Hermione dan Rahasianya

693 53 3
                                    

           GINNY hanya bisa mengelus pundak kurus milik Hermione, sudah hampir bermenit-menit Hermione menangis, dan ketika ditanya ia hanya menggelengkan kepala. Ini bukan seperti Hermione yang biasanya, entahlah apa yang merasuki fikiran gadis berambut ikal ini.





          "Kamu bisa mempercayakan semuanya kepadaku, 'Mione." ucap Ginny pelan, senyumnya mengembang lembut ketika Hermione mendongakkan kepalanya, matanya merah dan agak bengkak karena terlalu lama menangis, pipinya basah oleh air mata dan ia sesenggukan. "Nah sekarang minumlah dulu." Hermione meminum air putih yang diberikan oleh Ginny. "Lebih baik."





          "A– ku tidak tahu, Ginny." Hermione menggelengkan kepalanya keras, rambutnya yang mengembang lebar kini tampak berantakan, Ginny menghela nafas. Apa yang selama ini Hermione sembunyikan dari dirinya. "Dengar, ak– aku bukannya tidak mempercayaimu, Ginny hanya saja. Ini terlalu berat untuk kuucapkan. Kamu pasti akan marah kepadaku."



          "Apa ini semua karena Ron menyatakan perasaanya padamu, 'Mione?" tanya si bungsu Weasley itu, matanya menatap Hermione dengan pandangan tidak menyerah, Hermione menatapnya ragu, kemudian mengalihkan pandangan. "Hermione Granger, dengarkan aku. Ron pasti akan mengerti, mungkin ia hanya butuh waktu untuk menerimanya. Aku tahu, 'Mione, perasaanmu terhadap Ron sudah tidak seperti dulu, bukan salah Ron juga. Karena, mungkin, Merlin sudah menggariskan jalannya seperti ini."



             "Kamu tidak marah denganku?– Ginny menggeleng, tersenyum kepada Hermione– aku fikir kamu akan marah padaku, Ginny. Kamu tahu? ini berat untukku." Ginny menepuk-nepuk pundak Hermione, gadis ber iris coklat madu itu sudah tersenyum, walaupun penampilannya masih jauh dari kata seorang Granger. "Tapi, ini bukan sepenuhnya masalah Ron, Ginny. A– ada yang lain, dan aku mau kamu berjanji tidak akan mengintrupsi, terkejut, tertawa, bahkan marah. Bisakah kamu, Ginny?"



              Ginny terdiam, menatap Hermione sebentar kemudian mengangguk. Hermione sendiri menghela nafasnya, ia menurunkan pandangan, tidak sanggup akan melihat tatapan menilai dari kedua mata Ginny. "Aku dan Draco, berpacaran."




            Sekarang Ginny tahu.
[]
             "Kamu pergi, Drake?" suara bariton milik Blaise membuat Draco menoleh, menatapnya sebentar dengan pandangan dingin lalu kembali mengepak barang-barangnya. "Draco Malfoy, kamu tidak pernah diajari sopan santun apa bagaimana? aku sedang berbicara denganmu, dengan segala hormat keluarga Zabini, aku memintamu untuk menoleh."




            Draco menoleh, iris kelabunya menatap Blaise dengan tatapan tajam, tangannya terkepal erat di kedua sisi badannya. Draco beranjak mendekati Blaise yang tahu apa yang akan Draco lakukan. Dan benar, kepalan itu melayang begitu saja ke rahang tegas milik Blaise. "Apa maumu, Zabini? mentertawakan ku? mengatakan bahwa dunia bahwa Draco Malfoy kabur karena takut dibawa ke Azkaban? aku akui aku pengecut, Zabini. Kamu tidak perlu mengumumkan kepada seluruh Hogwarts, karena mereka tahu, mereka tahu aku Pelahap Maut!"




          "Lega?" Pertanyaan singkat Blaise membuat Draco menghempaskan tubuhnya di ranjang empuk miliknya, Blaise ikut duduk di sampingnya, rahang yang bekas Draco hajar terasa nyeri dan ia bisa merasa ada darah mengalir di sana, tapi untuk sekarang Blaise akan mengacuhkannya, perkara berdarah dan rasa nyeri sekarang sudah tidak terlalu penting. "Dengarkan aku, teman. Aku tahu beberapa bulan ini adalah bulan yang berat untukmu, apalagi setelah membaca tulisan sampah dari Daily Prophet. Kamu boleh menghajarku seperti Muggle hingga babak belur, Draco. Aku akan melawan kalau kamu butuh teman bertarung. Kamu boleh memantraiku seperti bagaimana harusnya kita, aku akan meladenimu jika kamu butuh teman berduel. Tapi, Draco, aku minta tolong padamu, jangan samakan aku dengan teman-temanmu, aku di sini Draco. Aku temanmu, aku tidak akan mengkhianatimu hanya karena tulisan sampah itu."




           Draco tidak menjawab, kepalanya tenggelam dalam kedua telapak tangannya yang bertaut membentu semuah genggaman, Blaise tahu, Draco paham. Draco merasakan sebuah usapan halus pada pundaknya, jika itu adalah Pansy cowok itu akan bersumpah berteriak untuk mengusir perempuan berambut hitam seperti ratu Mesir itu. Jika boleh, ia ingin Hermione sekarang, tapi mengingat kejadian kemarin sepertinya terlalu muluk untuk meminta perempuan itu datang kehadapannya, hanya sekedar untuk pelukan, yah, Draco membutuhkan itu.



           "Aku merindukanmu, Ferret." Draco mendongak seakan tidak percaya dengan pendengarannya, penglihatannya– pun nampak meragukan. Mata ber iris coklat madu itu tampak hangat menatapnya, wangi stroberi yang menyeruak dari gadis itu membuat dada Draco sesak, dirasakannya tepukan di pundak miliknya, Blaise beranjak dan menghilang dari balik pintu, Draco tahu, ini perbuatan Blaise. "Bagaimana perasaanmu, Draco?"



            Draco tidak menjawab, kalau-kalau perempuan di depannya ini hanyalah hasil dari ramuan Polijus, tapi entah Draco tahu, ia asli. Di depannya ini adalah Hermione Granger, gadisnya. Mata Hermione memandang dengan tatapan sedih, kecewa, marah, tapi yang paling mendominasi adalah rindu, matanya berkaca-kaca, cepat atau lambat buliran bening itu akan turun membasahi kedua pipinya yang memerah karena di tatap Draco. Hermione menarik, bagaimanapun keadaanya.



           "Jangan lakukan ini lagi, Draco." ucap Hermione pelan. Benar, bulir-bulir itu kembali berjatuhan, Draco hendak memeluknya tetapi Hermione berdiri. "Jangan mengacuhkanku, jangan membuatku seperti orang tidak berguna! kamu tidak tahu betapa beratnya ini untukku! kamu mengira aku akan meninggalkan mu, ya? kalau aku bisa sudah aku lakukan, Draco, bukannya menangis setiap malam karena tindakkan bodohmu! kamu tidak tahu seberapa perihnya hatiku melihatmu seperti ini! kenapa kamu tidak pernah mengerti, Draco? aku mencintaimu, apakah ini semua tidak cukup?"




            Draco tergugu, ia berdiri di hadapan Hermione. Tidak membuat gerakan sedikitpun, tangis Hermione semakin menyat hatinya, perempuan itu memeluk dirinya sendiri, menutup mulutnya agar tangisnya bisa terkendali. Draco melangkah maju, mendekati Hermione. Tangannya terjulur menarik Hermione ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menangis di pelukannya. "Jangan egois lagi, Draco. Aku tahu ini berat untukmu, betapa ucapan mereka menyakitimu, tapi tak pernahkah diriku terlintas difikiranmu? Aku sakit, Draco. Kalau aku bisa aku akan memantrai mereka yang mengejekmu. Aku tahu ini sulit, tapi kamu punya aku, punya Blaise, dan Theo kalau kamu mau menghitungnya."




            Draco tidak mengucapkan apapun, ia masih terlalu kaget karena Hermione, Blaise, semuanya terlalu tiba-tiba. Ia melepaskan pelukannya, wajahnya turun, menatap wajah Hermione yang tampak kacau karena air mata, anehnya ia tetap menawan di mata Draco. Bibir mereka sudah terpaut dalam hitungan detik, Draco menciumnya dengan kasar, menyalurkan semua emosinya dalam ciuman mereka, Hermione membalasnya dengan setimpal, ia rindu dengan pemuda di hadapannya ini, Hermione mengalungkan tangannya di leher Draco, berjinjit berusaha menyamai tinggi Draco.




            "Aku rasa aku tidak bisa hidup tanpa wangimu, Hermione." ucap Draco mendesis, kening mereka saling menempel, Hermione tersenyum, lalu kembali mencium bibir Pangeran Slytherin tersebut.

[]

17 Maret 2016

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Mar 17, 2016 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Magical Things; Dramione.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora