Ninth Cup: November Rain

61 4 2
                                    

Masaki's POV

Dia tertidur di pelukanku seperti biasa. Aku bangkit dengan perlahan agar tidak membangunkannya dan menuju kamar mandi.

☕☕☕☕

Seperti biasanya, aku duduk di bangku depan meja barista dan memperhatikannya membuat kopi. Dia melihatku.

"Kenapa memperhatikanku seperti itu?"

"Karena aku menyukainya."

Dia tertawa. "Daripada kau seperti itu terus. Mengapa tidak membuat dirimu sedikit berguna untukku?"

Aku mengerutkan dahi. Dia lalu menyerahkan nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring kue kering. "Tolong antarkan ini ke meja no.36."

Aku mengerutkan bibir. "Itu kan bukan pekerjaanku!" Protesku.

"Aku hanya memberdayakanmu saja. Daripada hanya duduk diam dengan senyum bodoh macam orang mesum begitu."

Wajahku memanas. Aku lalu berdiri dan mengangkat nampan itu.

Setelah selesai aku kembali. Dia tersenyum.

"Apalagi yang bisa kulakukan untukmu, tuan?"

"Tidak ada."

Aku menghela napas. Tiba-tiba terbersit sebuah ide di otakku. "Bagaimana kalau kau mengajariku membuat kopi?"

Dia tampak berpikir. "Kemarilah. Akan kuajari membuat yang paling dasar. Espresso atau moccachino."

Aku tersenyum lalu menuju ke belakang. Dia menyiapkan beberapa perlatan membuat kopi.

"Pertama, aku akan mengajarimu cara menyeduh kopi dengan tekanan tinggi. Mungkin agak sedikit rumit karena masih menggunakan alat tua."

"Baiklah."

Ia lalu memasukkan kopi yang telah digiling ke dalam sebuah wadah dan menuangkan air mendidih ke dalamnya lalu memasukkan kopi itu ke dalam ketel pemanas alat.

"Sekarang tinggal ditunggu sampai aroma uapnya keluar. Setelah itu kita akan menekan ampasnya dan menyaringnya supaya ampasnya tidak masuk."

Ketel pun berbunyi nyaring. Aroma kopi pun mulai menggelitik hidungku. Dia lalu mematikan pemanas itu dan mengeluarkan ketelnya. Uap panas bertebaran.

"Panasnya bahkan sampai kemari." Ucapku. Dia tersenyum.

"Mesin ini lumayan panas. 170°C. Kau harus berhati-hati jika tidak terbiasa menggunakannya. Kau bisa saja membuat luka bakar cukup serius di tanganmu." Jelasnya. Aku mengangguk.

Dia lalu menuangkan kopi itu ke sebuah alat penyaring ganda.

"Coba tekan alatnya sekarang."

Aku lalu menekan alat itu sekuat tenaga. Aku termundur menghindari muncratan kopi panas.

Dia tertawa. "Jangan ditekan terlalu kuat. Kopinya masih sangat panas. Untung saja tidak kena wajah. Kalau tidak wajahmu bisa melepuh."

Dia lalu membuang sisa kopi yang masih tertinggal dan membersihkan alatnya dan mengelap kering. Ia lalu menuangkan kopi panas itu ke dalam alat saring itu.

"Perhatikan. Cara yang benar seperti ini."

Dia menekan kopinya perlahan. Terlihat setetes demi setetes kopi mulai turun ke penampung di bawahnya. Aku memperhatikan dari dekat.

"Uwaahh...ampasnya tertinggal di atas."

Setelah selesai, ia lalu menyingkirkan alat saring di atasnya lalu menuangkan kopi itu ke cangkir.

A Cup of FeelingsWhere stories live. Discover now