Pagi ini aku terbangun paksa oleh suara alarm yang telah berdering mengusik telingaku. Kuingat kembali mimpi yang kualami tadi malam. Mimpi yang cukup panjang dan masih mimpi yang sama dengan yang kualami belakangan ini. Mark Curtis. Pria yang belakangan ini mengganggu tidurku dan selalu menghantui pikiranku. Aku tak tahu kenapa aku selalu memimpikannya dan setiap kehadirannya di dalam mimpiku, dia adalah seseorang yang menjadi penyelamatku.
Bodoh. Hal ini jelas salah. Dia sama sekali tak mengenalku -- kurasa begitu -- dan aku mengenalnya hanya melalui perusahaan tempatku bekerja. Dia adalah keponakan dari boss-ku sendiri, Direktur Jorge Wilshire. Lebih jelasnya dia adalah anak dari adik perempuan Tn. Wilshire.
Kuakui memang aku cukup mengaguminya. Kunjungannya ke kantor yang terbilang cukup sering membuatku tak jarang melihat keberadaannya dan tanpa kusadari rasa kagumku muncul terhadapnya. Dia lelaki yang penuh wibawa dengan selera yang cukup berkelas. Tak sekalipun penampilannya luput dari pandangan kagum orang-orang yang melihatnya. Dia adalah tipe pria yang layak dipuja. Aku takkan heran jika mendengar dia memiliki kekasih yang sama berkelas seperti dirinya.
Oh tidak. Kenapa pagi ini aku malah melamun dan memikirkannya? Aku tak sudi menjadi seorang pengagum rahasia. Mengagumi seseorang yang bahkan tak mengenalku itu konyol. Aku tak mau seperti itu. Lagi pula aku sendiri sudah punya Axel, calon tunanganku. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan hubungan ini. Kami sama sekali tak menjalin hubungan kekasih, karena dia menganggap itu tak begitu penting dan memutuskan untuk melangsungkan pertunangan secepatnya sebagai tanda keseriusannya.
Aku merentangkan kedua tanganku untuk mengumpulkan tenaga yang belum sepenuhnya pulih ke dalam tubuhku. Tidurku nyenyak. Namun tidak dengan mimpiku. Hal itu membuatku kehilangan energi yang lumayan banyak selama semalaman.
Aku keluar dari kamar dan kulihat ibuku masih memasak untuk sarapan pagi. Aku sering merasa kasihan padanya dan adik perempuanku, Catherine yang tinggal berdua saja di rumah ini. Aku datang mengunjungi mereka hanya di saat aku punya waktu saja. Tapi tidak masalah. Karena walaupun demikian, mereka juga cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ibuku seorang dokter anak, sementara adikku seorang siswa salah satu sekolah di kota ini dan mengikuti banyak kegiatan kesiswaan dari sekolahnya. Kesibukan mereka membuat mereka tidak begitu kesepian dan jenuh, sehingga akupun tak perlu begitu khawatir.
"Pagi, Mom," aku menyapa ibu yang sedang mengoleskan selai kacang ke sepotong roti.
"Pagi, Sayang. Kau lapar?" ibuku tersenyum cerah.
"Ya. Sangat."
"Bagus. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu. Kau ke kantor hari ini?"
"Ya, tentu. Hari ini hari Senin. Sejujurnya aku sangat malas, Mom. Aku masih ingin banyak tidur."
"Kau kelelahan. Apa kau tidak bisa izin cuti saja hari ini?"
"Oh tidak, Mom. Hari ini akan ada rapat penting dan aku tak bisa mengabaikannya. Sepertinya hari Minggu tak cukup menjadi hari buatku beristirahat penuh." kataku sambil meraup mukaku yang kusam.
Bagaimana akan cukup? Enam hari penuh bekerja dan satu hari beristirahat rasanya belum seimbang bagiku. Sebenarnya aku sangat membenci pekerjaan ini, tapi pekerjaan inilah yang menopang kebutuhan hidupku. Mau tak mau aku harus betah menjalaninya.
Menanggapiku, ibu hanya tersenyum dan mengepalkan tangan kanannya untuk memberiku semangat. "Tetap kuat." katanya sambil berlalu ke westafel.
"Pagi, semuanya." Catherine muncul dengan penampilan yang telah rapi dan modis dan langsung melahap sereal yang telah disiapkan ibu.
Kami sama sekali tidak mirip sebagai kakak-beradik. Rambutnya yang pirang cerah sangat kontras dibandingkan rambutku yang lebih gelap dan lebih kecoklatan. Matanya juga biru cerah, sementara mataku biru gelap. Di usianya yang masih 17 tahun, dia telah mengetahui banyak hal tentang merias wajah, sementara aku yang berusia lebih tua, 21 tahun, yang bahkan seorang model lebih sering tampil sederhana dan apa adanya. Sikapnya juga menyenangkan dan mudah bergaul. Dia sangat suka mengobrol panjang-lebar dengan orang-orang dekatnya, sementara aku lebih sering diam, namun bukan berarti aku seorang pendiam. Aku hanya tak suka berbasa-basi dengan orang untuk alasan yang tak penting, sehingga aku lebih memilih diam dan bersikap tenang sebagaimana mestinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold In Black
RomancePROLOG Aku terus berlari hingga aku tak lagi merasakan lelah di kedua kakiku. Hutan gelap ini menjadi tempat pelarian yang harusnya pantas kulalui. Napasku terengah-engah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melenyapkan diriku dari kejarannya. Dia mas...