-office seperti ke Dragonfly, namun disana tetap saja aku memesan cola. Beberapa teman memanggilku kolot, tapi aku tak perduli, toh ini untuk kesehatanku.

Ponselku berbunyi ketika aku tengah menyalakan keran air untuk mencuci gelas. Aku langsung menuju meja untuk meraih ponsel namun begitu melihat display callernya, aku mengurungkan niatku.

Lagi-lagi Raka.

Aku tidak mengerti. Kenapa dia begitu keukeuh menghubungiku?

Dan kenapa juga selama ini aku diamkan telpon darinya? Toh mau aku tak menjawab teleponnya ratusan kali tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia sudah beristri. Ditambah lagi, dia adalah rekan sedivisiku. Bisa saja ia menelpon untuk urusan kantor, bukan?

Sebelum iringan Rather Be berhenti, aku langsung meraih ponselku dan menekan tombol hijau.

"Halo." Jawabku singkat.
"Rika? Ini aku." Jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit lega. "Mengapa teleponku sedari kemarin tak kamu jawab?"
Aku berjalan menuju balkon, berusaha untuk tidak menangis sekaligus senang karena mendengar suaranya. "Maaf, dari kemarin gue lagi engga megang ponsel." Jawabku dingin, dengan mengubah kembali panggilan 'aku' menjadi 'gue'. Saat di Singapura, aku sempat ber-aku-kamu dengannya--sebelum aku mengetahui kenyataan bahwa ia sudah beristri.

"Rika, ada yang harus aku omongin ke kamu. Boleh tidak kamu buka pintu kamarmu?" Tanya Raka.

Aku tersentak kaget. Kenapa dia sudah di depan kamarku?!

Aku berlari menuju pintu dan sontak aku membuka pintu.

Ia berdiri, dengan tangan memegang ponsel, tersenyum walau seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Raka! Elo ngapain, sih?!" Ucapku kesal. Aku langsung menarik lengannya secara reflek dan menutup pintu. Aku langsung berlari menuju kamar mandi untuk mengambil handuk dari lemari.

Aku langsung mematikan AC ruangan dan sontak aku menarik dirinya agar aku bisa mengeringkan ia dengan hamduk. Layaknya bocah, rambutnya aku gosok dengan handuk dengan perasaan cemas luar biasa seperti ibu yang cemas pada anaknya. Sepertinya cemas Mama menurun kepadaku.

Raka hanya terdiam sambil duduk denga tenang. Tiba-tiba, tangannya yang dingin menyentuh pipiku, yang anehnya terasa sangat lembut walau dingin.

Entah kenapa aku tak bisa menolak ketika bibirnya bertemu dengan bibirku. Bibirnya yang dingin semakin lama terasa semakin hangat. Ia mulai menarik leherku dan aku reflek memeluk lehernya, dan lagi-lagi aku tidak bisa menolak. Jari jemariku mulai bermain di antara rambutnya yang basah. Aku membalas ciumannya dan aku sendiri menyadari ada kerinduan luar biasa yang kutumpahkan melalui pertemuan kedua bibir kami.

Aku menangis, tapi aku masih ingin menciumnya. Ya ampun, aku kenapa?
Deras hujan masih menemani kesunyian ruangan, namun kini yang kudengar hanyalah suara tarikan nafas Raka. Muncul keinginanku untuk tetap melanjutkan momen ini, namun aku teringat kenyataan pahit yang tidak bisa aku elakkan.

Aku pun menarik mundur kepalaku. Nafasku tersengal-sengal. "Kita engga bisa kayak gini, Ka." Ucapku sambil merengkuh wajah Raka dengan kedua telapak tanganku. Aku menatap matanya yang masih berbalut kacamata bingkai hitamnya dan langsung saja aku menangis.

"Rika..."
"Cukup, Ka. Cukup. Hati gue udah lelah memendam perasaan ke elo selama bertahun-tahun. Tapi gue rasa memendam perasaan bertahun-tahun lebih baik daripada gue harus menghadapi kenyataan ini." Ujarku dengan terisak.

Raka meraih kedua tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Air mataku semakin turun layaknya hujan hari ini. Tiba-tiba Raka mendekatkan bibirnya ke wajahku dan mulai menghapus air mataku dengan bibirnya. Hal itu ia lakukan terus hingga wajahku tidak ternodai lagi oleh air mata.

Kemudian, ia mengecup keningku dengan lembut. Kini mata kami saling bertaut. Aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun karena aku takut air mataku turun kembali.

"Rika, maukah kamu mendengarkan penjelasanku baik-baik?" Tanyanya sembari menatap mataku. Aku tak kuat menatap matanya sampai-sampai air mataku ingin turun lagi.

Dan dia kembali menciumku.
*****

The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang