Two

82 12 0
                                    

Senja sudah hampir berganti dengan malam. Burung-burung pulang ke peraduannya. Matahari sudah hampir menenggelamkan dirinya membiarkan bulan menggantikannya menerangi gelapnya sang malam.

Gadis itu berdiam diri di atas rumah pohon yang di bangunnya sewaktu ia masih belia. Di tatapnya matahari yang perlahan merendah. Ia menikmati semilir angin yang menerpa rambut brunette nya. Membiarkan rambutnya terbang menutupi sebagian wajahnya. Setelah matahari tenggelam, gadis ini turun dari rumah pohon miliknya dan kembali ke kamar apartemen miliknya.

Sejak kejadian kemarin, Riska terus merenung. Ia takut. Ia takut akan Shella yang terus-terusan menyiksa batinnya.

Riska mengalihkan pandangannya kearah figura foto yang terpajang di dinding bercat abu-abu tersebut.

Ia tersenyum melihat foto keluarganya.

"Mom, Dad, Rian, i miss you." ujarnya lirih mengusap foto penuh kenangan tersebut.

"Andai kalian masih disini." gadis itu tersenyum pada 3 orang yang berada di foto tersebut.

Riska beranjak dari foto keluarga tersebut lalu menuju balkon. Melihat ribuan bintang bertebaran membentuk rasi bintang.

Riska tersenyum sendu. Mengingat bahwa dirinya tidaklah tinggal di dunia fiksi yang selalu berakhir Happily Ever After. Dirinya berperang di dunia nyata. Memerangi bagian lain dari jiwanya yang bersarang bak parasit yang menumpang pada inangnya.

****

Kegelapan menyelimuti dinginnya malam. Tidak ada bintang satupun di langit malam ini. Gadis bernama Fariska Adriani itu menelusuri trotoar di pinggir jalanan yang sepi.

Samar-samar, Riska mendengar riuh keributan di seberang jalan. Rasa penasaran memenuhi dirinya. Dengan segera, ia beralih ke sisi jalan yang lain untuk melihat apa yang terjadi.

Di lihatnya 2 insan yang sedang bertengkar karena suatu masalah yang tak diketahuinya.

Dua insan itu adalah orang yang sangat familiar bagi Riska.

"JADI LO LEBIH MILIH RISKA DARIPADA GUE VIN? IYA?! GARA-GARA RISKA GUE DI JAUHIN DI SEKOLAH. GARA-GARA RISKA, APA YANG UDAH GUE LAKUIN KEBONGKAR! GUE CINTA SAMA LO REVIN! KENAPA LO GABISA LIAT?!" teriak gadis itu.

"Shell. Gue ngerti kalo lo cinta sama gue. Tapi cinta itu gak bisa dipaksain. Gue sadar. Gue salah ngeduain Riska. Tapi---" omongan pria bernama Revin itu terhenti karena Riska keluar dari semak-semak sembari bertepuk tangan karena mendengar apa yang diucapkan Revin.

"Lo ngeduain gue Vin? Iya? Well done. Kita putus Vin." kata Riska menahan air matanya yang sebentar lagi akan keluar.

"Ris. Bukan gitu maksudnya. Aku bisa jelasin. Dia cuma----"

"Gue gak butuh penjelasan Vin" Riska kembali memotong perkataan Revin dan berlari ke sebrang jalan.

Tanpa ia sadari, sebuah truk datang dari sebelah kanan.

"RISKA!"

"REVIN!"

Teriak 2 orang bersamaan.

Seketika ia merasa dirinya terpental ke pinggir jalan. Ia melihat orang yang di cintainya tergeletak lemah dengan tubuh yang penuh dengan darah. Tepat di sebelahnya, terdapat gadis cantik berwajah oriental bernasib sama dengan Revin. Itu adalah Shella. Mereka berdua mati mengenaskan dengan cara yang sama yaitu menyelamatkan orang yang mereka cintai.

"Nooo!" jerit Riska setelah sadar dari mimpi buruknya.

Dia hanya bisa menangis. Mimpi buruk akan kejadian itu terus menghantuinya bagaikan bayangan.

Dilihatnya jam dinding yang terdapat di kamarnya. 05.00 A.M.

Hari ini adalah hari pertamanya sekolah sebagai kelas 12. Sebagian orang mungkin senang. Berbeda dengan Riska. Menurutnya, tidak ada yang berubah. Ia tetaplah Riska yang menyendiri dan dijauhi bagaikan bunga mawar berduri di antara ribuan bunga tulip.

Ia melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi. Di putarnya keran air tersebut dan berdiri tepat di bawah guyuran air tersebut.

****

Riska memasuki gerbang tinggi sekolahnya. Di lihatnya para siswa yang baru menjalani masa orientasi dengan dandanan yang aneh-aneh. Itu membuat senyum tipis terukir di bibir Riska mengingat bagaimana wajahnya dulu saat masa orientasi.

Ia berjalan di koridor menuju kelasnya yang berada di ujung. Sesekali, ada orang yang menabraknya dengan sengaja atau bahkan mencibir Riska karena dia satu-satunya orang yang tidak bisa bergaul di sekolah ini.

"Riska!" panggil seseorang dari arah belakang yang membuat Riska menoleh.

Senyum Riska timbul melihat sahabatnya, Kevin berlari kearahnya dengan setangkai bunga tulip putih kesukaannya.

"Buat lo." ujar Kevin lalu tersenyum ke arah Riska.

"Makasih." Riska mengambil bunga tulip di tangan Kevin.

Kring!

Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Murid-murid yang tadinya berkumpul di koridor berhamburan memasuki ruangan kelasnya masing-masing. Begitupun dengan Kevin dan Riska.

"Ris, gue ke kelas dulu ya. See you!" Kevin melambaikan tangannya sembari tersenyum kepada Riska. Riska hanya membalasnya dengan anggukan lalu duduk di bangku paling belakang.

"Good morning!" sapa guru Biologi tersebut pada murid-muridnya.

****

Tak terasa, 3 jam pelajaran telah berlalu. Bel tanda istirahat pun telah berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas kecuali Riska.

"Riska?" sapa gadis berambut brunette itu.

"Ghauri? Kenapa?" tanya Riska. Tidak biasanya ada yang menyamperinya kecuali Kevin saat jam istirahat seperti ini.

"Gue mau nanya. Lo.... Alter Ego?" ucap Ghauri tanpa basa-basi.

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Ghauri sukses membuat Riska kehilangan kata-kata untuk menjawab.

"Lo bisa cerita sama gue. Mama gue psikater. Mungkin dia bisa bantu lo." kata Ghauri yang membuat wajah Riska kaget. Bagaimana tidak? Ghauri adalah satu-satunya orang yang berprilaku halus padanya selain Kevin.

"Tenang. Gue gak ada maksud untuk manfaatin lo Ris." ucap Ghauri seakan ia dapat membaca pikiran Riska.

"Pulang sekolah, tunggu gue di koridor. Gue bakalan cerita." ucap Riska

**

12 Agustus, 2016

The Other SideWhere stories live. Discover now