Chapter 1: Mark Curtis

272 80 7
                                    

Pagi ini aku terbangun paksa oleh suara alarm yang telah berdering mengusik telingaku. Kuingat kembali mimpi yang kualami tadi malam. Mimpi yang cukup panjang dan masih mimpi yang sama dengan yang kualami belakangan ini. Mark Curtis. Pria yang belakangan ini mengganggu tidurku dan selalu menghantui pikiranku. Aku tak tahu kenapa aku selalu memimpikannya dan setiap kehadirannya di dalam mimpiku, dia adalah seseorang yang menjadi penyelamatku.

Bodoh. Hal ini jelas salah. Dia sama sekali tak mengenalku -- kurasa begitu -- dan aku mengenalnya hanya melalui perusahaan tempatku bekerja. Dia adalah keponakan dari boss-ku sendiri, Direktur Jorge Wilshire. Lebih jelasnya dia adalah anak dari adik perempuan Tn. Wilshire.

Kuakui memang aku cukup mengaguminya. Kunjungannya ke kantor yang terbilang cukup sering membuatku tak jarang melihat keberadaannya dan tanpa kusadari rasa kagumku muncul terhadapnya. Dia lelaki yang penuh wibawa dengan selera yang cukup berkelas. Tak sekalipun penampilannya luput dari pandangan kagum orang-orang yang melihatnya. Dia adalah tipe pria yang layak dipuja. Aku takkan heran jika mendengar dia memiliki kekasih yang sama berkelas seperti dirinya.

Oh tidak. Kenapa pagi ini aku malah melamun dan memikirkannya? Aku tak sudi menjadi seorang pengagum rahasia. Mengagumi seseorang yang bahkan tak mengenalku itu konyol. Aku tak mau seperti itu. Lagi pula aku sendiri sudah punya Axel, calon tunanganku. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan hubungan ini. Kami sama sekali tak menjalin hubungan kekasih, karena dia menganggap itu tak begitu penting dan memutuskan untuk melangsungkan pertunangan secepatnya sebagai tanda keseriusannya.

Aku merentangkan kedua tanganku untuk mengumpulkan tenaga yang belum sepenuhnya pulih ke dalam tubuhku. Tidurku nyenyak. Namun tidak dengan mimpiku. Hal itu membuatku kehilangan energi yang lumayan banyak selama semalaman.

Aku keluar dari kamar dan kulihat ibuku masih memasak untuk sarapan pagi. Aku sering merasa kasihan padanya dan adik perempuanku, Catherine yang tinggal berdua saja di rumah ini. Aku datang mengunjungi mereka hanya di saat aku punya waktu saja. Tapi tidak masalah. Karena walaupun demikian, mereka juga cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ibuku seorang dokter anak, sementara adikku seorang siswa salah satu sekolah di kota ini dan mengikuti banyak kegiatan kesiswaan dari sekolahnya. Kesibukan mereka membuat mereka tidak begitu kesepian dan jenuh, sehingga akupun tak perlu begitu khawatir.

"Pagi, Mom," aku menyapa ibu yang sedang mengoleskan selai kacang ke sepotong roti.

"Pagi, Sayang. Kau lapar?" ibuku tersenyum cerah.

"Ya. Sangat."

"Bagus. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu. Kau ke kantor hari ini?"

"Ya, tentu. Hari ini hari Senin. Sejujurnya aku sangat malas, Mom. Aku masih ingin banyak tidur."

"Kau kelelahan. Apa kau tidak bisa izin cuti saja hari ini?"

"Oh tidak, Mom. Hari ini akan ada rapat penting dan aku tak bisa mengabaikannya. Sepertinya hari Minggu tak cukup menjadi hari buatku beristirahat penuh." kataku sambil meraup mukaku yang kusam.

Bagaimana akan cukup? Enam hari penuh bekerja dan satu hari beristirahat rasanya belum seimbang bagiku. Sebenarnya aku sangat membenci pekerjaan ini, tapi pekerjaan inilah yang menopang kebutuhan hidupku. Mau tak mau aku harus betah menjalaninya.

Menanggapiku, ibu hanya tersenyum dan mengepalkan tangan kanannya untuk memberiku semangat. "Tetap kuat." katanya sambil berlalu ke westafel.

"Pagi, semuanya." Catherine muncul dengan penampilan yang telah rapi dan modis dan langsung melahap sereal yang telah disiapkan ibu.

Kami sama sekali tidak mirip sebagai kakak-beradik. Rambutnya yang pirang cerah sangat kontras dibandingkan rambutku yang lebih gelap dan lebih kecoklatan. Matanya juga biru cerah, sementara mataku biru gelap. Di usianya yang masih 17 tahun, dia telah mengetahui banyak hal tentang merias wajah, sementara aku yang berusia lebih tua, 21 tahun, yang bahkan seorang model lebih sering tampil sederhana dan apa adanya. Sikapnya juga menyenangkan dan mudah bergaul. Dia sangat suka mengobrol panjang-lebar dengan orang-orang dekatnya, sementara aku lebih sering diam, namun bukan berarti aku seorang pendiam. Aku hanya tak suka berbasa-basi dengan orang untuk alasan yang tak penting, sehingga aku lebih memilih diam dan bersikap tenang sebagaimana mestinya.

Kamu akan menyukai ini

          

"Quin, kau tak bekerja hari ini?" tanyanya padaku sambil mengunyah serealnya.

"Bekerja. Aku pergi agak siang nanti. Aku masih lelah."

"Kau tidak dijemput Axel?"

"Tidak. Aku bisa pergi sendiri."

"Ugh. Kau ini. Apa salahnya meminta dia menjemputmu? Dia kan calon tunanganmu."

Dasar gadis ini. Semenjak dia tahu Axel mengajakku bertunangan, dia jadi lebih sering menuntut sikap tanggung jawab dari Axel terhadapku. Aku mengapresiasinya, karena dia cukup perduli padaku. Hanya saja, ya, hal itu membuatnya jadi lebih berisik.

"Aku tahu. Tapi aku tak mau jadi anak manja. Lagi pula jarak dari Manhattan ke sini hampir memakan dua jam dan dia pasti sibuk dengan pekerjaannya. Aku tak mau merepotkan dia." well, hanya itu yang bisa kujawab padanya. Mengingat akhir-akhir ini aku sudah agak jarang berkomunikasi langsung dengan Axel.

"Yaya. Kalian sesama pasangan workaholic." balasnya sambil memutar bola matanya.

***

"Mom, aku mau berangkat!" suaraku memenuhi seisi rumah saat aku turun dari kamarku dan mendapati ibu tidak ada di ruang tengah dan dapur.

"Ya, Sayang. Aku di sini. Tunggu sebentar!" kudengar ibu membalas dari arah taman belakang rumah dengan suara yang tak kalah keras. "Hei, kau sudah mau pergi?" kini dia telah muncul di hadapanku.

"Ya, Mom. Aku harus cepat. Aku tidak mau ketinggalan kereta lagi seperti dua minggu yang lalu."

"Ya, baiklah. Apa kau sudah membawa bekal yang kusiapkan tadi?"

"Sudah."

"Ponselmu. Kau sudah membawanya?"

"Sudah."

"Syalmu di mana? Kenapa kau tak memakainya?"

"Mom, ini bukan musim dingin. Aku akan baik-baik saja. Aku harus berangkat sekarang." kataku terburu-buru seusai mengaitkan tali yang ada di sepatu flat-ku.

"Hati-hati di perjalanan, Sayang."

Kulihat wajah ibu. Wajahnya tak pernah terlihat tak khawatir setiap kali melepasku pergi seperti ini. Jujur saja hal itu selalu membuatku sedih dan entah mengapa aku jadi merasakan sesuatu yang kelam dan kelabu, tapi aku tak tahu apa itu pastinya. Seperti sesuatu hal menyedihkan yang akan segera kualami, tapi tak tahu kapan.

"Baiklah, Mom. Aku pergi dulu. Kau juga hati-hati. Aku menyayangimu." aku memeluk ibu dan mencium pipinya lekas. Lalu aku menyandang tas kerjaku dan ia mengantarkanku sampai ke pintu gerbang.

Ibu tak pernah mengantarku ke stasiun kereta tiap aku kembali ke Manhattan. Bukan karena tak mau, tapi karena aku sendiri yang melarangnya. Jarak stasiun kereta dari rumah kami sangat dekat, jadi menurutku ibu tak perlu membuang tenaganya hanya sekadar mengantarku begini. Dulunya aku biasa datang berkunjung dengan mobil, tapi kecelakaan yang pernah kualami di perjalanan pulang membuatku trauma untuk kembali berkunjung dengan mobil. Kecuali di Manhattan, pergi ke manapun aku selalu memilih naik mobil, karena hal itu akan lebih mengirit waktuku ketimbang harus naik kereta dan menyesuaikan jadwal terlebih dahulu.

***

Perjalanan yang kutempuh dari Bronxville ke Manhattan dengan kereta tadi memakan waktu satu jam lebih, ditambah perjalananku dengan taksi dari stasiun ke kantor, keseluruhannya hampir memakan waktu dua jam. Sekarang aku sudah berada di kantor dan menyaksikan karyawan dan tamu perusahaan yang berlalu-lalang mengerjakan urusannya masing-masing. Aku melangkah menuju meja front office untuk menyapa Nicole yang merupakan teman akrabku di sini. Ya, kami cukup dekat meskipun kami berada di departemen yang berbeda.

Cold In BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang