[Ikhtiar untuk Mencari Solusi]
***
Java bukan seorang yang luar biasa tampan. Dia hanya lelaki dengan muka pas-pasan yang kadang menyimpan misteri dalam ekspresinya. Hanya kadang, karena nyatanya dia lebih suka mengekspresikan apa yang dia pikirkan secara bebas. Hal yang membuat dia cepat akrab dengan orang-orang di sekelilingnya.
Kalau tidak ingat ada aturan dalam Islam tentang batasan interaksi pria dan wanita, sudah pasti dia akan dengan mudah dekat dengan tiap wanita. Bukan kedekatan khusus tentu saja, hanya kedekatan biasa. Karena nyatanya, dia akan berubah sangat gugup pada orang yang dia kagumi.
"Gimana tadi urusan Lindung? Udah beres?"
Sore, setelah jam mengajarnya selesai, Java kembali mampir ke ruang komputer. Danang terlihat sibuk dengan komputer di hadapannya.
Danang melirik Java sekilas. "Udahlah, kan cuma edit sederhana aja buat menonjolkan rumahnya."
Java mengambil tempat di salah satu kursi murid. Dia tidak lagi mengeluarkan suara. Hanya mengamati Danang yang sibuk dengan pekerjaannya.
Danang yang merasa canggung dilihat intens oleh orang lain akhirnya menghentikan pekerjaannya."Kok tumben kamu belum pulang Sse?"
Isse, nama panggilan Java yang lain. Java memang mempersilakan teman-temannya untuk memilih, memanggil Java, atau Isse. Toh selain keduanya memang ada dalam namanya, keduanya juga lumayan enak didengar.
"Ya, nggak papalah, sekali kali nemenin kamu lembur."
Danang mencembik. "Elah, paling juga ada apa-apanya."
"Haha..."
Danang memang sangat sering lembur. Karena disamping tanggungjawabnya, dia juga bertindak sebagai sekretaris. Satu-satunya sekretaris yang dipunyai Yayasan Hati. Danang melakukannya secara sukarela, karena usahanya juga sudah dapat menghidupinya.
Kebanyakan orang yang terlibat di Yayasan Hati merupakan pengusaha, entah besar maupun kecil. Besar kecilnya usaha tidak menentukan keterlibatan pemilik. Seperti Danang, usahanya dalam bisnis distribusi kopi yang sudah besar tidak serta merta membuatnya sibuk. Dia memilih untuk menyerahkan pengelolaannya pada orang lain dan mengawasinya secara berkala dua mingguan.
"Emang ada apa?"
"Mau lihat rumah Lindung yang kamu upload tadi. Kali aja aku tertarik."
"Beh...tertarik sama rumahnya apa sama yang punya..."
Java memutar bola mata jengah. Menunjukkan rasa tidak senang karena digoda.
"Oke2, becanda Sse. Nih masih ada di komputer gambar dan alamatnya."
Java segera beranjak dari duduknya menuju meja kerja Danang. Dia melihat layar komputer dan harus meredam rasa campur aduk dalam dadanya.
Rumah itu...tidak seperti yang Java bayangkan. Dia pikir akan menemukan Rumah Sangat Sederhana Sekali di layar. Ternyata tidak. Rumah itu lebih dari layak. Luasnya? Java menyapukan pandangannya ke layar. Luas bangunan 120 meter, Luas tanah 150 meter. Bahkan masih ada sisa 30 meter untuk halaman. Letaknya juga tidak jauh dari pusat kota. Apa-apaan? Bukankah dia anak orang miskin?
"Kayaknya kamu nggak jadi tertarik ya Sse?"
Suara Danang megembalikan Java dari pikirannya yang berkelana. Ternyata dari tadi Java melihat komputer dengan dahi berkerut.
"Euh..aku ngiranya rumah dia bakal sederhana banget Nang. Kalau ini sih tabunganku masih jauh dari cukup."
Danang nyengir. "Iya kan? Aku tadi juga mikir gitu, tapi gak berani langsung tanya. Berasa ga etis, haha..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...