Hingga Fajar Kemudian (Until Dawn) Pt.1

10 1 1
                                    

Tasya duduk menatap ke luar jendela restoran Cina langganannya. Tangannya memangku dagu. Matanya yang gelap nyaris tidak berkedip. Pandangannya menembus dinding kaca, jauh ke seberang jalan sepi di pinggiran kota Stockholm.


Malam itu awal bulan November. Hujan turun sangat deras, mengguyur gedung-gedung tua dan jalan-jalan kecil, meski tanpa ditemani gelegar halilintar. Orang-orang nekat berlarian di luar restoran, dengan jas hujan ataupun payung-payung beragam ukuran. Awalnya Tasya merasa heran, namun kemudian otaknya menemukan pembenaran atas apa yang sedang diamatinya. Mereka pasti sedang berusaha menepati janji. Karena jika tidak, mereka pasti enggan harus basah kuyup oleh air yang dinginnya seperti es.


Dan hal itu pasti juga sedang dilakukan oleh Dean, pikir Tasya. Dia sudah menunggu kekasihnya sejak tadi. Dua jam lamanya duduk di dalam restoran kecil yang ramai pelanggan, dan tidak memesan apa-apa selain semangkok kecil teh herbal yang biasanya diberikan secara cuma-cuma.


Tasya kembali mencari pembenaran akan apa yang sedang dilakukannya. Dean pasti tengah berusaha menghindar dari perintah-perintah pimpinan, mencari celah keluar dari pintu gerbang kantornya, memburu taksi yang semakin jarang di kala hujan, atau sekadar berlari seperti para pejalan kaki itu beberapa blok dari restoran, tempat Tasya menunggu.


Namun dia sadar, Dean sudah terlalu lama. Apakah kekasihnya itu akan ingkar pada janjinya?


"Maaf, Nona. Apakah nona sudah mau memesan makanan?"


Suara itu menyentak kesadaran Tasya. Dia menoleh, mendapati seorang gadis kaukasia berambut pirang berdiri di sampingnya dengan pakaian mandarin yang kekecilan. "Oh, maafkan aku. Tapi pacarku akan segera datang. Tunggulah sebentar lagi."


"Aku bisa lihat itu, Nona." Gadis pelayan itu membungkuk, mengecilkan suaranya hingga nyaris berbisik di tengah keramaian. "Tapi, kau tahu. Bosku, Pak Wang. Dia tidak suka jika ada satu kursi kosong di jam-jam kerjaku, sementara aku bisa mengisinya dengan sekumpulan sapi yang kelaparan." Gadis itu tersenyum.


Tasya ingin sekali membelalakkan matanya selebar-lebarnya mendengar kata-kata kasar semacam itu keluar dari salah satu karyawan Pak Wang yang terhormat. Nama restoran Lan Tian-e sangatlah terkenal dengan keramahan layanan dan masakannya yang lezat. Jika didengar orang asing, maka ucapan gadis pelayan ini bisa meruntuhkan dua puluh tahun kerja keras Pak Wang menjadi debu dengan seketika.


"Kurasa tidak. Aku mengenal Pak Wang dengan baik. Percayalah, kau tidak akan dimarahi atau semacam itu darinya," kata Tasya, menahan diri mati-matian untuk tidak ikut-ikutan berkata setajam belati pembunuh bayaran.


"Benarkah?"


Di benak Tasya si gadis pelayan itu seperti berkata, "Oh, ya? Dan aku juga kenal dengan ratu Wilhelmina dari Belanda, lho," dengan tatapan merendahkan di balik raut wajah terkejut yang dibuat-buat. Dan dia yakin tebakannya itu seratus persen benar.


"Ya," jawab Tasya, dan mengumpat dirinya dalam hati karena dengan bodoh tidak menyiram pelayan itu dengan air teh miliknya. Namun tentu saja jika dia melakukannya, maka itu berarti dirinya lebih bodoh dari sekarang.


"Tapi Nona—"


"Hei, pelayan. Apa kau tidak dengar apa katanya?"


Suara rendah wanita itu memotong kalimat gadis pelayan. Beberapa orang di sekitar Tasya menoleh ke arah pintu masuk. Tasya mengikutinya, dan mendapati seorang perempuan berbaju beludru merah berjalan layaknya model di atas catwalk ke arah mejanya.


"Nina?"


"Tunggu, Tasya. Omonganku dengan pelayan ini belum selesai." Nina menarik pundak si gadis pelayan itu dengan kasar. "Dengarkan aku, anak baru. Oh, kau pasti anak baru. Karena kau tidak tahu kalau Pak Wang sudah menganggap temanku ini sebagai anaknya sendiri. Kalau kau tidak percaya, pergilah ke ruangan beliau dan amati satu per satu semua foto yang ada di sana. Dan kau tahu, jika dia tahu sekarang kau berbuat ulah dengan temanku ini, jelas kau akan dipecat besok pagi. Mengerti? Sekarang, enyahlah!"


"Nina!" Tasya berdiri dan menarik Nina menjauh dari si gadis pelayan. Orang-orang di sekitarnya mulai memandang dengan tidak bersahabat. Jelas saja, siapa juga yang suka acara makan malamnya dirusak oleh orang asing, pikirnya. "Kau, kembalilah ke meja yang lain. Pak Wang tidak akan memecatmu. Percayalah," katanya kemudian pada gadis pelayan yang akhirnya beranjak pergi.


"Kau sekali-kali harus bersikap tegas pada orang-orang seperti mereka, Tasya."


"Nina! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Tasya, mengabaikan ucapan temannya itu.


"Oh, ya. Aku ke sini untuk membawamu pulang. Dean tidak akan datang, di luar hujan, dan kau pasti tidak membawa kendaraan."


"Apa?"


Nina menelengkan kepala ke balik pundak Tasya. "Ah, kau juga belum memesan apa-apa. Ayo, kita pulang."


Dalam keadaan bingung Tasya tidak bisa menahan cengkeraman Nina yang sekuat elang menarik lengannya. Tubuhnya diseret sepanjang lorong meja-meja restoran seperti anak kecil.

"Tunggu, Nina. Bagaimana kau tahu Dean tidak akan datang?"


"Bagaimana aku tahu? Oh, dia menelepon asistenku. Dia bilang kau pasti ada di sini."


"Asistenmu? Claire?"


"Ya, siapa lagi?"


"Tapi,"


Tasya tidak sempat melanjutkan pertanyaannya karena saat itu dia sudah berada di balik pintu, dan Nina membukanya setelah menyambar payung dari tangan seorang penjaga. Suara orang-orang di dalam restoran sontak tertelan oleh deru hujan. Tasya cukup terkejut ketika dia bisa mendengar Nina mengeluh setelah melebarkan payung, "Oh, aku benci hujan. Mereka selalu berhasil membuat sepatuku basah," sebelum kembali diseret oleh perempuan berkulit pualam itu menuju mobil merah di tepi jalan.


Tidak lama kemudian Tasya sudah melesat di atas jalan aspal basah dengan kendaraan mewah buatan Jerman.


****

Hingga Fajar KemudianHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin