27 | Tersembunyi

1.8K 116 18
                                    


 "Aku mencintaimu, Jo. Sejak dulu, sekarang dan selamanya. Engkaulah pahlawanku yang aku cari selama ini. Aku tahu mungkin ini terlalu mendadak, dan tidak masuk akal tapi ketahuilah. Aku memang bisa bicara dengan tanaman dan aku... aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa berharap banyak denganmu sekarang, aku menyadari akan hal itu. Setidaknya, aku ingin engkau tahu yang sebenarnya."

Cinta itu buta. Begitu kata orang. Buta hingga tak melihat apa yang pelakunya lakukan. Sekarang aku ingat Dina pernah berkata seperti itu. Ingatanku kembali kepada bagaimana dia berkata kepadaku tentang kemampuannya. Andai saja aku dulu tidak diberitahu oleh bapak bahwa diriku adalah seorang Geo Streamer. Mungkin sampai sekarang aku hanya akan terbengong-bengong melihat Aprilia bisa mengeluarkan api atau Dina yang bisa bicara dengan tanaman. Namun, semuanya memang nyata.

Kuambil nafas panjang. Di hadapanku adalah bekas bangunan House of Flower. Rumah kaca itu sekarang kosong. Hanya tersisa beberapa pot-pot dan tanaman-tanaman. Tak ada Dina. Tak ada Nyonya Hartati. Kemana mereka? Dari para tetangga aku baru tahu kalau Dina hanya punya seorang ibu. Ayahnya telah tiada sejak ia kecil. Memang Dina tak pernah bercerita tentang kehidupannya. Semuanya serba misterius. Mungkin Anton lebih tahu tentang Dina. Aku rasa sebaiknya aku mencari Anton.

Kutinggalkan House of Flower. Tempat yang penuh kenangan itu kini sepi. Tak ada tanda-tanda ada manusia. Bahkan rumah Dina juga tak terawat. Tanaman rambat terlihat di dinding rumahnya. Rerumputan di halaman rumahnya pun tak dipotong. Kupacu mobilku meninggalkan komplek perumahannya.

Sekarang ini Sheila berada di rumah bersama adikku. Dia memang aku minta untuk menemani Sheila yang sekarang ini sedang shock. Adelia sangat kaget ketika aku menceritakan kejadian bahwa kami melihat sesuatu mengerikan ketika ada acara pemotretan. Bahkan para wartawan pun mewawancarai kami. Aku yang maju untuk bicara, sementara istriku masih shock berat. Semua pertanyaan wartawan aku jawab seadanya, sesuai yang aku lihat. Dalam waktu seminggu saja, berita itu menjadi heboh. Bunuh diri masal. Begitu koran menyebutnya. Namun, apa yang sebenarnya terjadi aku lebih mengetahuinya.

Awan menggumpal. Sebentar lagi pasti turun hujan. Untuk menuju ke rumah Anton tidaklah jauh, lima menit kemudian aku suda memakirkan mobilku di depan rumahnya. Saat aku masuk ke pagar rumahnya seorang pria setengah baya tampak sedang berada di teras membaca koran sambil menikmati secangkir kopi yang tersaji di meja. Dia adalah Tuan Handoyo, ayahnya Anton.

"Pagi Om," sapaku.

Tuan Handoyo menurunkan kacamata silindernya dan mengamatiku. "Johan?"

"Iya om," jawabku. Segera aku menghampiri beliau sambil kucium tangannya. Dalam tradisi kami sebagai orang Jawa ada yang namanya unggah-ungguh atau menghormat kepada orang tua. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan bapak kepadaku tetap aku terapkan.

"Apa kabar?" beliau menyambutku dengan berdiri. Beliau menepuk pundakku. "Sudah lama sekali tak berjumpa."

"Baik om. Om sendiri sepertinya makin sehat," ucapku.

"Jangan menghina, om ini sudah tua. Makin banyak penyakit iya," kelakarnya. "Duduk! Anton masih om suruh menemai mamanya ke pasar."

Aku mengambil tempat duduk di kursi yang kosong.

"Mbook!?" panggil Tuan Handoyo ke pembatunya. "Bikinin kopi satu!"

Aku menyandarkan punggungku ke kursi rotan yang ada di teras ini. Ah, kursi rotan yang sama seperti yang ada di rumahku. Kursi ini mengingatkanku kepada bapak yang membelinya ketika baru pertama kali pindah ke rumah yang baru. Kursi rotan yang dibeli dengan diangkut memakai sepeda motor. Aku masih teringat bagaimana diriku duduk di sadel belakang membawanya. Saat itu aku masih kecil. Masih bermain bersama Anton menjadi Kapten Bumi.

Eine Tasse Kaffee und Regen | Kisah Secangkir Kopi dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang