Pagi ini Maria terbangun di kamarnya, dengan deringan alarm yang memekakkan telinga seluruh umat manusia. Tiga alarm ia pasang berderet di atas meja kamarnya, dengan harapan kalau suaranya cukup untuk membangunkan gadis itu, namun tetap saja gagal. Sekeras apapun bunyinya, Maria masih terlelap di alam mimpi. Nyaris, kalau saja sang Ibunda tidak menjewer telinganya.
"Kamu ini sampai kapan sih bisa bangun sendiri? Gak sayang sama kupingmu, apa? Paling enggak pikirkan orang lain dong! Ribut banget bikin sakit kepala!"
"Maaaa! Sakit kan kupingku di jewer mulu?" Bibir Maria bersunggut, sementara kepalanya terombang-ambing karena jeweran sang Bunda.
"Biarin! Biar makin besar deh kuping kamu, jadi bisa denger alarmmu sendiri!"
Lagi-lagi paginya diawali dengan kegaduhan. Maria membuang selimutnya ke lantai dan berlari ke kamar mandi sebelum Sang Ibunda sempat menguliahinya lagi. Tapi belum lima menit, Maria sudah keluar dengan balutan handuk dan air yang menetes di sepanjang rambutnya. Kembali Sang Ibunda menceramahinya tentang betapa pentingnya mandi dengan bersih dan seharusnya ia bisa bangun lebih awal agar tak diburu waktu.
Maria bahkan tak menggubris apapun. Setelah mengenakan baju kerjanya, Ia hanya fokus pada hair dryer di sebelah tangan, lipstik di tangan satunya, dan kedua kaki yang meraba-raba ujung meja mencari sepatu.
Tiga menit kemudian Maria telah siap, ia berdiri di depan cermin sambil menyisir rambut dengan tangannya. Ia sangat bersyukur punya rambut yang tetap terlihat lurus alami meski tak disisir sama sekali, serta wajahnya yang baby face hingga tak butuh bedak apapun. Cukup lipstik dan eyeliner tipis yang ia butuhkan untuk tampil sempurna pagi ini. Toh ia masih kelihatan cantik tanpa perlu banyak make up.
"Mam, aku pergi." Maria berlari ke dapur, mencomot sepotong sandwich lalu berderap mencium sang Bunda.
"Kamu ini apa gak capek tiap pagi buru-buru gitu? Gak takut telat ngantor, apa?"
"Enggak," jawab Maria santai. Ia mengunyah sandwich-nya cepat sebelum menjawab lagi. "Makanya aku pilih kerja di dekat rumah, Mam. Jadi tinggal nyebrang, jalan dikit udah nyampe kantor."
"Iya, tapi mau sampai kapan?" Sang Bunda menarik napas panjang mendengar jawaban putrinya itu. Beliau mengerutkan kening dan melipat tangannya di dada. "Tahun ini kamu udah 26 tahun lho, dek. Jangankan bayi, calon suami aja enggak punya. Lah, pacar juga gak ada. Kapan lagi kamu mau cari pendamping? Mama ini udah tua lho, dek. Mbok ya kasih cucu, gitu? Kan Mama pengen juga liat gimana anak kamu nan—"
"Mam, aku pergi dulu!" Maria memotong ceramah Ibundanya sebelum harus bertengkar lagi. Ini sudah entah berapa ratus kalinya mereka bertengkar tentang tiga kata—pernikahan, suami, bayi. Dan Maria tidak cukup bodoh untuk memulainya lagi.
Tapi Sang Ibunda tidak mau menyerah. Masa depan putrinya tidak bisa dibiarkan terus tanpa titik terang. Tepat sebelum Maria melangkah melewati pintu, beliau mencengkeram lengan Maria hingga putrinya berbalik dengan mulut penuh sandwich dan pelipisnya yang mengernyit menatap bingung.
"Dengerin Mama dulu." ujar Sang Ibunda tegas. "Coba kamu kasih satu alasan masuk akal kenapa semua cowok yang ketemu kamu di acara perjodohan pada mutusin komunikasi sama kamu?"
Maria memutar bola matanya dramatis. Ia tahu Ibunya bisa lebih dari kepo kalau menyangkut dirinya. Kali ini dia harus punya jawaban yang memuaskan Ibunya atau ia terancam terlambat ke kantor.
"Mereka semua maunya itu yang aneh-aneh, Mam. Mau peluk-pelukan lah, mau gandengan tangan lah, trus mau tentuin tanggal nikah lah. Bukan salahku dong kalo aku nolak. Tapi toh mereka yang terlanjur sakit hati sama penolakanku ternyata mutusin untuk putus hubungan." Tidak semuanya bohong. Maria pernah mengalami hal-hal semacam itu dan memilih untuk tidak menceritakan apapun pada Ibu dan Tantenya, sebab ia tidak ingin mereka akhirnya tahu kalau selain menolak, Maria juga melayangkan beberapa jurus taekwondonya.
Sang Ibunda mengulum bibirnya ragu, sedikit tak percaya dengan apa yang dikatakan putrinya. Tapi tentu saja beliau tak bisa memastikan sendiri sebab semua pria-pria itu langsung menghilang bagai lenyap di telan bumi dan menolak untuk bertemu lagi satu hari setelah acara perjodohan.
"Terus yang bulan kemarin itu, sama Dimas yang katanya pengusaha tekstil itu gimana? Enggak ada kabar juga?" Masih terekam jelas di ingatan Sang Ibu ketika beliau menghubungi Dimas dan malah dibalas jawaban operator bahwa nomornya tidak aktif lagi.
Maria mengangkat bahu. "Dia udah punya pacar, Mam." Jawab Maria enteng. Nyaris benar. Kecuali fakta kalau Dimas memiliki pacar setelah insiden itu.
"Apa kita perlu ke orang pinter gitu ya dek? kok kayaknya kamu gak hoki dalam masalah asmara.."
Maria tertawa keras, mengabaikan kerutan rasa heran Sang Ibu dan menolak berhenti hingga ia terduduk karena tak bisa menarik napas. "Mam," ucapnya separuh geli. "Aku ga kerasukan, ngapain dibawa ke dukun sih? Udah deh, Mama mulai ngelantur nih. Baiknya Mama istirahat dulu, trus aku mau ngantor deh. Kalo enggak nanti telat lagi."
"Oke, oke, Mama bakal istirahat kalo kamu mau janji satu hal."
"Janji? Apaan Mam?" Maria menahan napas, ia sedikit tak suka dengan kata 'janji' yang dilontarkan Ibunya.
"Tantemu ngasi tau Mama kalo—"
"Mam! Ya ampun, please. Aku gak mau ketemu sama cowok-cowok aneh lagi—"
"Mama janji ini yang terakhir."
Ia masih tidak yakin, tapi benak Maria langsung berspekulasi ketika mendengar jawaban Ibunya. Kalau benar ini yang terakhir dan Maria berhasil menyingkirkan pria itu, maka hidupnya akan bebas.
"Janji ini yang terakhir? Kalo tetep gak sukses, Mama tetep gak akan nyuruh aku untuk ketemu cowok-cowok lagi atau nguber-nguber aku untuk cepet nikah, kan?"
"Janji. Pokoknya ini yang terakhir dan setelah itu terserah kamu mau jomblo setahun, dua tahun, atau jomblo selamanya. Kamu temui dia dulu dan nanti sisanya terserah sama kamu."
"Kalo gitu deal, Mam."
Sang Ibunda melihat perubahan wajah Maria yang penuh kelegaan. Ia agak tidak tega membayangkan putrinya harus hidup sendirian jika perjodohan ini juga gagal. tapi tak ada cara lain, bagaimana pun Maria harus menemui pria ini. Sebab firasatnya mengatakan sesuatu akan terjadi..
***
'Kalau ternyata Sang Pencipta telah memilihmu, apa yang bisa kulakukan selain menyerah pasrah?
Tidakkah kau tahu hidupku terasa hampa dalam penantian?'
![](https://img.wattpad.com/cover/66649556-288-k684344.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Guy Named Lucia
General FictionFaktanya adalah; Maria membenci ide pernikahan. "Pokoknya benci! Kenapa gue harus menikah sama seseorang yang enggak gue suka? Gue udah punya banyak kekasih di dunia fiksi dan gue gak butuh laki-laki!" Itu yang selalu ia percayai sebelum akhirnya...