Jendela Baru

11 1 0
                                    

GELAP. Suasana kamar di pagi hari. Namun, beberapa sinar mentari mencoba menerobos masuk secara perlahan.

Ku tepis helaian kain hangat. Sembari membereskan tempat berebah. suara pancaran air terdengar merdu. Membasuh wajah kaku sisa malam tadi.

Pertengkaran tadi malam membuatku gusar. Hingga wajah Mina merah padam. Lagi-lagi itu perbuatan Corni. Membuat seisi rumah membuncah akibat ulahnya.

Semua orang di rumah ini tidak ada yang mengerti dengan jalan pikiran Corni. Mina biasanya tidak serius. Malam tadi tiba-tiba berubah derastis. aku hilir mudik sibuk membersekan piring-piring sisa makan malam, sambil mengoceh ke arah anak laki-laki berambut pirang itu. Sementara Mina hanya duduk diam sambil menahan mual, karena melihat aku memarahi Corni.

Tak ubahnya seperti anak ayam yang dierami induknya. Laki-laki berambut pirang itu hanya duduk diam sambil meringsut diatas sofa. Menghadap ke jendela taman. Suara hujan rintik-rintik di luar. Seperti menghapus semua ocehan yang ku tujukkan padanya.

Mina akhirnya pergi dan tubuhnya menghilang dibalik pintu kamar.

***

Cahaya matahari masuk dan menerangi seisi rumah. Wajah Mina pagi ini kembali sejuk. Seperti sediakala. Ia siap-siap berkemas pergi menuju bakrey, tempat ia bekerja.

"Hati-hati Mina" aku menyapanya secara tidak langsung.

"Baik Dilah," pungkasnya dengan tatapan senyum manis.

"Eh, tidak duduk untuk sarapan dulu?,"

"Sudah. aku menyiapkan roti panggang di atas meja makan. Tinggal kau dan Corni saja yang belum mengisi perut,"

"Oh. Terimakasih. Bicara soal Corni. Dimana dia sekarang?,"

"Masih tetap duduk di atas sofa. Menghadap ke jendela luar," Mina menjawab dengan wajah tertunduk. 

Lantas, dengan reaksi Mina seperti itu, aku tersentak. Mungkin aku salah dalam mengajukkan pertanyaan.

"Ngomong-ngomong soal tadi malam. aku minta maaf Mina. Mungkin. sebaiknya aku bisa lebih mengendalikan emosiku," dengan cemas aku menunggu jawaban Mina sambil meremas baju piamaku.

"Sudahlah... kita lupakan kejadian tadi malam," wajah mina kembali terangkat dengan senyuman teduhnya. Dan itu membuatku bernafas lega.

Di sisi lain. Laki-laki berambut pirang itu tetap meringsut dan memeluk bantal sofa dengan tatapan kosong.

"Sudahlah... Maafkan aku. Sebaiknya kita makan. Mina telah menyiapkan roti panggang untuk sarapan," ujarku. Tapi Corni seperti tidak menghiraukan ajakan ini.

Kubawa dua helai roti panggang dengan selai stowbery dan segelas susu hangat buatan Mina. Ku sajikan diatas menja sofa. Berharap Corni mau menyantapnya.

"ayo. Makanlah. Sudah dua hari ini kau tidak makan,"

Si rambut pirang itu tetap tidak menghiraukan bujukkanku itu.

"Jika kita bertanya kepada semua penduduk bumi. Siapa yang ingin ditinggalkan orang tercinta?. Pasti tak ada satupun jari manusia yang mengacung ke udara. aku, Mina, dan kau Corni. Tak menginginkan insiden kecelakaan lima tahun lalu terjadi. apalagi sampai menjemput nyawa ibu dan bapak. Sungguh aku dan Mina pun tidak menginginkannya," ku buka pembicaraan tenang dengan adik bungsuku.

Ia tetap termangu.

"Mina kakak sulungmu. Menyimpan perih begitu dalam. Namun, apalah dayanya. Ia bukanlah penjaga dan pemegang nyawa ibu dan bapak. ia menjadi tulang punggung keluarga. Dan rela melepaskan masa perkuliahannya yang tinggal satu semester lagi. Demi menghidupi aku dan kau Corni," Mata Corni Mulai memerah. Jari-jemarinya meremas bantal yang dipeluknya.

Sejak insiden kecelakaan lima tahun lalu, yang merenggut nyawa ibu dan bapak itu terjadi. Corni mulai berubah. Ia menjadi anak pendiam. Makan hanya beberapakali dalam seminggu. Prilakunya kadang aneh. Terlebih saat emosinya tidak terkendali. Ia seperti srigala yang meraung. Banteng yang mengamuk. Membuat apa yang ada disekitarnya terancam tidak aman. Termasuk mengancam nyawanya sendiri. 

Untunglah sang sulung Mina. Begitu sabar dan telaten. Tapi kesabarannya itu, bisa membuat dirinya terluka saat emosi Corni sedang labil.  aku sempat menegur sikap Mina. Tapi ia mengatakan.

"Luka hati Corni lebih dalam dan lebih parah. Daripada sayatan keramik yang ia layangkan ke arahku," jawab Mina. Jawaban itu membuatku tertegun dan tidak bisa menimbal. Itulah Mina. Si sulung berwajah dan berhati teduh.

Usia Corni yang menginjak anak-anak menuju remaja ini. Tentu sedang labil. Ditambah insiden yang ia alami lima tahun lalu. Meski ia seorang anak laki-laki. Perasaannya sangat lembut. Kenangan bersama ayah dan ibu membuatnya seringkali terdiam tiba-tiba. apalagi insiden itu terjadi sepulang perayaan ulang tahun Corni yang ke-10 tahun.

Hampir setengah jam aku menemani Corni menatap jendela luar. Tanpa kata. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan yang kubawa. aku kembali membuka perbincangan.

"Coba kau tatap lamat-lamat jendela biru kamarku," Corni melihatnya, meski dengan tatapan lemah.

"Ia akan terbuka kapanpun aku mau. Dan akan tertutup kapanpun aku mau menutupnya. Karena akulah pemilik kamar itu,"

"Begitupun Dia sang pemilik nyawa. Pemilik nyawa kau, aku, Mina, ibu dan bapak. Kapanpun ia bisa mengambilnya. Meski daun-daun maple yang berada di pinggirnya menginginkan jendela itu terbuka, agar oksigen yang dihasilkannya bisa masuk ke kamarku dengan bebasnya. apalah daya daun maple itu," mata Corni semakin berkantung. Menahan air mata yang tak lama lagi akan jatuh.

"Ialah Sang Perkasa. Yang membuat Musa bisa menghidupkan kembali orang yang mati. Itu adalah Mukjizat yang dimiliki Musa," tambahku.

"Jangan buat Mina marah. Karena kau melukai dirimu sendiri. Sudah saatnya kau berfikir lebih maju daripada teman-teman lain seusiamu. Meski begitu, bukan berarti kau selalu mengucilkan diri seperti ini. Hingga lima tahun lamanya. Tidak bergaul dengan yang lainnya. Meski berbeda. Cobalah mengenali mereka. Buat jendela baru dalam hidupmu," Wajah Corni terangkat dan lamat-lamat air matanya mulai menetes.

"Kepergian ibu dan bapak. Bukan akhir dari hidupmu. Meski jerih menjalaninya cobalah buka jendela baru. Biarkan udara segar masuk untuk menyejukkan ruangan dalam hatimu. Biarkan cahaya matahari masuk dan menerangi ruangan gelap dalam hatimu. Sebelum daun maple itu berguguran,"
Percakan itu terhenti dengan sendirinya. aku lekas mengambil handuk dan madi. Sementara Corni. Mulai meraih roti panggang yang ku suguhkan.

Bersambung...

Autumn On StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang