5.

91 19 4
                                    

Arloji hijau ku terus berdetak menyuarakan detik-detik yang sudah kulalui sendiri disini.

Aku terus memutar sendok yang ada didalam secangkir kopi. Mereka menyebutnya americano, salah satu favoritku.

Satu jam sudah aku menghabiskan pandanganku keluar jendela, melihat daun-daun yang jatuh di sore ini dari lantai dua.

Jika pemilik cafe memiliki kebijakan untuk mengusir pelanggan yang berdiam paling lama, tentu akulah orangnya.

Harusnya Millen bersamaku saat ini, ia menyukai cafe ini terutama Latte nya. Ya, aku mengetahuinya. Waktu itu kami baru bergabung kedalam tim teater di sekolah, Mr. Paul mengajak kami semua untuk berkumpul di cafe ini untuk sekedar berbincang, berkenalan dengan sesama anggota baru, dan sharing agar lebih mengenal satu sama lain. Ia memesan Latte dilanjuti dengan senyum andalannya, dingin dan menusuk. Pertemananku dengan Millen berlanjut semenjak hari itu.

Entah bagaimana tanggapan oranglain.
Kau tahu? kaum Millendra sangat tidak menyukaiku. Kenapa ku sebut mereka kaum, karena benar-benar banyak! Bayangkan saja jika kau dimusuhi hampir 60% perempuan disekolahmu.

Kaum itu semakin hari semakin 'ganas' terhadapku. Dulunya yang hanya menyindirku lewat akun-akun sampahnya kini mulai berani terang-terangan.

Tetapi aku tidak ambil pusing, justru idola merekalah yang selalu ada disampingku. Akulah gadis yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Millen.

Tetapi dimana lelaki itu sekarang? Berulang kali otakku berseru. Sebab hari ini ia tidak masuk sekolah.

Yang aku ingat tadi pagi Clark tergesa-gesa menemui Mr. Paul, mereka berbincang diujung koridor begitu aku melewatinya. Sepintas aku mendengar mereka menyebut Millen. Entah percakapan apa yang mereka berdua lakukan, nalarku menerka bahwa ini berkaitan dengan Millen.

Aku ragu, antara mengkhawatirkannya atau merindukannya. Atau keduanya.

Kuberanikan merogoh ponsel disaku kananku, mencoba menghubungi lelaki itu. Tapi tidak, kurasa itu terlalu berlebihan.

Aku mulai mengetik pesan singkat.
Kesha : Hai Millen, bagaimana harimu? Kuharap baik, tetapi hari ini aku tidak melihatmu disekolah. (delete).

Kesha : Hai Millen, kau sedang apa? Dimana? Hari ini aku tidak semangat latihan karena kau tidak masuk sekolah. (delete)

Kesha : Hai, apa kabar? (sent).

Spontan aku mengigit ujung telunjukku, tanpa menunggu lama Millen langsung membalas pesanku.

Millen : Hai sha. Miss me, don't you?

Kesha : Umm, not at all.

Bodoh, Kesha! batinku.

Millen : Aku sudah memberitahu Mr. Paul hari ini aku tidak masuk sekolah.

Kesha : Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?

15 menit berlalu, tidak ada balasan pesan singkat dari Millen. Dia mencoba mengabaikan ku atau bagaimana?
Ah sudahlah, baiklah ia mengurus dirinya sendiri. Aku tidak perlu banyak mengetahui apa yang terjadi dengannya.

Aku masih hanyut dengan aroma americano-ku. Berusaha mengeluarkan lelaki ini dari pikiranku. Beberapa pasangan belia sibuk meneguk minumannya, sejenak mataku melirik mereka bercumbu. Tidak tahu malu! pikir ku.

Ku arahkan bola mataku, sekali lagi.

Tidak.

Kali ini aku tidak sedang memperhatikan bibir mereka yang saling berpanggutan.

Tepat dibelakang mereka, sebuah bangunan berlantai dua dengan tembok berwarna coklat menarik perhatianku di luar jendela.

Be-a-en-de-ef-e-e

Aku mencoba mengejanya sekali lagi.

Benar saja, itu bangunan yang dimaksud mama. Bandfee!

Billy!

Pikiranku beralih menuju teman kecilku itu. Apa aku dapat menemukannya?

Secepat kilat aku mendatangi bangunan itu, meninggalkan americano yang masih mengeluarkan uap panas.

Peluk Aku Hingga FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang