Jungkook, nyawaku hampir saja melayang.
Untung saja aku belum memakan pasta ini, jika saja iya, mungkin sudah kumuntahkan ke wajah Jungkook. Namun, bukannya dia tidak percaya kalau aku memang bukan pacar Taehyung oppa?
Taehyung oppa mendongak lalu menatap lurus mata Jungkook. Aku tak tahu apa dia sedang menyumpahiku dalam hati, tetapi kini dia melirik padaku. Aku gugup setengah mati,tak bisa melawan, tetapi akan kucoba.
"Jangan dengarkan dia, op─"
"Ani, dia adik kandungku." Dia menjawabnya ... sangat santai! Aigoo ..., imut sekali wajahnya.
Jungkook melirik ke arahku lalu menatapku dengan sangsi. Dasar-penipu.
Aku menjulurkan lidah ke arahnya kemudian melanjutkan makanku lagi. Rasa pasta ini terasa dua kali lebih nikmat karena dia membelikanku. Jarang sekali kakakku itu menraktir adiknya.
Walau, ada rasa sedikit kecewa ketika dia menganggapku hanya sebagai seorang adik. Itulah kenyataan, Taekyung.
"Lalu, kau temannya adikku?"
Kepalaku mendongak, melihat Taehyung oppa yang sedang menatap Jungkook. Se-sejak kapan dia sepenasaran itu? Jungkook membalas tatapan Taehyung kemudian mengangguk.
"Tenang, hyung, aku akan menjaga adikmu!" jawab pria di sebelahku lalu mengakiri perkataannya dengan kerlingan mata kepadaku. Huek ... mual sekali.
"Tidak perlu menjaganya, dia bisa jaga diri," ketus Taehyung oppa melanjutkan makannya. Nada bicaranya ... seperti orang cemburu.
Mataku terus menangkapnya, tidak bisa melepaskannya dari jaring mataku. Dia sangat berbeda hari ini.
"Kau cemburu, eoh?" goda Jimin menyikut lengan Taehyung oppa. Maksud Jimin hanya main-main saja, tetapi tampaknya Taehyung oppa sedang dilanda rasa bad-mood sehingga ia berdiri dan meninggalkan kantin.
Aku baru sekali melihatnya tersenyum dan itu sudah lama sekali.
Bolehkah aku mengejarnya dan bertanya ada apa dengan dirinya?
"Tidak usah, Taekyung." Namun, Jimin malah menahan lenganku sehingga tanganku yang diperban terlihat olehnya.
"Apa yang terjadi dengan tanganmu?!" tanya Jimin melihat keadaan tanganku yang kritis. Aku enggan menjawab karena pikiranku masih buntu oleh Taehyung oppa.
Aku ingin meninggalkan kantin lalu mengejarnya, tetapi saat aku hendak melakukannya, kedua pria yang tersisa masih mengharapkanku untuk tidak mengejar 'cinta haramku'.
Jimin menyuruhku untuk duduk di sampingnya lalu lagi-lagi dia membelai kepalaku seperti adik kecil. "Sudahlah, makan saja dulu baru kau tanyakan padanya saat pulang," kata Jimin menyodor mangkuk pastaku. Namun, hatiku masih gundah.
Aku mengangguk dan memakan sisa pasta dengan tidak semangat karena mengkhawatirkan kakakku yang tiada hari tanpa rasa bad-mood. Perkataan Jimin ada benarnya, terkadang mereka (orang-orang yang sedang bad-mood) butuh waktu sendiri untuk merenungi masalahnya.
Menghabiskan pasta kesukaanku dengan hambar. Padahal, rasanya tadi sangat melezatkan, tetapi berubah drastis ketika aku melihatnya bad-mood. Pastaku tetap saja habis, tetapi seperti tidak terisi dalam perutku.
"Kook." tiba-tiba mulutku ingin memanggil nama itu.
"Ne?" sahut pria di depanku dengan sisa saus di sekitar mulut. Kau tahu jika aku benci hal-hal yang menjijikkan, sehingga aku memberi selembar tisu pada anak idiot di depanku.
Dia menyengir sambil membersihkan mulutnya, lalu menggaruk tangan kanannya yang terlihat banyak bercak merah. Selama dia bukan Taehyung oppa, aku tak peduli
"Aku ingin kembali ke kelas," ucapku lesu.
"Kajja!" kepalaku mengangguk dan turut berdiri untuk segera kembali ke kelas. Jungkook berada di belakangku lalu mendorong tubuhku. Jimin berpesan pada anak idiot di belakangku untuk menjagaku layak aku ini adalah sebuah barang.
Hari ini adalah hari nano-nano. Berbagai macam rasa bercampur hari ini. Diawali berangkat bersama Taehyung oppa, berteman dengan anak idiot, mendapat ujian dadakan, dihukum keluar karena anak idiot itu lagi, tanganku terluka, bertabrakan dengan Taehyung oppa, Taehyung oppa mengikutiku, Dia menraktirku dan Jungkook, merasa nyaman ketika Jungkook di sisiku, dan Taehyung oppa meninggalkan meja kantin karena mood-nya yang labil. Kujelaskan hari ini dengan sangat padat.
Namun, mataku diganggu oleh pemandangan tidak enak di sisiku. Jungkook terus menggaruk dua jari-telunjuk dan tengah--dan sekarang bukan hanya bercak lagi, melainkan bentolan.
"Ya! Kenapa tanganmu seperti melepuh begitu?!" tanyaku memandang intens setiap sudut tangan kanannya-apalagi kedua jarinya. Namun, dia malah menjawab tanpa khawatir.
"Mungkin digigit serangga." Astaga ... aku tahu gejala itu. Pertama kali aku memegang ulat, tanganku juga seperti itu.
Aku tidak peduli siapa yang akan berutang sekarang, tetapi tangan Jungkook membuat mataku panas. "Ikut aku!" seruku berjalan duluan darinya. Tepat, dia mengejarku tanpa bertanya apa pun.
"Kenapa kau kurang kerjaan sekali, sih, megang ulat segala," ketusku kesal padanya yang telah membuatku repot.
"Ada ulat di atas kepala ulat." Dia menjawabnya dengan nada suara yang dibuat-buat, terkesan seperti anak balita baru belajar berbicara.
"Aku sedang tidak bercanda," tuturku memutar kedua bola mataku. Kemudian, dia meniru ucapanku tadi.
"Ya!" aku berhenti dan berbalik menghadapnya. Dia turut berhenti dan ikut menatapku.
"Aku sedang menolongmu, tetapi kau malah berterima kasih padaku dengan cara menjengkelkan!" aku mengoceh kesal padanya di tengah jalan, koridor ini perlahan sepi karena ini adalah lorong loker.
"Impas." Namun, anak di depanku malah menjawab hal yang tidak ada nyambungnya dengan pembicaraan tadi.
Aku mengernyit bingung lalu dia menjelaskan sesuatu yang membuatku salah paham. "Aku menyelamatkanmu karena ada ulat di atas kepalamu tadi."
Diam. Aku tak tahu soal itu. Kupikir dia hanya iseng mengambil ulat dari sebuah tumbuhan-aku juga tidak tahu di mana ada tumbuhan di sekitar meja tadi-lalu dia menunjukkannya padaku. Haruskah aku mengucapkan kata itu?
Tapi, sudah impas, berarti tidak perlu. Aku berbalik lalu berjalan menuju tempat yang sedang kupikirkan.
Ruangan unit kesehatan sekolah adalah tujuanku, tempatnya tidak jauh dari kelasku sehingga aku mudah mengingatnya. Ini dia unit kesehatannya, aku segera masuk dan melihat sekitar.
"Shella!" panggilku menggema pada ruangan itu. Keadaan ruangan terlihat tak berpenghuni, tetapi lampu menyala.
"Ada apa, ulat?" Jungkook di belakangku penasaran sehingga kepalanya muncul di balik pintu. Aku menggeleng sembari membalikkan tubuh menghadapnya, memikirkan mengenai tangannya.
"Taekyung!" aigo ... suara si gadis merah!
Sontak aku memutar tubuhku kembali dan melihat betapa berantakannya gadis berambut merah dengan jas putih khas dokter. Dia menyengir lalu mengikat rambutnya yang berwarna sangat mencolok. Entah dari mana dirinya muncul, tetapi dia sudah berada di hadapanku.