3. Karna Kau Mengganggu

82 31 13
                                    

Clarita POV

Aku mematut diriku sendiri dicermin. Aku sedikit terkejut dengan apa yang kulihat dihadapanku kini. Wajah kusam, kantung mata yang terlihat jelas, bibir pucat, bisa kau bayangkan betapa hancurnya penampilanku kini.

Entah berapa lama aku terbengong didepan cermin sampai sebuah ketukan dari luar pintu kamarku terdengar. Suara kak Ryrin yang begitu nyaring menyuruhku untuk bangun. Aku menjawabnya membuktikan bahwa aku sudah bangun sedari tadi. Tapi aku tetap tidak bergerak. Entah mengapa, untuk saat ini aku lebih tertarik mengamati wajahku.

Untuk ke sekian kalinya aku melirik jam weker yang berada di nakas.
"Astaga! Sudah setengah 7?!" Dengan panik aku segera berlari masuk ke kamar mandi. Sialnya, kakiku tergelincir. Aku terjatuh dengan pantat yang mendarat lebih dulu di lantai. Kurang sial apalagi aku ini?

Hanya butuh waktu 10 menit untukku mandi. Ini rekor tercepatku, ternyata efek dari kakiku yang sakit sangat berpengaruh dengan kecepatan mandiku.

Setelah seragamku sudah terpasang rapi dan tanpa cela di tubuh rampingku, aku segera duduk di depan meja riasku dan mulai berdandan. Biasanya aku pergi kesekolah hanya berbedak--itupun dengan bedak baby--tapi kali ini aku memoleskan concealer di sekitar bawah mataku agar kantung mataku bisa tersamarkan, lalu kupoleskan lagi dengan bedak.
Kantung mataku kini sudah tersamarkan. Sekarang tinggal memoleskan lipbalm tipis dibibirku agar tidak pucat. Sempurna. Aku siap berangkat ke sekolah sekarang.

Semalam aku tidak bisa tidur. Pikiranku masih berkutat tentang apa alasan Remy memutuskan hubungannya denganku. Aku tak mengerti, selama ini aku berusaha menunjukkan yang terbaik yang bisa kulakukan untuknya, tapi tetap saja itu semua belum cukup untuknya. Selalu ada celah untuknya mencari kesalahanku.
Hari ini, aku memutuskan untuk menuntaskan rasa penasaranku. Aku ingin mengklarifikasi semuanya.

Aku berlari sekuat yang aku bisa. Kalau tidak berlari aku bisa terlambat masuk pelajaran pertama hari ini. Pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran sejarah. Aku tidak suka sejarah, tapi aku lebih tidak menyukai gurunya. Bu Sisil adalah guru paling kiler di sekolahku yang mengajar pelajaran yang paling membosankan. Benar-benar paket komplit.

Aku memasuki kelas dengan tergesa-gesa. Kelas masih ribut dan sepertinya Bu Sisil belum masuk ke kelas. Aku beranjak dari tempat dudukku, berniat untuk ke toilet.

"Erlyn, nanti kalau Bu Sisil masuk, bilangin kalau gue ke toilet, ya," kataku pada Erlyn teman semejaku.

Aku segera berjalan ke toilet hendak buang air kecil, dan merapikan rambutku yang berantakan akibat berlari tadi.

Setelah hajatku tersampaikan, aku berjalan menuju kelasku dengan santai. Saat aku melewati koridor kelas dua belas, kulihat ada dua orang yang sepertinya sedang berantam. Aku segera mendekati mereka saat kuyakin aku mengenal sosok yang sedang berantam itu.

"Remy!" ucapku, tapi dia tidak mengacuhkanku. Dia masih bersikukuh menghabisi lawannya yang sepertinya adik kelas kami.

"REMY!!" Teriakku lebih keras. Berhasil! Dia berhenti memukuli adik kelas itu dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Namun belum sempat dia menjawab sapaanku--atau setidaknya membalas perkataanku--si adik kelas itu memukul wajah Remy kuat. Aku sedikit tersentak dengan apa yang kulihat. Dan mereka kembali beradu jotos dihadapanku.

"Hei, udah! Stop!" aku mengambil posisi diantara Remy dan adik kelas itu untuk menghentikan perkelahian mereka.

"Apa sih mau lo? Cepat menyingkir!" Katanya kasar. Meski aku sudah sering mendengar kata-kata kasarnya, tetap saja perkataannya tadi membuatku terkejut.

"Remy, kenapa lo berantam sama dia?" Tanyaku berusaha tetap tenang.

"Urusannya sama lo apa? Minggir sana! Jangan coba-coba campuri urusan gue!"

          

"Gue cuma nggak mau lo kena masalah lagi Remy. Ini sudah yang kesekian kalinya. Gimana kalau sampai orang tua lo dipanggil?" Ini memang benar. Remy sudah terlalu sering membuat masalah di sekolah. Bagaimana aku tahu? Karena aku pernah menjalin hubungan dengannya. Sedikit banyak aku tahu tabiatnya dan latar belakang hidupnya.

"Nggak usah sok peduli sama gue." Aku heran melihatnya. Aku tidak pernah sok peduli. Aku benar-benar peduli dengannya. Tapi mengapa dia selalu berpikiran buruk tentangku? Apa yang membuatnya begitu membenciku?

Kulihat dia sedang memandangi adik kelas yang menjadi lawannya tadi dengan tatapan tajam dan mengintimidasi.

"Urusan kita belum selesai. Lo beruntung, karena cewek ini menghalangi gue untuk buat lo masuk rumah sakit hari ini," katanya sakartis. Lalu pergi meninggalkan kami berdua.

Aku memandangi wajah adik kelas yang sudah babak belur akibat perkelahiannya dengan Remy tadi. Aku ingat wajah ini. Dia yang kemarin menemukanku sedang menangis di uks.

Merasa tak enak hati, aku membawanya ke uks untuk mengobati lukanya.

Dia duduk di pinggir ranjang uks, sementara aku menyiapkan antiseptik dan kapas untuk mengobati lukanya. Dengan perlahan aku mengoleskan antiseptik di lukanya agar dia tidak kesakitan. Sesekali dia meringis karena perih.

"Kemarin gue di sini buat menenangkan lo yang lagi nangis, sekarang lo disini buat ngobatin luka gue. Kita semacam simbiosis mutualisme gitu yah" katanya panjang lebar, membuatku sedikit kesusahan mengobati lukanya.

"Kayaknya lo perhatian banget ke dia, sampe nggak pengen dia kena masalah gitu," katanya lagi. Oke fix aku kesal dengannya. Bukannya diam karena dia lagi diobati, malah nyerocos kepoin urusan orang. Tanpa sadar kutekan kapas yang sedang kupegang ke lukanya.

"Aw, perih. Pelan-pelan aja kenapa, sih?" Tanyanya protes.

"Ya, habisnya lo brisik sih, nggak bisa diam. Ketekan, kan jadinya?"

"Iya deh, gue diam" setelah berkata itu dia merealisasikan ucapannya. Dia diam, namun pandangan matanya tidak pernah beralih dari wajahku. Aku gugup. Aku berusaha sekuat mungkin untuk fokus pada lukanya. Entah mengapa aku enggan menatap matanya.

Selesai. Aku mengangkat tanganku, menjauhkan kapas yang tadi kugunakan untuk membersihkan lukanya, namun dia menghentikanku. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Aku langsung melihat kearahnya. Pandangan mata kami bertemu. Tanpa sadar aku menahan napasku. Aku seolah tenggelam oleh pandangannya, tanpa bisa beralih.

"Tarik napas, sebelum lo kehabisan oksigen" katanya tiba-tiba membuatku terkejut. Aku segera memalingkan wajah dan diam-diam menarik napas. Perlahan ia melepaskan tanganku.

Setelah lebih rileks, aku segera mengembalikan kapas dan antiseptik yang tadi kugunakan ke dalam kotak P3K, lalu beranjak pergi menuju kelasku. Mampus! Aku lupa aku sudah terlalu lama meninggalkan kelas.

Setibanya di kelas aku langsung duduk dibangkuku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.

Kelasku begitu heboh. Sebagian cewek-cewek duduk di depan kelas membentuk lingkaran. Aku yakin mereka sedang menggosip atau sedang main truth or dare.

Sementara cowok-cowok dikelasku lebih heboh lagi. Ada yang membuat grup band dadakan. Satu orang bermain gitar sementara sisanya menjadi vokalis, dengan suara yang berbagai macam namun tidak enak di dengar. Ada juga yang membuka warnet dadakan, mereka membuka laptop masing-masing, bermain game dan saling berteriak serta mengejek.
Ada juga yang bermain bola dari gulungan kertas ~sungguh kekanak kanakan~

Lalu ada juga yang berkumpul untuk berdiskusi. Entah bagaimana mereka bisa berdiskusi di antara kelas yang ribut ini, tapi intinya suasana kelas yang seperti ini membuktikan bahwa Bu Sisil tidak hadir hari ini.

Mau tidak mau aku tersenyum sendiri, setidaknya aku bisa terbebas dari pelajaran sejarah. Aku mendatangi kelompok diskusi di kelasku mencoba membuktikan spekulasiku.

Ternyata memang Bu Sisil berhalangan datang, dan yang lebih membahagiakan adalah dia tidak meninggalkan tugas apapun. Mendengar itu aku dengan semangat keluar kelas dan berjalan menuju perpustakaan.

Tempat favoritku adalah perpustakaan. Perpustakaan sekolahku adalah perpustakaan terlengkap yang ku tahu. Di sana ada banyak buku, baik buku pelajaran, ensiklopedia, kamus, komik, sampai majalah dan novel. Hal ini yang membuatku betah berada di perpustakaan, aku bisa membaca novel yang ingin kubaca tanpa harus membelinya di toko buku, meskipun begitu aku juga suka mengoleksi novel remaja.

Aku mengambil novel yang sejak kemarin aku incar, namun belum sempat ku baca. Aku membawa buku itu ke ruang VIP di perpustakaan sekolah. Ruang Vip biasanya digunakan untuk ruang belajar olimpiade. Di ruang ini juga pertama kali aku bertemu dengan Jeremy.

Aku membuka ruang VIP dan terkejut dengan apa yang kulihat. Remy ada di sana, sepertinya ia mau membersihkan lukanya.

"Lo membolos lagi?" tanyaku to the poin.

"Bukan urusan lo. Mending sekarang lo keluar daripada nanti gue ketahuan membolos ke sini" jawabnya dingin. Tapi bukannya menuruti kata-katanya, aku justru mendekatinya. Aku sedikit prihatin melihat lukanya. Pasti itu perih sekali.

"Sini biar gue obatin luka lo" kataku lagi. Aku mengambil kapas yang ada ditangannya, mencelupkan kapas ke cairan antiseptik, dan mengolesi lukanya dengan lembut. Wajah kami sungguh dekat.

Aku selalu menyukai saat-saat berdua dengannya. Aku hanya tidak mengerti, mengapa dia senang sekali melukai dirinya sendiri. Mengapa dia sulit sekali mengontrol emosinya. Mengapa dia selalu bertengkar.

"Kenapa lo berantam lagi? Lo nggak bosan, ya berhubungan sama guru BK? Lo mau dikeluarin dari klub taekwondo?" Tanyaku penasaran. Aku tahu sifatku yang selalu kepo ini sering membuatnya jengkel.

"Gue lebih senang berhubungan dengan guru BK daripada berhubungan dengan lo"

Aku terkejut mendengar jawabannya. Apakah aku begitu menganggu dirinya? Mengapa dia begitu membenciku? Apa aku pernah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkannya?

"Apa itu alasan lo mutusin gue?" Oh, tidak. Aku tidak sanggup mendengar jawabannya. Aku yakin jawabannya juga tak kalah menyakitkan, tapi aku ingin semua ini segera diluruskan.

"Gue udah pernah bilang kan sama lo, kalau gue nggak suka urusan gue dicampuri orang lain" jawabannya sama sekali tidak memuaskanku.

"Apa selama ini gue terlalu mencampuri urusan lo?" Aku ingin jawaban yang masuk akal. Jawabannya sama sekali tidak bisa kuterima.

Aku menunggu dia menjawab, entah apa yang di pikirkannya. Lama aku menunggu tapi dia tak kunjung menjawab.

"Kalau diam berarti iya. Sorry yah, kalau selama ini gue terlalu mencampuri urusan lo. Mulai sekarang gue nggak akan mencampuri urusan lo lagi."

Senyap. Kami berdua sama-sama diam. Cukup! Kalau memang dia tidak ingin aku mengganggunya, aku tidak akan mengganggunya lagi. Sudah cukup, jika selama ini aku mengusik hidupnya, maka mulai sekarang aku tidak akan berbicara dengannya lagi.

Air mataku tidak dapat ku bendung lagi. Rasanya sakit sekali saat aku benar-benar tidak dibutuhkan. Rasanya perih saat tahu aku tidak di inginkan. Rasanya pedih saat tahu bahwa aku sama sekali tidak diharapkan.

Kurasakan tangan kirinya terulur memegang bahuku, dan tangan kanannya mencoba mengangkat wajahku. Aku tak sanggup jika dia harus melihat kelemahanku. Selama ini aku berusaha menutupi kesedihanku, karena aku tahu itu akan membuatnya merasa bersalah. Tapi sekarang aku sadar, Remy memang tidak punya hati.

Aku menepis tangannya, dan berlari keluar ruangan meninggalkannya sendiri di sana.

-bersambung-

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vomment ya, makasih.

Anarika, 30-08-2016

ReadOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz