Fiksi Mini - Tempat Terbaik

625 65 3
                                    

Genre: Low Fantasy
September 2015

===

Tidak ada yang benar-benar mati rasa. Tidak ada yang bisa membunuh rasa. Bedebah, persetan untuk orang-orang yang --enggan mengakui diri mereka lemah-- bersikeras rasa mereka sudah tiada. Lihat saja dirimu. Kamu bilang sudah tidak tahu rasa? Kalbu dan nuranimu padam? Lalu apa artinya bulir-bulir air di sepanjang pipi tirusmu?

Bah, bahkan tidak ada hujan di apartemen suram ini! Pun kamu tidak sedang mengiris bawang di dapurmu yang melembap. Kuberitahu, Master, kamu sangat menyedihkan. Tidakkah lucu, kondisimu sekarang?

Ingatkah kamu, dulu kita biasa menonton film-film setiap malam? Kamu berbaring di sofamu, berlindung di balik selimut tebal, sementara aku di atas meja, melirik bungkusan berondong jagung  yang tidak bisa kucicipi. Sekarang film-film membosankan dirimu. Hanya rekaman adegan tanpa makna yang bergerak tak beraturan, katamu. Dulu, kita sering mendengarkan lagu-lagu terkini; kamu berjingkrak dan bernyanyi mengikuti liriknya. Sekarang lagu-lagu membuatmu muak. Hanya komat-kamit tidak jelas, tambahmu.

Lalu kamu mulai sering menangis di atas ranjangmu; kadang senyap disembunyi-sembunyikan, kadang kencang sekali sampai histeris.

Kamu berhenti berkunjung ke rumah keluargamu, padahal letaknya tidak jauh: hanya beberapa blok dari apartemen mungil kita. Tidak boleh ada lebih dari seorang tak stabil di bawah satu atap, begitu dalihmu, dan kamu lelah bermain peran; memasang topeng yang tidak sesuai dipasang pada wajah demi menipu mereka yang masih mengasihimu.

Belum berakhir di situ: kamu berikan yang terbaik, kamu lakukan hampir apa saja, demi orang-orang yang kamu sebut teman-temanmu. Lihat sekarang! Mereka tetap saja pergi. Mereka tidak peduli terhadapmu. Kebersamaan kalian adalah kepura-puraan untuk suatu predikat fana.

Karirmu pun tersendat. Kamu berhenti mencipta karya. Tumpukan dolar di dompet dan daging tubuhmu kian menipis. Tagihan menumpuk di kotak surat. Sambungan listrik dicabut paksa. Dinding-dinding dan barang-barangmu dibiarkan berdebu, termasuk aku.

Apa yang telah dunia perbuat terhadapmu, Master, hingga kamu mendamba kubur sebagai tempat terbaikmu?

Sudah kubilang. Sudah kubilang setiap harinya, Master Ilex, tapi kamu tidak mendengarkanku. Tiga ratus tiga puluh satu kali aku sudah memberitahumu: itulah hidup!

Itulah hidup, Master tersayang, yang ibarat bianglala. Kadang kamu di atas dan kadang kamu di bawah. Namun kamu berlama-lama singgah di bawah, tanpa kamu sadari serangga tanah mulai menggerogotimu, dan kamu lupa cara menggerakkan sumbu bianglala yang kepalang aus.

Beruntunglah mereka yang berbahagia di atas penderitaanmu, mereka yang masa bodoh dengan tangismu. Biarlah mereka tertawa. Biarlah mereka bertanya-tanya di balik perhatian palsu mereka.

Begitupun ketika mereka bertanya, mengapa justru kamu mencipta sebentuk Gargoyle? Bila dari tangan dinginmu kamu bisa mencipta apa-apa yang indah? Bukannya Gargoyle buruk rupa memberengut sepertiku.

Tahukah kamu, tangan artismu yang pernah penuh gairah, penuh semangat, penuh gejolak dan hasrat: tangan yang menyusun setiap inci tubuh ini, adalah yang kurindu?

Kamu menciptaku dalam amarah, makanya mukaku amat seram hingga menyelipkan rasa takut kepada siapapun yang melihatku selain kamu dan Erys. Di balik rupa mengerikanku, aku adalah limpahan sebagian jiwamu, dan andai saja kamu tahu, aku ingin menghadiahkan kembali fragmen dirimu demi menghidupkan sorot matamu yang hampa.

Itu pula yang diharapkan oleh anak-anakmu yang lain:

patung-patung hewan –kegembiraan dan keceriaanmu,

ornamen-ornamen kristal –ketakutan dan kerapuhanmu,

lukisan-lukisan ingatan masa kecil –sisi lembut dan penyayangmu,

sketsa-sketsa tegas di pojokan kamar –keberanianmu,

bahkan onggokan lempung tanah yang belum usai kau bentuk –tekadmu yang melenyap.

Aku, hasrat dan amarahmu yang terpendam, hanya mewakili mereka.

Kamu belum mati, kuberitahu, asal kamu menggali lagi yang terkubur jauh, dalam-dalam, di suatu rongga pada relung jiwamu.

Jadi mengapa --kutanya tiga ratus tiga puluh satu kali-- kamu tetap biarkan hidupmu menjadi lelucon?

Akhirnya, untuk ketiga ratus tiga puluh dua kali, kubisiki dirimu yang terlelap dengan mata sembab: "Carilah rasa-rasamu yang hilang," seraya mengerling ke langit malam di luar, memastikan Dia --di suatu tempat di atas sana atau dimanapun-- turut mendengar ucapanku.

Entah kamu –atau Dia-- mendengarku atau tidak, esoknya sinar mentari merembes lebih terang melalui gorden jendela apartemen. Sembab di matamu lenyap dan aku menangkap sebuah rona samar pada pipimu yang biasanya pucat.

"Aku mau menemui Erys," katamu, memutuskan ingin keluar dari sarang kita setelah sekian lama. "Dan aku akan mencari tempat terbaik untuk kalian."

Setelah berucap demikian, kamu berpakaian pantas dan mulai mengemas kami, anak-anakmu, beserta barang-barangmu yang lain.

Silakan, balasku. Buang saja kami, bila itu membuatmu lebih baik. Pergilah, meski nama yang kamu sebut mungkin bukan solusimu. Lagi pula, bukankah hidup adalah taruhan atas pilihan-pilihanmu?

Pada hari entah (barangkali yang ketiga ratus lima puluh sembilan, aku lupa menghitung), aku mengawasimu dari atap katedral. Saudara-saudaraku juga mungkin sedang mengamatimu melalui jendela di tempat terbaik mereka masing-masing, sesuai keinginanmu. Di bawah sana, kamu sedang berjalan bersama Erys. Mulanya, kukira kebersamaan sesama eskapis yang belum lama saling mengenal bukan jawaban meyakinkan, namun nyatanya mukamu mencerah meski belum seperti sedia kala.

Maka, di kala lonceng berbunyi, aku panjatkan harap kepada Dia yang kamu sembah, agar ketika kupergoki kamu di persimpangan jalan lagi, senyummu mengembang karena telah menemukan rasa-rasamu yang hilang di tempat terbaikmu.

Lutalica (Cerpen+Puisi)Where stories live. Discover now