Chapter 8

1.2K 50 5
                                    


Sudah lebih dari sepuluh menit aku menunggu di depan kampus, tapi Marcel tak kunjung muncul. Entah sudah ke berapa kalinya aku mengecek ponselku, tapi tetap tak ada pemberitahuan apa-apa. Sempat terpikir olehku bahwa mungkin Marcel lupa dengan janji kami. Konyol sekali rasanya berpikiran begitu mengingat ini adalah ide Marcel.

Aku mengecek ponselku sekali lagi. Sudah pukul 15.17 dan lingkungan kampus sudah lumayan sepi. Tanpa kurencanakan, jari-jariku mencari nomor Marcel. Tapi kuhentikan jariku sebelum menekan tombol hijau-- siapa tahu Marcel sedang sibuk dan aku malah akan mengganggunya. Kusimpan lagi ponselku ke saku.

Saat itu juga, sebuah mobil merah berhenti di depanku. Detik berikutnya, kaca di sisi penumpang diturunkan, dan kulihat Eric-lah yang duduk di kursi pengemudi.

"Naiklah, aku akan mengantarmu." ujarnya cuek, seperti biasa.

"Tidak, terima kasih." balasku otomatis.

"Ayolah, jangan buang waktuku." kata Eric jengah.

"Kalau begitu pergilah, aku juga tidak memintamu datang." tukasku kesal.

Kulihat Eric memutar mata. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya aku mendengar ia bergumam merepotkan.

"Memangnya kau mau menunggu Marcel sampai kapan?" tanyanya saat sudah berdiri di hadapanku.

"Bukan urusanmu." kataku, mencoba terdengar cuek.

Eric mendesah. "Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, jadi kita percepat saja-- Marcel memintaku untuk pulang bersamamu. Jadi jangan salah sangka kalau aku tiba-tiba menawarkan tumpangan."

Memangnya siapa yang salah sangka?!

"Kenapa Marcel menyuruhmu? Memang dia ke mana?"

"Dia sedang sibuk-- dan aku juga, jadi bisakah kita pergi sekarang?"

"Pergilah! Aku akan menunggu Marcel saja." ujarku.

Eric menggertakkan gigi, tampak kesal. "Berhentilah keras kepala! Kau hanya mempersulit keadaan."

"Aku tidak mempersulit keadaan. Kau saja yang mempersulit dirimu sendiri." balasku sewot. "Sudah kubilang aku tidak mau pulang denganmu."

Untuk sesaat kukira Eric akan membentakku, tapi kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya-- kentara sekali sedang berusaha menjaga kesabaran.

Kurasakan ponselku bergetar di saku dan aku buru-buru meraihnya. Nama Marcel tertera di layar dan kelegaan merayapiku saat itu juga. Kuangkat telepon dari Marcel, berusaha mengabaikan kehadiran Eric di sana.

"Alice, kau masih di kampus?" tanya Marcel dari seberang, suaranya terdengar buru-buru.

"Eh, iya..."

"Apakah Eric sudah datang? Aku memintanya untuk menjemputmu supaya kau tidak terlalu lama menungguku. Aku masih harus menemui profesorku setelah ini, tapi aku akan segera pulang begitu selesai. Kau tunggu di rumah ya!"

"Marcel, kurasa sebaiknya aku pulang ke flat saja dan bersiap-siap sementara menunggumu. Aku bisa naik taksi kok, jadi Eric tidak perlu repot-repot mengantarku--"

"Tidak, Alice! Kau tidak perlu ke flat dulu. Pulanglah bersama Eric, dan aku akan segera menyusul. Baiklah, akan kututup teleponnya sekarang. Sampai nanti!"

"Tapi Marcel--"

Marcel menutup telepon.

Kutatap ponselku tidak percaya. Bagaimana ia bisa melakukan ini?

          

Aku mendongak dan Eric menaikkan salah satu alisnya-- menatapku penuh kemenangan. Sialan kakak beradik ini!

Aku menghela napas, berusaha membuang egoku jauh-jauh. Rasanya berat sekali untuk melakukan apapun seperti yang diminta Eric-- jauh lebih mudah menentangnya.

"Baiklah, aku akan pulang bersamamu." ujarku lesu.

Ekspresi Eric tidak berubah. Ia membuka pintu pengemudi dan duduk dengan nyaman, seolah aku tidak ada di sana.

Aku mendesah-- mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku seraya naik ke mobilnya. Sementara Eric menyalakan mesin, tatapanku terus tertuju ke depan.

Menit-menit berlalu dalam keheningan yang tidak nyaman-- atau itu hanya aku. Saat aku melirik ke arahnya, Eric tampak rileks. Aku bertanya-tanya apakah ia memang tidak menyadari intimidasinya terhadapku? Bahkan ia tidak memutar musik picisan dari stereo. Kusimpulkan ia memang sengaja membuatku tidak tenang.

Kami berbelok ke jalan utama. Beberapa saat kemudian Eric mengumpat, "Sial!"

Spontan aku menoleh padanya. Kebingunganku bertambah saat ia memutar balik mobilnya dan melewati jalan lain yang belum pernah kulewati.

"Aku lupa ini akhir pekan. Jalan utama akan macet sepanjang malam." jelas Eric sebelum aku sempat bertanya, ia masih tidak mau menoleh.

Oh, sial! Aku bahkan lupa hari. Eric benar. Setiap akhir pekan jalan utama pasti penuh sesak-- kuduga oleh pasangan-pasangan yang ingin berkencan. Ngomong-ngomong soal berkencan, aku jadi teringat satu hal yang ingin kutanyakan pada Eric. Kuputuskan ini adalah saat yang tepat.

"Apakah kau mengajak Miranda ke pesta nanti?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.

"Tidak." jawab Eric singkat.

"Jadi, kau putus dengannya?"

Eric tersenyum mengejek. "Kau perhatian sekali."

Aku mendengus-- menyesal telah bertanya. "Bukan aku yang ingin tahu, tapi teman-temanku. Mereka bertanya-tanya soal itu."

"Tapi kau yang bertanya padaku."

"Aku hanya ingin membantu menjawab rasa penasaran mereka." kataku membela diri.

"Bagaimana dengan rasa penasaranmu?" tantang Eric.

Sesaat aku bingung akan menjawab apa. Aku yakin apa pun yang kukatakan pasti akan diputar balikkannya lagi. Tapi aku masih merasa perlu untuk meluruskan keadaan.

"Aku tidak peduli dengan hal-hal yang bukan urusanku."

"Benarkah?" Eric kedengaran tidak percaya.

"Terserah!" tukasku kesal.

Eric tertawa. "Kau bahkan tahu namanya Miranda. Kau mengikuti berita tentangku?"

Aku menatapnya tidak percaya. "Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau semua orang membicarakannya. Dan sejujurnya aku lebih suka untuk tidak tahu apa-apa."

"Apakah kau selalu sinis seperti ini, atau itu hanya karena kau sedang bersamaku?" Ia menatapku dan menyunggingkan senyum separo.

"Kurasa kau bisa menebaknya." kataku, dingin.

Eric tertawa lagi. "Kau tahu, banyak gadis yang berharap bisa berada di posisimu sekarang. Tidak bisakah kau sedikit menikmati momen ini?"

Aku menatapnya sinis. "Satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah menyingkir darimu."

"Kau tidak akan bisa." ujarnya santai, ada tantangan dalam suaranya.

Aku memutar bola mata, tidak ingin menanggapi kegilaannya lebih lanjut. Saat itu, barulah aku menyadari di mana kami berada. Jalanan yang kami lewati cukup sepi, tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Di sisi kiriku, tampak birunya lautan yang sedikit bergelombang karena ombak. Aku tak bisa melihat pemandangannya dengan jelas karena terdapat pepohonan renggang dan tempat yang kelihatan seperti taman bermain di tepinya.

Sweeter than FictionWhere stories live. Discover now